webnovel

SEMALAM DI LAMPAR

Sebagaimana diceritakan sebelumnya, rombongan Depati Kecik disambut sebagai tamu kehormatan oleh Gindo kepala Dusun Lampar di rumahnya. Mereka disambut di halaman rumah. Tamu dan tuan rumah berjumpa, lalu berjabat tangan dengan hangat.

Depati Kecik dan rombongannya dipersilahkan naik ke beranda rumah Gindo. Tak berapa lama suguhan kopi panas dan makanan ringan pun terhidang.

Sambil menikmati hidangan dan kopi hangat Gindo Dusun Lampar ngobrol akrab dengan Depati Kecik. Mereka bertukar cerita dan pengalaman, saling menceritakan dusun dan keluarga masing-masing. Sesekali obrolan mereka diselingi tawa renyah.

Gindo Dusun Lampar adalah seorang lelaki yang ramah dan santun. Dia memperlakukan tamu-tamunya dengan penuh hormat. Sikap ini sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam dan adat budaya setempat.

Kedatangan seorang tamu diyakini akan membawa banyak keberkahan dan kemuliaan dari Allah SWT.

Gindo Dusun Lampar menceritakan bahwa dusunnya adalah sebuah dusun yang subur, aman dan damai. 

Penduduknya rukun. Kebun-kebun kopi terhampar luas di belakang dusun. Sementara di dalam dusun banyak ditanam pohon buah-buahan, seperti rambutan, mangga, manggis, sawo, dan jambu air.

Pohon buah-buahan itu ada yang ditanam di pekarangan depan rumah, ada pula yang di belakang. Di samping rumah sebagian penduduk menanam sayuran, seperti terung, rampai, cabai, dan lumay.

Keramahtamahan penduduk Dusun Lampar tergambar dari sikap ramah Gindo beserta tetua dusun yang hadir dalam perjamuan pagi itu. Mereka senantiasa menyunggingkan senyum saat berbicara maupun ketika mendengarkan perkataan lawan bicaranya.

Berita tentang kedatangan tamu dari Gunung Meraksa itu ternyata sudah menyebar di seantero dusun. Hal itu membuat penduduk dusun yang semula akan berangkat ke kebun, mengurungkan niatnya. Mereka ingin melihat tamu yang disebut-sebut berkedudukan sebagai seorang Depati dari Marga K.M. Lintang itu.

Pada masa itu jarang sekali ada seorang petinggi yang berkunjung apalagi singgah di sebuah dusun. Apalagi Dusun Lampar adalah sebuah dusun terpencil, jauh dari dusun-dusun lain.

Kedatangan Depati Kecik, seorang kepala marga tentu saja menjadi berita gembira bagi penduduk Dusun Lampar. 

Mereka berkumpul di lepau-lepau di depan rumah penduduk yang berdekatan dengan rumah Gindo.

Sementara itu, di bagian belakang rumah Gindo, ada kesibukan. Beberapa perempuan dipimpin istri Gindoterlihat mempersiapkanbumbu-bumbu yang terdiri dari rempah2, cabai, bawang, dan beberapa bumbu berupa daun.

Mereka tengah menyiapkan "makan besak". Beberapa lelaki membantu menangkap ikan mas di "kambang" sekaligus memotong dan membersihkan ikan mas hasil tangkapan. Ikan-ikan mas itu akan dimasak pindang bumbu kuning. Ada pula yang menyembelih ayam untuk gulai "masak manis".

Hari itu rombongan Depati Kecik dijamu laiknya tamu agung. Pada saat Depati Kecik berbincang-bincang dengan tuan rumah beserta tetua dusun, Tagun yang berada diluar, memanfaatkan kesempatan menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang gadis cantik yang dijumpainya di tepian mandi pagi tadi. Itulah tugas Tagun selaku mata-mata, meskipun tidak ada perintah dari Depati Kecik, tetapi dia sudah tahu apa yang harus dia lakukan.

Tagun adalah sosok lelaki periang dan gampang akrab dengan siapa pun dan mudah menyesuaikan diri dalam keadaan apapun. Maka tak heran bila dalam waktu singkat dia sudah dapat teman ngobrol yang asyik.

Melalui teman ngobrolnya yang penduduk asli Dusun Lampar, Tagun dapat menggali informasi yang dikehendakinya. Lelaki teman ngobrolnya tidak menyadari sesungguhnya Tagun sedang menyerap informasi dari dirinya.

Dari hasil penyelidikannya diketahui bahwa gadis cantik bernama Majedah, itu adala putri seorang petani sederhana dan hidup bersahaja. 

Keluarga itu terkenal baik hati, suka menolong sesama, dan taat beribadah. Jika hal ini dilaporkan kepada Depati Kecik tentu akan 

menggembirakan hati kepala Marga K.M. Lintang itu.

