webnovel

Satria Braja

Sebagai calon pendekar tingkat sanak, Satria Braja termasuk salah satu yang terpayah dalam penguasaan cakra. Rupanya, ia punya rahasia besar sekaligus potensi yang bisa mengantarkannya mewujudkan impian sebagai seorang senopati. Mampukah ia mencapai impiannya? Maukah ia tetap setia pada mimpinya, jika sang raja yang harus dilindungi oleh seorang senopati adalah pembunuh dari ayah Satria Braja. Sementara rival sekaligus teman akrabnya, Istungkara, mempunyai dendam dan cita-cita membunuh sang raja. Satria Braja dan Istungkara juga terlibat cinta segitiga pada Kirana Maheswari yang merupakan senior mereka di padepokan. Mari simak kisahnya!

Sute_Soe · Fantasy
Not enough ratings
24 Chs

Putra Mahkota

Langit jingga membentang di ujung cakrawala Kota Garuda Bhumi. Matahari setengah terbenam di ufuk barat. Senja menjelang. Namun, hilir mudik orang-orang tak berkurang. Ada yang membawa pulang hasil bumi atau pertanian. Ada yang menarik beberapa rajakaya atau hewan ternak. Ada yang tak membawa apa-apa. Beberapa di antaranya menggunakan cikar, yakni moda transportasi kereta sapi. Seperti delman namun menggunakan sapi sebagai hewan penariknya, digunakan untuk mengangkut barang pertanian. Beberapa dari mereka menunggang kuda. Terbanyak, mereka berjalan kaki.

"Apakah dirimu akan menemui, Pangeran Aryasuta Cadudasa?" tanya Istungkara penuh selidik.

"Tak baik menolak perintah seorang pangeran. Bisa-bisa kita dihukum dan dianggap membangkang pada kerajaan," jawab Kirana Maheswari.

"Betul apa yang disampaikan Nak Kirana Maheswari. Kita harus menghadap Pangeran. Setelah itu, kita akan mencari penginapan di kota ini untuk istirahat," ucap Mbah Putih menguatkan jawaban gadis di belakang Istungkara.

Tiba-tiba, Istungkara menghentikan kudanya.

"Kalau begitu, aku tak ikut."

"Kenapa?" tanya Kirana Maheswari.

"Bukankah yang diundang hanya kalian berdua. Jadi aku tak punya kewajiban untuk menemui Pangeran Aryasuta Cadudasa."

"Lalu kau mau ke mana Istungkara?" tanya Mbah Putih.

"Aku akan menemui teman lama di kota ini. Aku juga akan menginap di rumahnya. Kemungkinan besar, kalian akan disuruh menginap di istana kerajaan."

Istungkara turun dari kudanya.

"Tampaknya prajurit di depan sana datang menjemput kalian. Besok pagi kita bertemu di sini," ucap Istungkara sambil membalikkan badan lalu bergabung bersama pejalan kaki lain.

Kirana Maheswari memandangi punggung Istungkara yang perlahan menghilang dari pandangannya, tertutup oleh orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan.

Prajurit istana tiba di hadapan Mbah Putih.

"Apakah anda tabib dari Jawi Bhumi?" tanya pemimpin prajurit itu kepada Kirana Maheswari.

"Betul, Tuan."

"Kami diperintahkan oleh Pangeran Aryasuta Cadudasa untuk menjemput anda. Mohon ikut bersama kami ke Istana. Pangeran Aryasuta Cadudasa sudah menunggu."

Mbah Putih dan Kirana Maheswari menjalankan kudanya mengikuti para prajurit kerajaan. Sesampainya di Istana, mereka ditunggu oleh tiga orang di ruang perjamuan.

"Sembah hormat Pangeran Aryasetya Danadyaksa, Pangeran Aryasuta Cadudasa, dan Putri Aryanti Ratnadewati. Terima kasih, kami haturkan kepada Pangeran Aryasuta Cadudasa yang berkenan mengundang kami ke Istana. Jika diizinkan bertanya, apakah yang bisa kami berikan kepada Pangeran?" tutur Mbah Putih.

