webnovel

PASCA WAFATNYA SANG IBUNDA

"Memang anak gak tahu diri kamu, Anggi! Mama nyesal udah ngelahirin kamu." Dida menunjuk-nunjuk wajah putrinya sebagai bentuk kekecewaan.

"Kalau memang itu keputusan kamu, siap-siap aja kamu bakal menderita seumur hidup. Kamu kira suami kamu yang miskin ini bisa bangkit dari keterpurukannya?" Dodi pun tak dapat mengendapkan emosi. Ia geram bukan kepalang mendengar keputusan Anggi.

Anggi senatiasa menatap orang tuanya tanpa kedip. Ia sudah siap hidup susah sejak memutuskan untuk menjadi istri Jaka.

"Maain aku, Pa, Ma. Keputusanku udah bulat," ucap Anggi.

"Sudahlah, Mas. Gak usah kita urusin hidup anak ini lagi." Dida memberi isyarat pada suaminya agar mereka pulang.

"Kamu menang Jaka! Aku yang sudah susah payah membesarkan Anggi, tapi malah kamu yang dipilihnya," tukas Dodi menarik kedua sudut bibirnya.

Laki-laki berbadan tegap itu menarik lengan istrinya dan membawanya masuk ke mobil. Anggi sama sekali tidak menghalau kepergian orang tuanya, meski tahu entah kapan dia akan berjumpa dengan mereka lagi.

Seberes punggung Dodi dan Dida menghilang, Anggi langsung berbalik badan dan duduk di kursi ruang tengah. Pergerakannya diikuti oleh sang suami.

"Mas gak enak, Anggi," kata Jaka meremas rambutnya sendiri.

Jaka pun tidak tahu harus berbuat apa. Dodi dan Dida akan semakin marah apabila ia bersuara. Bahkan, bisa-bisa mereka membawa Anggi pulang secara paksa seperti kejadian lalu. Sementara di sisi lain, Jaka begitu tidak tega dengan Dodi dan Dida yang kehilangan anak mereka. Jaka tak ingin disebut sebagai objek perusak hubungan antara anak dan orang tua. Jaka berada diantara awan hitam.

"Mas jangan khawatir. Aku ngelakuin semua ini, karena aku tahu Papa dan Mama gak bakal bisa marah lama-lama samaku." Anggi memutuskan jarak diantara keduanya dan meraba punggung tangan Jaka.

"Kamu yakin?" Jaka memicingkan matanya.

"Iya, Mas. Untuk saat ini biarin aja Papa dan Mama tenangin diri. Besok-besok pasti mereka bakal cariin aku lagi," balas Anggi dengan PD-nya.

"Kalau misalnya mereka gak cariin kamu, gimana?"

"Ah, Mas ini. Yakin ajalah,"

Anggi memercayai bahwa Dodi dan Dida akan merindukannya, sebab mereka tidak memiliki anak selain Anggi. Namun, siapa yang dapat menjamin. Semua itu hanyalah ekspektasi yang belum tentu benar. Semoga saja Dodi dan Dida benar-benar akan memaafkannya.

***

Hari ini merupakan hari pertama Jaka kembali bekerja pasca wafatnya Jamilah. Jaka mendayung kakinya memasuki arena café. Di sana sudah ada beberapa karyawan yang mulai bekerja.

"Eh, Jaka. Sudah masuk?" tanya salah seorang temannya.

Jaka tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala sebagai bentuk jawaban, kemudian melanjutkan perjalanan untuk menuju ruangan khusus karyawan. Ketika Jaka melintasi beberapa pekerja wanita, Jaka mendengar pertanyaan aneh dari mereka.

"Jaka, kok gak barengan sama Susi perginya?" tanya Ayu, lalu memanjangkan lehernya guna mencari keberadaan Susi.

Jaka menyentak kepalanya sendiri. Kenapa mereka bisa berkata sedemikian rupa? Padahal mereka tahu, kalau selama ini Jaka dan Susi tidak pernah pergi maupun pulang bersamaan.

"Iya. Masak kamu ninggalin dia sih," tambah Leni. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Tak ingin menimbulkan salah paham, akhirnya Jaka berseru, "Kalian ini kenapa, sih? Aku kan memang gak pernah pergi barengan sama Susi,"

"Ya, pengen aja gitu sesekali lihat kamu jalan sama dia." Ayu menyatukan telunjuk kiri dan kanannya sembari memejamkan mata.

Mendapati pertanyaan konyol dari rekan kerjanya membuat Jaka merasa ingin muntah. Apalagi yang disanding-sandingkan dengan dirinya adalah perempuan yang tidak ia sukai.

Jaka menggelengkan kepala, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Ayu dan Leni. Lebih baik dia segera bekerja, ketimbang mendengar celoteh yang menurutnya tidak penting itu.