Sementara itu, Depati Kecik masih berbincang akrab dengan Gindo Dusun Lampar dan para tetua dusun. Di sela-sela obrolan itu, Gindo Dusun Lampar selaku tuan rumah menawarkan agar Depati Kecik dan rombongan beristirahat dan bermalam saja.

Bak gayung bersambut, tawaran itu tentu saja disambut gembira Depati Kecik. Maka Depati Kecik memutuskan hari itu beristirahat dan bermalam satu malam di Dusun Lampar. Siang itu, Depati Kecik dan rombongannya dipersilahkan berkeliling dusun untuk melihat-lihat suasana di sana. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Depati Kecik.

Setelah meninggalkan halaman rumah Gindo, Depati Kecik menggamit tangan Tagun, memberi isyarat agar menunjukkan rumah Majedah, si gadis cantik. Tagun mengerti maksudnya. 

Mereka lalu mengambil jalan ke arah Barat rumah Gindo, rumah orang tua gadis itu berjarak lima rumah dari rumah Gindo.

Ketika mereka melewati sebuah rumah panggung berukuran cukup besar, halamannya ditumbuhi bunga dan pohon jambu, Tagun memberi isyarat kepada Depati Kecik. 

Ternyata itulah rumah yang mereka maksud.

Di halaman depan beranda rumah itu ada seorang perempuan setengah tuan dan seorang gadis tengah menumbuh tepung beras. 

Gerakan mereka sangat serasi saat bergantian menjatuhkan antan ke lubang lesung, sehingga menimbulkan irama teratur tak tuk tak tuk. Gadis itulah yang bernama Majedah.

Sambil berjalan perlahan menuju ke ujung Barat dusun, Depati Kecik sempat melirik ke arah Majedah. Dia mengangguk-angguk, mengakui kebenaran laporan Tagun.

Di ujung dusun mereka berbelok memasuki jalan kecil menuju belakang dusun. Di sana mereka melihat hamparan persawahan yang begitu subur dan menghijau, kebun-kebun yang berisi beragam tetumbuhan buah. 

Di belakang rumah penduduk ada kebun sayuran, kandang sapi dan kambing. 

Sedangkan dibawah rumah ada kandang ayam yang terbuat dari bilah bambu.

Dusun ini meskipun kecil, tetapi tertata baik. 

Penduduknya ramah. Kemakmuran tergambar jelas di dusun ini. Suasana Dusun Lampar terasa indah dan menyenangkan.

Betapa pun indahnya suatu tempat, kalau tidak berkenan di hati akan merupakan neraka. Sebaliknya betapa pun buruknya suatu tempat, kalau berkenan di hati akan menjadi surga! Jadi, baik buruk, senang susah, puas kecewa, semua ini bukan ditentukan oleh keadaan di luar, melainkan ditentukan oleh keadaan hati dan pikiran sendiri.Keadaan di luar merupakan kenyataan yang wajar, dan hanya pikiranlah yang menentukan dengan menilai, membandingkan, maka lahirlah puas, kecewa, senang, susah, baik, buruk, dan lain-lain hal yang saling bertentangan itu.

Bahagialah orang yang dapat menghadapi segalasesuatu dengan mata terbuka, memandang segala sesuatu seperti apa adanya, tanpa penilaian, tanpa perbandingan.

Orang bahagia tidak mengenal susah senang, karena bahagia bukan susah bukan pula senang, bukan puas bukan pula kecewa, melainkan suatu keadaan di atas itu semua, sama sekali tidak terganggu oleh pertentangan-pertentangan itu.

Memang sesungguhnyalah bahwa kemuliaan duniawi atau alam benda merupakan keadaan yang amat berbahaya. 

Tak dapat disangkal pula bahwa hidup memang memerlukan kebendaan sebagai pelengkap dan pelangsung hidup, dan amat baiklah kalau orang dapat menggunakan keduniawian itu pada tempat sebenarnya.

Akan tetapi, akan celakalah dan hanya akan menimbulkan mala-petaka bagi diri sendiri dan bagi orang lain kalau manusia sudah dikuasai oleh duniawi yang merupakan harta benda, kedudukan, nama besar, kepandaian dan lain-lain sebagainya.

Alam kebendaan ini mempunyai sifat seperti arak. Diminum dengan kesadaran dan pengertian akan menjadi obat, tapi di lain saat dalam keadaan lalai akan menjadi minuman yang memabukkan.

Dan, sekali orang mabuk oleh duniawi, akan timbullah perbuatan sombong, sewenang-wenang, dan lupa segala. Yang ada hanyalah keinginan memenuhi segala kehendaknya dengan cara apa pun juga tanpa mengharamkan segala cara.

