webnovel

Sabine

Kisah Sabine yang akhirnya bertemu kembali dengan cinta pertamanya. Meski harus melewati masa-masa sulit.

riem · Urban
Not enough ratings
44 Chs

Nikahi Aku

Om jemput ya? Kita main ke PI

Nggak usah, Om. Repot. Ciputat kalo dah sore macet. Biar aku naik ojek ke sana. Monolog kan?

Setelah memperoleh izin Ridwan, Sabine meluncur ke mall PI. Dia malah diantar Giok, anak buah Ridwan, dengan motor besar.

_______

Niko tersenyum puas ke arah Sabine yang baru tiba di gerbang mall. Apalagi melihat dandanan Sabine yang sempurna sore itu. Tubuh Sabine dibalut Cardigan rajut coklat dengan celana krem terang. Kaki Sabine tetap menawan meski ditutup oleh sepatu kets limapuluh ribuan. Tas kecil lusuhnya juga tidak merusak penampilannya. Sabine tetap cantik. Ciri khas lainnya adalah rambut pirangnya yang tetap pendek. Kali ini rambutnya ditata rapi, diminyaki, sehingga wajah mulusnya terlihat lebih jelas. Sabine sentuh rambutnya yang rapi itu dengan jepit kecil di sisi kiri kepalanya. Niko senang melihatnya. Sabine tidak berubah, gumamnya dalam hati. Tetap simpel.

Lalu mereka berdua melangkah menuju café yang mereka tuju.

"Masih sering ke sini?," tanya Niko di tengah langkah mereka menuju café.

"Terakhir kan pas aku diajak Tante Evi, Om. Pas kita jalan-jalan seru,"

"Kamu nggak ke sini lagi setelahnya?,"

"Nggak,"

"Sama teman kek?,"

"O..., bukan di sini. Sering ke café Sudirman. Ikutan nongkrong sama Bella dan Katie,"

Niko tertawa. "Nakal ya?," decaknya.

_______

Dan kini mereka berdua duduk berhadap-hadapan di salah satu pojok café. Menu yang mereka pesan pun sudah tertata cantik di atas meja.

"Tinggal dikasih lilin nih. Jadi kayak kencan ya, Om?," komentar Sabine sambil melihat-lihat makanan dan minuman yang sudah siap disantap. Dia memulai meraih peralatan makanan.

Niko senyum-senyum mendengar celoteh Sabine. Dia tahu, Sabine masih menyimpan perasaan khusus terhadapnya hingga sekarang. Terlebih saat mengunjungi kamar kosnya. Buku-buku dongeng lusuh yang sering dia baca, masih saja disimpan Sabine di kamarnya.

Niko pun memulai menyantap makanannya. Sambil sesekali menatap Sabine.

"Boleh nanya sesuatu, Om?,"

"Tentang?,"

"Pernikahan Om."

Niko menghela napas pendek.

"Pasti nanya kenapa cerai?,"

Sabine mengangguk.

"Menurut kamu?,"

"Ya. Mana aku tau,"

Niko tampak seperti memikirkan sesuatu. Ada ragu di raut wajahnya.

"Om mandul...," jawab Niko datar.

Sabine menghentikan makannya. Dia tampak tegang. Tidak menyangka jawaban Niko selantang itu.

"Nggak reaksi...," lanjut Niko. Dia tampak tenang.

Napas Sabine tertahan mendengar pengakuan Niko.

"Tante Evi sangat menginginkan anak. Sebenarnya Om juga mau. Tapi apa daya, Om dinyatakan mandul,"

Sabine meraih tangan Niko. Menggenggamnya.

"Sejak Om dinyatakan mandul, Om tidak memiliki napsu bercinta. Hingga Tante Evi..., she bertrayed me...,"

Tatapan Niko mulai kosong.

Sabine memindahkan kursinya di sisi Niko.

"Dia hamil. Dan bukan anak Om. Tapi anak sahabat Om. Bira namanya, orang yang hampir menyentuh kamu, Sabine,"

Dada Sabine mulai sesak. Bira, yang hampir jadi sugar daddynya, ternyata sahabat Niko.

"Dan Om digugat cerai,"

Niko mulai mengangkat kepalanya, menatap wajah Sabine yang ikut sedih mendengar kisahnya.

"Om sangat mencintai Tante Evi. Tapi dia berkhianat. Dia juga cinta Om. Tapi Om nggak bisa ngasih anak,"

"Turut sedih, Om...," ucap Sabine.

Niko merangkul Sabine. Dia mulai tersenyum. Rasanya lega ada yang mendengar keluhnya.

"Asal kamu tau, Om berada di hotel itu saat kamu tidur bersama Akhyar,"

Sabine melepaskan genggaman tangannya dari tangan Niko. Entah kenapa dia tidak suka mendengar nama itu.

"Kenapa? Om cuma mau jelaskan. Seandainya ..., hah..., ya ampun. Saat itu Bira hampir saja mencegah kamu naik taksi. Dia mengira kamu sudah pulang. Ternyata kamu masih di sana,"

Niko meraih tangan Sabine.

"Om tau semuanya, termasuk pertengkaran itu. Kamu hebat, Sayang. Siapa yang ngajarin kamu kuat?,"

"Om Niko. Yang ajarin Sabine mandiri kan?,"

Niko tertawa kecil. Sabine masih saja menggemaskan.

Meski hidup Sabine kini berubah, tapi tidak ada kesedihan yang terpancar dari wajahnya. Sabine cukup tenang. Niko masih ingat pertama kali melihat Sabine saat perkenalan. Gadis itu juga terlihat biasa saja, seperti tidak memiliki kisah sedih. Padahal dia adalah anak yang kehadirannya tidak diinginkan saudara-saudaranya, juga mama kandungnya.