Siangnya ketika jam istirahat tersisa lima menit lagi, Jaka mencari keberadaan Susi. Dia menemukan wanita itu tengah memainkan ponsel di ruang makan khusus karyawan.

"Mas Jaka?" Susi kaget dengan kemunculan Jaka.

Hanya ada mereka berdua di sana dan Jaka terus bergerak mendekati Susi. Dia pun tak ingin berlama-lama, karena tidak mau menimbulkan fitnah.

"Aku mau tanya sesuatu sama kamu," ucap Jaka.

Susi membenahi posisi duduknya dan matanya sedikit melotot. Dirinya bersiap-siap untuk menerima pertanyaan dari Jaka.

"Iya, Mas?"

"Kenapa Ayu dan Leni bawa-bawa nama kamu di depanku?"

"Maksudnya, Mas?" Dahi Susi berkedut.

"Mereka bilang lebih baik kita pergi dan pulang kerja itu berdua,"

Susi langsung tertawa mendengar penuturan lawan bicaranya. Diletakkannya ponsel dan mulai fokus pada Jaka seorang.

"Oh. Hahaha. Kan, emang bener, Mas. Kita tetanggaan, tapi gak pernah pergi barengan," balas Susi membenarkan ucapan rekan-rekannya.

"Kamu ada ngomong apa ke mereka? Kamu ngarang yang enggak-enggak, Sus?"

"Duh, Mas Jaka! Bukan begitu ceritanya." Susi menyilangkan kedua kaki. "Jadi, sewaktu kamu gak datang kemarin, mereka tanya-tanya kamu ke aku. Ya, cuma pertanyaan umum sih, Mas, karena kamu anak baru dan mereka belum terlalu kenal. Mereka juga bilang kalau kita ini cocok, Mas," sambungnya.

Susi benar-benar keterlaluan. Omongan yang disampaikannya pada rekan kerja wanita dan Jaka sangatlah berbeda. Susi mengarang semuanya agar semua orang seakan mendukung kedekatannya dengan Jaka.

"Cocok gimana maksudmu?" tanya Jaka mulai curiga.

"Ya, cocok jadi emmm-" Susi menubrukkan ke sepuluh jarinya dan mengapit bibirnya. Tak perlu ia lanjutkan kalimat, karena Jaka pasti sudah mengerti.

"Jangan gila kamu, Sus! Aku ini udah beristri." Jaka melabuhkan sepasang tangannya di pinggang.

"Kan, kata mereka, Mas. Aku sih cuma nyampein aja." Susi memanyunkan bibirnya.

Ketika sedang berada dalam satu ruangan yang sama, tiba-tiba saja Ayu muncul tanpa aba-aba. Ayu sontak terkejut melihat adanya dua manusia yang saling membicarakan entah apa. Buru-buru Ayu berjalan ke arah mereka. Kini, dirinya semakin memercayai jika telah ada sesuatu diantara Jaka dan Susi.

"Ups! Kalian ngapain berduaan di sini?" Ayu menilik sepasang manusia tersebut secara bergantian.

***

"Loh, Mas ke sini lagi?"

Anggi begitu kaget saat mendapati Raka nangkring di meja makan sambil menyesap sebatang rokok.

"Ini rumahku, Anggi. Apa salahnya?" Raka kaget dengan pertanyaan pembantunya tersebut.

"Maaf, Mas. Kemarin Mas udah di sini, jadi kupikir gak datang lagi,"

Anggi menundukkan kepala kemudian berlari menuju dapur. Ia sungguh merasa bersalah dengan pertanyaannya. Sejujurnya Anggi lebih suka sendiri di gedung luas tersebut. Jika ada Raka, dirinya merasa tidak bebas dan sungkan melakukan apa-apa. Bahkan, Anggi sendiri pun tidak memberitahu suaminya, jika ia bekerja di sebuah rumah tanpa penghuni. Anggi tak dapat membayangkan bagaimana cemburunya Jaka apabila ia mengetahui kalau Anggi sering berduaan dengan Raka. Anggi melakukan semua ini semata-mata untuk membantu perekonomian suaminya.

Raka tertawa kecil. Sengaja ia menunggu Anggi menyelesaikan seluruh perkerjaannya. Setelah itu, ia kembali menghampiri Anggi.

"Aku masih punya satu pekerjaan untukmu lagi, Anggi," titah Jaka.

Anggi yang sedang bersiap untuk pulang, lantas saja mengenduskan napas berat dan sedikit kaget. Dia sungguh lelah dan ingin segera pulang ke rumah.

"Apa, Mas?" tanya Anggi.

"Temani aku makan siang hari ini,"

"Makan siang?" Mulut Anggi bak goa. Tidak habis pikir bahwa pekerjaan yang diberikan Raka merupakan kegiatan tak masuk akal.

***

Bersambung