"Tidak ada yang aku harapkan dari kalian. Aku mengundang kalian hanya agar kalian bisa tidur nyenyak dan makan enak untuk melanjutkan perjalanan. Menginaplah di sini semalam dan nikmati makan malam sebagai jamuan dari kami," jelas Pangeran Aryasuta Cadudasa.

"Oh ini, gadis yang mampu memikat hati Adinda Aryasuta Cadudasa. Cantik memang," ucap Pangeran Aryasetya Danadyaksa.

Putri Aryanti Ratnadewati melirik gadis di depannya. Pipi Kirana Maheswari memerah. Ia tetap menunduk.

"Mohon Kakanda Aryasetya Danadyaksa jangan mengada-ada," sanggah sang adik.

"Mohon maaf beribu maaf Pangeran Aryasuta Cadudasa. Kami hanya rakyat jelata yang tak pantas menginap di istana dan makan makanan kerajaan. Biarlah kami menginap di penginapan kota dan makan di warung," kata Mbah Putih penuh sopan.

"Tinggallah di sini satu malam. Jangan membuat Adinda Aryasuta Cadudasa kecewa. Perintah Adinda adalah perintah kerajaan," ujar sang kakak.

"Baik, Pangeran. Kami akan menginap di istana semalam. Terima kasih atas kebaikan Pangeran Aryasuta Cadudasa," ucap Mbah Putih.

"Kalau begitu, aku tinggalkan kalian. Biar para pelayan istana yang melayani kalian dengan baik," pungkas Pangeran Aryasuta Cadudasa.

***

Di Pandapa Agung Istana, Raja Bantala Nagara yang bergelar Prabu Astrabhumi mengumpulkan para pembesar kerajaan untuk mengumumkan keputusan tentang putra mahkota atau yuwaraja. Raja Bantala Nagara duduk di singgasana dan mengenakan busana kebesarannya. Bajunya bersulam emas. Mahkotanya bertatahkan permata manik manikam yang menyilaukan mata. Manik matanya tajam bagai mata elang. Hidungnya bangir.

Raja Bantala Nagara bangkit dari singgasananya dan memberikan salam pada pembesar kerajaan yang hadir dengan anggukan kepala penuh kewibawaan. Segenap yang hadir serempak menyambut salam sang raja.

"Salam bahagia, wahai Gusti Prabu Astrabhumi! Panjang umur, Sang Raja Bantala Nagara!"

Para hadirin lantas menghaturkan sembah sampai ke tanah. Raja Bantala  Nagara tersenyum. Lalu mengangkat tangan pelan, isyarat perintah kepada para hadirin untuk mengangkat kepala.

"Salam kalian aku terima. Kalian semua aku undang berkumpul di Pendapa Agung Istana untuk mendengarkan keputusanku tentang yuwaraja."

Sang Raja berhenti sejenak lalu memperhatikan Pangeran Aryasetya Danadyaksa, Pangeran Aryasuta Cadudasa, dan Putri Aryanti Ratnadewati. Merasa diri mereka diperhatikan, ketiganya kompak menundukkan kepala penuh hormat.

"Namun, sebelum aku menyampaikan keputusan itu. Perlu aku sampaikan informasi dari Pasukan Telik Sandi tentang Kerajaan Atas Angin. Bahwa pekan ini, Kerajaan Akasa Nagara telah menguasai Kartika Nagara. Keberhasilan mereka berkat koalisi dengan Surya Nagara. Dan tentu saja, dibantu oleh kerajaan jajahan, Candra Nagara."

Para hadirin mengangguk tanda paham dan khidmat mendengarkan penjelasan sang raja.

