webnovel

REZEKI NOMPLOK

Sebuah sore yang tak diharapkan oleh Anggi. Wanita itu memerhatikan tudung saji yang nangkring di atas meja makan. Di dalamnya tidak terdapat makanan apapun.

Anggi menghela napas gusar. Belum pernah seumur hidupnya menemui situasi seperti ini. Agaknya, Anggi harus lebih memperbesar kesabaran.

"Mas." Akhirnya Anggi memutuskan untuk menemui Jaka di kamar.

Jaka meletakkan pakaian yang tadinya ia jahit dan fokus menatap paras lelah sang istri.

"Iya?" balasnya.

"Makanan di rumah ini sudah habis. Mas punya uang?"

Jaka terpaku barang sesaat. Netranya mengelilingi seantero kamar.

"Uang terakhir kita sudah dirampok," titahnya pasrah.

Ingin sekali Anggi membantu suaminya, tapi dia pun sudah tidak mempunyai pegangan lagi pasca Jamilah masuk rumah sakit. Perempuan berkulit putih itu duduk di sebelah Jaka sambil mengeluhkan keadaan.

"Apa kita harus minum air putih aja malam ini, Mas?"

Anggi kian merasa bahwa ekonomi keluarga mereka semakin tercekik. Entah dari mana rezeki akan datang. Terlebih sekarang Jaka sudah dipecat dari pekerjaan.

Sedangkan itu, Jaka merasa sangat malu pada Anggi. Di awal juga sudah Jaka katakan bahwa dia bukanlah pria kaya, tapi Anggi tetap ngotot untuk minta dinikahi. Jaka hanya tak ingin jika suatu saat nanti Anggi menyesal karena sudah memilihnya sebagai suami.

Jaka menimbang-nimbang sesuatu sebelum akhirnya ia berkata, "Ya, sudah. Tunggu di sini,"

"Mau ke mana, Mas?"

Jaka terus ngeloyor tanpa merespon pertanyaan sang istri. Ia menarik kaki menuju sebuah warung yang tak jauh dari rumah.

Setibanya di sana, Jaka dibuat grogi oleh kehadiran Susi. Perempuan berbadan pendek itu menyorot Jaka penuh antusias, tapi enggan memberi sapaan.

"Bu, beli bayam seikat sama tempe tiga potong, ya," kata Jaka buru-buru.

Si penjual memberikan pesanan Jaka dan dia mulai berpikir untuk melanjutkan ucapan.

"Sa- saya hu- hutang dulu ya, Bu,"

Jaka memejamkan matanya dalam. Akibat rampok tidak tahu diri itu, maka dia harus menanggung segala derita. Tak hanya Susi, beberapa ibu-ibu di sana menatap Jaka penuh tanda tanya. Pasalnya mereka tak pernah mendapati keluarga Jaka menghutang di warung.

"Kapan mau dibayar, Jaka?"

"Secepatnya ya, Bu,"

Pemilik warung menganggukkan kepala dan mencatat pesanan Jaka. Sebelum Jaka benar-benar menghilang, Susi memerhatikannya penuh iba. Ia mengetahui bagaimana perekonomian lelaki itu dari Bik Nem kemarin.

***

Dor! Dor! Dor!

Anggi ngacir tatkala menangkap suara pintu digedor. Ia mengintip dari jendela dan melihat wajah Morko muncul di sana.

"Pak Morko. Sudah pulang?" Anggi membuka pintu.

Sudah dua hari Morko lari pasca merampas kalung milik istrinya. Kini pria itu kembali dalam keadaan sempoyongan dan mata memerah.

"Anggi, istriku sudah pulang?" tanyanya, lalu menguap.

Anggi menggelengkan kepala sebagai bentuk jawaban.

"Ini untukmu," kata Morko kemudian menyerahkan tiga lembar kertas bewarna merah.

"Untuk apa ini, Pak?" Anggi menyembunyikan tangan di belakang.

Morko menyerahkan uang senilai tiga ratus ribu pada Anggi tanpa tujuan yang jelas. Tentu saja Anggi merasa bingung. Dia baru beberapa hari bekerja dan belum pantas menerima gaji bulanan.

"Untukmu. Ambillah!"

Sepasang mata Anggi membulat. Mimpi apa Morko memberinya uang?

"Eh, gak usah, Pak. Saya baru beberapa hari kerja di sini." Anggi menyilangkan kedua tangan.

"Gak apa-apa. Udah ambil aja. Aku pergi dulu, ya,"

Morko menjatuhkan uang tersebut di lantai dan kembali beranjak. Ia bahkan tidak memberitahu ke mana akan pergi.

Anggi melihat uang itu dengan air liur yang mengalir. Apakah ini merupakan pertolongan Tuhan?

Tiba-tiba saja Anggi menjadi egois. Ia tak ingin tahu dari mana Morko memeroleh uang tersebut. Akhirnya, ia meraih tiga kertas di bawah sana.

