Aktif berorganisasi membuat aku menjadi semakin sibuk. Berbagai organisasi aku ikuti, baik dari dalam kampus maupun dari luar kampus. Tujuan utamanya adalah agar softskill aku semakin terasah dan jaringan pertemananku semakin luas.
Banyak sekali teman baru yang aku kenal dengan atmosfir positif yang betebaran. Tidak hanya menjadi organisasi, aku juga kerap kali di daulat untuk menjadi pengurus organisasi. Dan itu semakin menjadikan aku semakin sibuk. Sejak saat itu, aku jarang sekali menemani Sintia untuk ke sana ke mari.
Dulu, sebelum aku sibuk dengan kegiatan-kegiatanku di kampus maupun di luar kampus ini. Aku sering kali menemani Sintia pemotretan maupun sekedar hangout. Sebenarnya, dulu aku sempat menjadi manajer untuk dirinya. Jadi setiap ada tawaran kerja sama, pasti melalui diriku.
Namun karena aku samakin sibuk dan ini juga tuntutan menjadi seorang penerima beasiswa, jadi aku meminta Sintia untuk tidak menjadikanku manajernya lagi. Meskipun demikian, jika aku memiliki waktu senggang, aku bisa menemaninya sesekali.
Beasiswa yang aku dapatkan adalah hasil dari jerih payahku selama ini. Aku menjadi salah satu anak teladan di sekolahku dulu. Dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), aku selalu menjadi juara peringkat pertama secara paralel. Banyak sekali piala dari ajang perlombaan yang berhasil aku bawa pulang. Sampai-sampai lemari kaca yang ada di rumahku sudah penuh oleh piala-piala tersebut.
Menjadi anak yang terlahir dari keluarga sederhana tidak memadamkan semangatku untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Terlebih aku berhasil mendapatkan beasiswa yang menjamin aku kuliah gratis tanpa harus mengeluarkan biaya sepeser pun selama mengenyam pendidikan di perguruan tinggi negeri yang aku masuki saat ini.
Sintia tidak mau jauh dariku, sehingga dia memutuskan untuk mengikuti jejakku dengan mendaftar di kampus yang sama. Meskipun dia harus menerima kenyataan bahwa jurusan yang dia inginkan tidak mampu dia tembus. Akhirnya dia memilih untuk tetap melanjutkan kuliah di jurusan yang berbeda denganku, namun tetap di kampus yang sama.
Sabtu dan Minggu selalu aku luangkan untuk Sintia. Itu adalah jadwal wajib untukku menemani Sintia. Jadi, meskipun sudah aku tolak, dia masih memberiku gaji dengan nilai yang bisa dibilang lumayan bagi anak rantau sepertiku. Lumayan untuk beli buku dan makan sehari-hari.
Sintia adalah penyelamatku. Sahabat yang terkadang bersikap seperti Ibu Suri bagiku. Dia tahu aku tulus bersahabat dengannya. Tidak hanya melihat harta yang dimilikinya, melainkan memang menerima dirinya untuk menjadi sahabatku. Jadi, meskipun kebersamaan kami sudah tidak sesering dulu, tapi kami masih saling berhubungan mesra.
Sebenarnya Sintia pernah mengajakku untuk tinggal di rumah kos yang sama, namun aku menolaknya. Aku lebih memilih untuk tinggal di asrama mahasiswa yang memang sudah disediakan bagi penerima beasiswa sepertiku. Bukan tanpa alasan aku menolak ajakan Sintia tersebut. Aku hanya tidak ingin membebani Sintia lebih banyak lagi. Sudah cukup selama ini Sintia banyak membantu diriku dan keluargaku.
Asrama mahasiswa terdiri dari dua bagian yang terpisah, yaitu asrama putri dan asrama putra. Bagi seorang mahasiswa beasiswa, banyak kegiatan tambahan dari kampus yang harus aku ikuti. Berbeda dengan Sintia, aku lebih banyak menghabiskan waktunya di kampus dari pada nongkrong di kafe atau sekedar jalan-jalan di mall. Namun tidak jarang aku menemani Sintia untuk berbelanja di mall meskipun hanya pada hari Sabtu dan Minggu atau saat malam hari dimana tidak ada kegiatan lagi yang harus kuikuti.
Sebagai para jomlo, tidak jarang aku dan dirinya diledeki sebagai pasangan sejenis. Meskipun kadang geram, tapi aku belajar untuk selalu tenang seperti Sintia. Selalu mencoba cuek bebek tak mendengarkan gonggongan-gonggongan tidak penting yang tak mendasar dan kalau dituruti hanya akan memperburuk keadaan. Yang ada bukannya mereda, gosip-gosip tak jelas seperti itu malah akan menjadi semakin ramai kalau kita sebagai pihak yang diperbincangkan alias menjadi buah bibir merespon.