"Siang tadi, Pawaka Nagara sudah mengirimkan surat jawaban atas ajakanku untuk berkoalisi. Mereka sepakat. Bagaimana pun, keberhasilan Akasa Nagara merupakan ancaman bagi Pawaka Nagara. Apalagi mitra Akasa Nagara yaitu Surya Nagara, berbatasan langsung dengan mereka. Sehingga momentum ini adalah momentum persatuan untuk melawan Kerajaan Atas Angin."

Sebagian hadirin tampak menelan ludah. Wajah sebagian mereka tiba-tiba pucat.

"Tenang saja, aku tak akan memerintahkan kalian semua untuk langsung berperang dengan Kerajaan Atas Angin. Namun, kita semua perlu waspada. Sebab, tak menutup kemungkinan setelah berhasil menguasai Kartika Nagara mereka akan menyerang Pawana Nagara. Jika itu terjadi, kita akan semakin terancam. Tentu kita berharap, isi surat balasan dari Pawana Nagara seperti sikap Pawaka Nagara. Demikian juga dengan Baruna Nagara."

Para hadirin tampak lebih tenang. Mimik ketakutan memudar dari wajah mereka.

"Namun, jika isi suratnya berbeda atau tak membalas surat itu dalam waktu satu bulan. Maka, kita akan menyerang Pawana Nagara dan Baruna Nagara. Kita pasti menang dengan bantuan Pawaka Nagara! Tak ada yang bisa mengalahkan Kerajaan Bantala Nagara yang terkenal dengan pusaka Keris Nagatapa ini," ucap sang raja sambil menghunus sebilah keris dari pinggangnya yang diangkat ke depan hidungnya lalu dicium penuh wibawa.

"Hidup, Gusti Prabu Astrabhumi. Jaya Sang Raja Bantala Nagara!"

Sambutan para hadirin itu lebih mirip sorak-sorai daripada sanjungan. Pertanda bahwa mereka mendukung rencana sang raja jika berperang dengan Pawana Nagara dana Baruna Nagara. Raut muka mereka bersemangat dengan menyunggingkan senyum penuh percaya diri.

"Oleh karena itu, untuk menentukan siapa yang layak menjadi yuwaraja aku memerintahkan kepada putra-putriku mengawasi perbatasan dan memastikan kerajaan tetangga bersedia berkoalisi dengan kita. Jika tidak, maka kita akan berperang."

Sang raja melirik Pangeran Aryasetya Danadyaksa. Putra sulungnya itu langsung menundukkan kepala penuh hormat.

"Putraku Aryasetya Danadyaksa!"

"Daulat, Ayahanda Prabu."

"Kau, aku tugaskan tinggal di Desa Danta Bhumi untuk mengawasi situasi di Baruna Nagara dan memastikan sikap mereka terkait surat ajakan koalisi yang sudah aku kirimkan ke sana."

"Daulat Ayahanda Prabu. Ananda akan melaksanakan perintah Ayahanda Prabu," sahut Pangeran Aryasetya Danadyaksa.

"Putraku Aryasuta Cadudasa!"

"Daulat, Ayahanda Prabu," sahut Pangeran Aryasuta Cadudasa sambil menghaturkan sembah penuh hormat.

"Kau, aku tugaskan tinggal di Desa Jawi Bhumi untuk mengawasi situasi di Pawana Nagara dan memastikan sikap mereka terkait surat ajakan koalisi yang sudah aku kirimkan ke sana."

"Daulat Ayahanda Prabu. Ananda akan melaksanakan perintah Ayahanda Prabu," sahut Pangeran Aryasuta Cadudasa.

"Terakhir, Putriku Aryanti Ratnadewati. Kau mendapat tugas mengawasi situasi di Pawaka Nagara. Menetaplah di Arima Bhumi. Namun sering-seringlah ke Istana karena utusan Pawaka Nagara akan sering ke sini."

"Daulat Ayahanda Prabu. Ananda akan melaksanakan perintah Ayahanda Prabu," ucap Putri Aryanti Ratnadewati dengan menundukkan kepala penuh hormat dan menghaturkan sembah.[]

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

Sute_Soecreators' thoughts