Orang yang mengenal diri sendiri akan selalu dalam keadaan waspada dan sadar sehingga berada di dalam ingkungan apa pun juga dia akan selalu mengamati tingkah laku sendiri lahir batin setiap saat mungkin terseret atau ternoda. Seperti emas murni atau bunga teratai, biar berada di lumpur akan tetapi tetap bersih!

Sebaliknya, orang yang tidak mau mengamati dirinya sendiri setiap saat, akan mudah lupa diri karena terlalu menonjolkan 'akunya'. 

Si Aku ini memang selalu ingin menang sendiri, ingin enak dan senang sendiri, sehingga untuk memenuhi segala keinginannya itu, diri terseret dan mudah terjeblos ke dalam jurang penuh denganular-ular berbisa bernama iri, dendam, benci, sombong, duka, dan lain-lain yang kesemuanya berakhir dengan kesengsaraan.

Tak terasa waktu seakan sangat cepat berlalu. 

Matahari makin mendekati peraduannya. Cahaya senja menerpa permukaan Dusun Lampar. Udara mulai berubah dingin, ternak peliharaan penduduk seperti kambing dan sapi satu-persatu digiring memasuki kandangnya. 

Sementara ayam sudah bertengger di kandangnya.

Usai shalat Magrib, Gindo Dusun Lampar 

mempersilahkan tamu-tamunya makan malam di ruang depan. Seperti siang tadi, mereka pun ditemani beberapa tetua dusun dan Gindo selaku tuan rumah yang baik dan ramah.

Angin malam berhembus lemah. Di langit bintang gemintang gemerlapan tiada henti-hentinya. Sekali dua kali tampaklah seleret bintang berpindah tempat menggores langit. Sekejap saja, lalu lenyap terbenam dalam pelukan selembar awan. Suara jangkrik masih saja bersahutan di sela- sela kemersik daun kering yang diterbangkan angin.

Ketika cahaya fajar memecah langit di ufuk Timur dan menerbangkan embun ke angkasa, Depati Kecik dan rombongan berpamitan kepadaGindo Dusun Lampar. Mereka akan kembali ke Dusun Gunung Meraksa. Daging rusa hasil buruan mereka beberapa hari lalu, sebagian diberikan kepada tuan rumah ketika mereka baru tiba di dusun itu. Mereka membawa sedikit sekadar bukti kepada keluarga.

Dalam perjalanan pulang itulah Depati Kecik mendapat keterangan lebih jelas dan rinci dari Tagun, tentang gadis cantik Dusun Lampar, yang dilihatnya di tepian mandi, kemarin pagi. Gadis itu berwajah cantik, kulit wajahnya memancarkan cahaya kuning bersih, rambut hitam panjang terurai hingga batas pinggang.

Menurut Tagun, gadis itu memiliki tanda khusus sebagai perempuan yang membawa keberuntungan bagi siapa saja yang menjadi suaminya. Tanda khusus yang menyerupai milik Kendedes sehingga membuat Ken Arok tergila-gila.

"Lelaki yang dicintai dan menjadi suami gadis itu, kelak akan menjadi orang kaya dan berkuasa," kata Tagun.

Tagun adalah pembantu Depati Kecik yang menguasai ilmu membaca tanda-tanda tubuh maupun alam. Dia juga mengerti ciri-ciri hewan yang memiliki tuah.

Mendengar penuturan Tagun, terbersit hasrat di hati Depati Kecik untuk menyunting gadis bernama Majedah itu. 

Mengingat saat ini dia adalah seorang penguasa daerah berpangkat Depati, ada keinginan di lubuk hatinya untuk melanggengkan kekuasaan serta memperluas pengaruhnya.

Bila dia berhasil mempersunting gadis bertuah itu, maka angan-angan itu akan jadi kenyataan.

Keinginan Depati Kecik itu bukan semata memperturutkan hawa nafsu belaka. Ada pertimbangan lain yang mendorong hasratnya. Dia ingin pula wilayah marga yang dipimpinnya menjadi besar dan terkenal seperti Marga Kejatan Mandi Musi Ulu di Tanjungraya.

Dia ingin rakyat yang dipimpinnya memiliki kebanggaan atas daerahnya, dan bisa dengan penuh percaya diri ketika menyebut nama marganya.

Hasratnya untuk mempersunting gadis cantik Dusun Lampar itu semata karena cintanya kepada rakyat dan daerah kekuasaannya. "Jika memang gadis itu memiliki tuah seperti yang dikatakan Tagun, maka dia akan membawa keberuntungan bagi Marga K.M. Lintang," bisik hati Depati Kecik.

Demikian Allah mengkaruniakan perasaan cinta dan kasih kepada manusia, sebagaimana perasaan cinta dan kasih-Nya yang menjelmakan dunia beserta isinya.