Jadi ibarat ikan yang dipancing, ketika umpannya dimakan, maka keselamatan ikannya malah semakin berada dalam bahaya. Sementara si pemancing akan bahagia karena mendapatkan tangkapan yang diharapkannya. Sintia sudah sering menjadi buah bibir orang-orang. Baik dari orang dia kenal bahkan dari orang yang tidak yang dia kenal sekali pun. Mentalnya memang luar bisa. Tidak salah jika dia melebarkan sayapnya di dunia hiburan seperti saat ini.
Kesibukanku membuatku melupakan Dito untuk sementara waktu. Aku sudah mulai merelakannya kalau pun benar dia mulai dekat dengan perempuan lain. Aku tidak ingin terlalu berharap bahwa omongannya sebelum pergi ke Belanda bahwa akan kembali padaku bahkan jika aku sudah bersama orang lain akan benar-benar terrealisasi.
Satu setengah tahun bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi rencanya, dia akan mencari pekerjaan di sana sembari mencari pengalaman. Sehingga belum jelas kapan dia akan kembali di Indonesia.
Sebenarnya aku merasa bahagia selama kesendirianku, hanya saja karena statusku itu lebih banyak laki-laki yang mencoba mendekatiku. Ingin aku berpura-pura sudah punya kekasih hati. Tapi aku juga malu jika ternyata ketahuan bahwa aku hanya ngaku-ngaku dan sebenarnya memang aku masih sendiri.
Aku sering kali mengabaikan laki-laki yang mencoba mendekatiku, hingga aku sudah dikenal sebagai perempuan angkuh dan sombong. Padahal aku tidak berniat sedikit pun untuk demikian. Sudahlah, memang kita tidak bisa mengontrol ucapan dan penilaian seseorang. Sebaik apapun kita, jika ada orang yang tidak menyukai kita, kita akan tetap terlihat buruk di matanya.
"Eh, Yumi ada yang mau kenalan tuh," kata Nada teman kamarku di asrama.
"Apaan sih, sudah biarkan saja," jawabku.
"Jangan gitu, nanti dibilang sombong lagi," ucap Nada mencoba memperingati.
"Ganteng tahu dia," bisiknya.
Aku tetap mengabaikan apa yang dibicarakan Nada. Tida-tiba ada dua orang laki-laki yang berjalan mendekati aku dan Nada yang tengah mengerjakan tugas di kantin asrama.
"Hai, Aku Dion. Boleh kenalan enggak?" tanya salah satu dari laki-laki itu.
"Oh … hai juga. Namaku Nada dan ini temanku, Yumi. Salam kenal Dion," jawab Nada sambil bersalaman dengan Dion.
Aku hanya menatap mereka kemudian menlanjutkan tugas yang sedang kukerjakan. Teman Dion yang tidak sempat diperkenalkan kepada kami hanya terdiam dan duduk sambil mengeluarkan laptop dari tas yang dibawanya.
"Kalau Masnya namanya siapa?" celetuk Nada.
"Oh iya maaf, Saya sampai lupa. Perkenalkan Saya Andra," jawab teman Dion tersebut.
Tidak seperti Dion, Andra terlihat lebih tenang dan sibuk dengan laptopnya. Seperti diriku, dia tidak begitu memperhatikan sekitar dan asik dengan dunianya sendiri.
"Ayo lo, ketahuan ya Kamu curi pandang ke Andra," canda Nada.
Seketika aku menjadi salah tingkah dan baru tersadar bahwa aku memperhatikan Andra beberapa saat. Sementara Dion terlihat sedikit kecewa karena aku mengabaikannya dan malah lebih memperhatiakan Andra. Mukaku memerah namun tetap mencoba mengelak, "Siapa juga yang lagi curi pandang. Orang dari tadi Aku sibuk ngerjain tugas nih," sangkalku.
Andra hanya tersenyum dan mencoba mengajak bercanda. "Enggak apa-apa kok kalau memang lagi curi pandang. Langsung dipandang aja juga enggak masalah. Aku memang pemandangan yang indah yang bisa dinikmati oleh siapa saja," candanya.
Aku tidak menanggapi lagi ketika Nada dan Dion mulai tertawa karena ucapan Andra. Tidak disangka, ternyata Andra percaya dirinya tinggi juga. Aku pikir dia orang pendiam dan cuek, ternyata sekali bicara membuat orang lain tak mampu berkata-kata.