"Sekali ini saja, karena kami sangat butuh uang," batinnya.

Anggi melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Lima menit setelahnya, ponsel Anggi berbunyi dan menampakkan nama Mamanya di sana.

"Gawat!" Anggi menepuk jidat.

Anggi tidak dapat memberi bukti apa-apa bahwasanya ia sedang liburan ke Bali. Di sisi lain, ia juga tidak mau kalau orang tuanya sampai tahu keadaan sesungguhnya. Setelah berpikir keras, Anggi pun memutuskan untuk menghidupkan kipas angin di rumah Misri. Seolah ia sedang berada di luar ruangan.

"Halo, Mama," Anggi menyapa penuh semangat.

"Kamu di mana? Kenapa berisik?"

Anggi berdecak senang, karena Mamanya tidak tahu jika sebenarnya suaranya telah beradu dengan kipas angin.

"Aku lagi di pantai Bali nih, Ma. Nanti kalau ada waktu kita ke sini, ya. Sudah dulu ya, Ma,"

Tut…

Anggi spontan memeluk ponselnya di dada. Ia berlutut di lantai dan menekuk kedua kaki. Air mata Anggi mengalir deras. Merasa berdosa karena telah mengarang keadaan.

Anggi tidak sedang liburan ke Bali, melainkan menjadi babu di rumah orang lain. Sakit sekali rasanya. Dia berusaha pura-pura bahagia demi menyelamatkan rumah tangga.

Tak peduli bagaimana tanggapan Dida terhadapnya. Anggi hanya berharap semoga wanita itu percaya dan tidak bertanya macam-macam.

***

Jaka melihat menu yang berbeda dari hari biasanya. Opor ayam yang terhidang di atas meja membuat batinnya bertanya-tanya. Ia pun memanggil Anggi yang sedang berganti pakaian di kamar.

"Sayang!" pekiknya.

Anggi muncul setelah menyelesaikan kegiatan.

"Kenapa, Mas?"

"Anggi, kenapa bisa ada opor ayam di sini?"

"Aku yang memasak, Mas,"

"Iya, tahu. Maksudnya, kamu dapat uang dari mana? Kemarin aja kita masih hutang di warung," heran Jaka.

Lagi-lagi Anggi harus berdusta dengan orang terdekatnya. Anggi merahasiakan kalau uang itu merupakan pemberian Morko.

"Anu, Mas. Gaji kerja," jawabnya gugup.

"Gaji kerja? Lah, kan belum sebulan,"

"Gak tahu tuh, Mas. Mungkin di akhir bulan nanti dikurangi jatah gajinya, karena udah bayar di awal,"

"Wah. Senangnya bisa makan daging,"

Senyum Jaka menghiasi wajah. Buru-buru ia memanggil Jamilah untuk makan malam bersama. Sama seperti putranya, Jamilah pun ikut bahagia bukan main. Belum tentu setahun sekali bisa makan daging, batin mereka.

Anggi menyerahkan uang seratus ribu pada suaminya seberes makan malam. Dengan begitu Jaka bisa melunasi hutangnya kemarin di warung. Sisanya Anggi simpan untuk kebutuhan sehari-sehari.

Ketika Anggi dan Jaka hendak masuk ke kamar, mereka mendengar suara pintu diketuk. Anggi langsung ngeloyor ke depan guna melihat siapa tamu yang datang malam-malam begini.

"Mbak,"

Seorang perempuan bertubuh mungil cengengesan.

"Kamu siapa?" tanya Anggi. Pasalnya dia tidak mengenali sosok itu.

"Aku Susi yang tinggal di rumah sebelah, Mba. Mau kasih ini,"

Ternyata orang itu adalah Susi. Ia menyerahkan sebuah karung beras pada Anggi.

"Untuk siapa?"

"Untuk Mba dan keluarga. Kebetulan lagi ada rezeki." Susi menampakkan deretan gigi putihnya.

Nyaris saja Anggi melompat karena kegirangan. Tidak menyangka jika dia akan mendapat rezeki susulan. Anggi pun meminta agar Susi duduk dahulu di beranda rumah.

"Maaf, Sus. Cuma air putih yang ada," ucap Anggi sungkan.

"Eh, iya. Ga apa-apa kok, Mbak,"

Susi memindai tatapannya ke segala arah. Mencari keberadaan pria yang kemarin berhutang di warung.

"Kamu sama orang tua di sini?" Pertanyaan Anggi memecahkan lamunan Susi.

"Emm engga, Mbak. Orang tuaku di kampung," balasnya, kemudian mencari sosok jangkung itu lagi.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Jaka mendadak keluar dari kamar untuk melihat keadaan istrinya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati Susi di sana. Jaka yang sudah keluar, seketika masuk lagi ke dalam.

"Ih, sombong banget sih," gerutu Susi dalam hati. Padahal dia sudah rela memberi sekarung beras untuk dihadiahkan kepada keluarga Jaka.

***

Bersambung