Namun sayanglah bahwa manusia kadang-kadang tidak berhasil menanggapi kurnia yang indah itu dengan sewajarnya. 

Bahkan ada diantara anak manusia yang ingin mengembangkan rasa cinta kasih Tuhannya dengan landasan dendam dan nafsu. Sehingga dengan demikian kaburlah batas antara cinta dan nafsu, antara kasih dan dendam.

Depati Kecik bukanlah seorang lelaki yang diperbudak nafsu duniawi yang rendah. Dia adalah seorang pemimpin yang sangat mencintai rakyatnya. Dia ingin membahagiakan rakyatnya seperti seorang ayah terhadap anak- anaknya.

Dia akan meminta izin istrinya untuk melamar dan mempersunting Majedah, gadis cantik Dusun Lampar, sebagai istri kedua. Dia akan mengemukakan alasan-alasannya.

Menikahi Si Cantik

Tidak begitu sulit bagi Depati Kecik mendapatkan izin istri pertama untuk menikahi Majedah, si cantik dari Dusun Lampar.

Pada masa itu seorang istri sangat taat pada suami. Istri mengabdi sepenuh jiwa raga kepada suami. Melakukan sesuatu yang akan membahagiakan suami adalah pengabdian tertinggi seorang istri. Apalagi agama mengajarkan bahwa surga seorang istri terletak di kaki suami.

Maka, atas izin istrinya, Depati Kecik mengirimutusan ke Dusun Lampar untuk menemui orang tua Majedah dan menyampaikan lamaran.

Para utusan Depati Kecik disambut gembira keluarga Majedah dan Gindo Dusun Lampar. Lamaran Depati Kecik yang disampaikan dengan penuh hormat, diterima dengan senang hati.

Tak lama setelah lamaran diterima, maka 

dilangsungkanlah pesta pernikahan Depati Kecik dan Majedah di Dusun Lampar. Sebuah pesta yang besar dan meriah. Beberapa hari setelah pesta perkawinan yang mewah dan ramai, Majedah diboyong oleh Depati Kecik keGunung Meraksa.

Sesampai di Gunung Meraksa, Majedah menyaksikan kebenaran cerita orang bahwa Depati Kecik adalah seorang penguasa yang kaya dan berpengaruh.

Kedatangan mereka disambut secara meriah oleh rakyat, para penyambut tampak sangat menghormati Depati Kecik sebagai pemimpin mereka.

Majedah langsung dipersilahkan naik ke sebuah rumah besar dan mewah. Inilah rumah Depati Kecik, Kepala Marga K.M. Lintang.

Ketika tiba di Gunung Meraksa, hati Majedah diliputi perasaan senang dan bahagia. 

Tak terbayang dalam pikirannya bakal tinggal di sebuah rumah besar dan mewah, apalagi ruangan-ruangan di rumah besar itu terdapat 

banyak perabotan yang mahal-mahal pula.

Selama tiga hari sejak kedatangannya di Gunung Meraksa, tak henti-henti tamu berdatangan menemuinya, memperkenalkan diri dan menunjukkan sikap sangat menghormat. 

Hal seperti itu tidak pernah dia dapatkan 

selama dia berada di dusun kelahirannya, Dusun Lampar. 

Hati Majedah semakin berbunga-bunga. Dia merasa bak seorang ratu di rumah itu.

Hati yang Retak

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Satu pekan keberadaannya di Umah Besak (Rumah Besar) itu, baru dia tahu bahwa ada suatu kenyataan yang sangat pahit dia rasakan.

Dirinya ternyata bukanlah seorang "ratu" di rumah itu. Ada wanita lain yang menjadi "ratu" sesungguhnya, yakni istri tua Depati Kecik. Hal ini tidak pernah dia ketahui sebelumnya, baik saat dia dilamar maupun setelah ijab kabul pernikahannya.

Mendapat kenyataan seperti itu hatinya gundah dan sedih. Ternyata suaminya, Depati Kecik sudah beristri, mempunyai satu anak perempuan, dan dia adalah istrimuda.

Berhari-hari Majedah menyesalkan kejadian dan nasib yang menimpa dirinya. Tapi apa hendak dikata, nasi telah menjadi bubur. Dia harus menerimanya.

Ada lagi yang membikin hatinya bertambah sedih, ialah tinggal serumah dengan madunya yang sudah punya satu orang anak. 

Dia juga harus mengerjakan pekerjaan rumah seperti turun ke sungai mengambil air untuk mandi dan keperluan memasak. Air harus diambil di sungai kecil yang letaknya jauh di 

bawah dengan menuruni jalan setapak yang curam dan licin sewaktu hujan. 

Kembali dari sungai membawa air merupakan pekerjaan melelahkan, apalagi kalau dalam sehari beberapa kali bulak-balik, ke bawah ke atas.