"Kamu mau kuliah? Om biayai kalo kamu mau. Kamu nggak mungkin bekerja di pasar ikan terus-terusan," Tiba-tiba Niko mengalihkan pembicaraan.

"Aku nggak niat bekerja di situ terus-terusan, Om. Aku tetap nabung. Kadang Bang Ridwan juga suka ngasih duit lebih, kalo gajian. Kadang ada bonus juga dikasih. Aku tetap punya rencana kuliah. Pinginnya di Melbourne. Kangen Mama, Kak Silvi, juga Kak Olive,"

"Udah banyak nabungnya?,"

Wajah Sabine memerah. Malu rasanya menyebut jumlah uang yang dia miliki. Pasti ditertawakan oleh bankir yang bernama Niko.

"Lumayan...,"

"Trus mau nggak?,"

"Apaan, Om?,"

"Kuliah. Om bayarin. Tapi jangan di Melbourne. Om nggak bisa mantau kamu nanti. Khawatir kebablasan. Selesai S1, baru boleh kamu lanjut Melbourne,"

Sabine menggigit bibirnya. Dia ragu.

"Tapi Om yang nentuin kuliah kamu. BSD ya? biar deket sama Om. Cari kos-kosan di sana,"

Sabine menghela napasnya. Dia ingat Ridwan. Seketika dia merasa belum sanggup berpisah dengan orang itu. Tapi mana mungkin dia terus-terusan berjualan di pasar. Sepertinya menolak bantuan Niko bukan sesuatu yang bagus. Menerima lebih baik.

Sabine mengangguk. "Mau, Om...,"

***

Niko memelankan laju mobilnya ketika sudah hampir tiba di gang sempit menuju kos-kosan di mana Sabine tinggal. Kemudian memarkirkannya di sisi trotoar jalan.

"Kamu siapin bahan-bahan kamu segera, Sabine...," ujar Niko mengingatkan. Sepertinya dia sungguh-sungguh ingin membantu Sabine.

Sabine menghela napasnya. Dia merasa begitu cepat menerima niat baik Niko.

"Kenapa aku tinggal di kos nanti, Om? Kenapa nggak sama Om?," tanya Sabine. Dia agak sedih saat Niko menyarankannya untuk pindah kos. Meski berdekatan, Sabine tampaknya ingin lebih dekat lagi, karena memang sebelumnya mereka sangat dekat.

"Sabine..., Om sendiri di rumah itu. Apa kata orang sekitar kalo tau kita berdua tinggal satu atap. Tanpa ikatan pernikahan. Sementara kita tidak punya hubungan keluarga,"

Sabine terdiam.

"Sebenarnya sih mereka tidak peduli-peduli amat. Tapi Om jaga-jaga perasaan juga. Kadang-kadang keluarga Om dari Bantul suka main ke sini. Nginap di rumah Om. Kalo kamu di sana sama Om, nanti kamu dikira gadis nakal..., godain duda,"

Niko mulai bercanda. Tapi Sabine sama sekali tidak menganggapnya lelucon.

"Kenapa kita nggak nikah aja, Om?," usul Sabine.

Niko terkejut mendengar apa yang terucap di mulut Sabine.

"Oke..., aku tau. Om nggak punya rasa apapun sama aku. Aku tau Om sayang aku. Perasaan cinta aku memang bertepuk sebelah tangan. Asal Om tau, Aku selalu simpan rasa cinta aku ke Om Niko selama ini. Meski aku pernah berhubungan dengan Daddy Akhyar, aku anggap itu hanya sebatas keinginan disayang, bukan dicinta. Karena memang posisinya seperti itu. Tidak akan bertahan lama. Aku bahkan bertekad untuk sendirian saja sampai mati, Om. Karena aku memang tidak diinginkan."

Sabine sudah tidak tahan lagi.

"Sabine...," desah Niko. Dia menggeleng. Sabine memang keras kepala, walau sebenarnya dia cukup pengalah.

"Nggak papa, Om. Sepertinya aku tolak saja bantuan Om. Buat apa aku kuliah, ngekos, tapi terus tersiksa melihat Om. Nggak ada kejelasan. Maaf, Om Niko. Aku mungkin terlalu cepat mengatakan ini. Padahal kita baru aja ketemuan. Karena aku nggak sanggup nahan lagi. Nggak sanggup setiap malam harus baca buku cerita hanya sekadar berusaha mendengar suara Om...,"

Sabine mengerjapkan matanya.

"Nggak semudah itu, Sabine...,"

"Maksudnya apa? Kenapa tidak dipermudah saja?,"

"Om mandul, Sayang. Nggak bereaksi! Apa kamu nanti bahagia dengan Om??,"

"Aku nggak peduli...,"

"Kamu bisa ngomong begitu sekarang..., selanjutnya? Apa ada jaminan? Evi dulu begitu..., cinta mati sama Om. Buktinya dia juga berkhianat,"

"Aku bukan Tante Evi,"

"Kamu sudah disentuh Akhyar,"

"Iya..., kenapa? Om jijik?,"

"Bisa saja kamu nantinya menginginkan sentuhannya lagi. Karena Om tidak bisa ngasih kamu kenikmatan yang sesunggguhnya ,"

"Om kira menikah itu hanya seputar sex? Anak? Om salah...,"

"Om sudah melewati masa-masa itu, Sabine,"

Sabine cemberut. Ini yang dia tidak suka.

"Aku nggak mau kuliah...,"

"Sabine...,"

"Aku mau di sini aja. Aku merasa dihargai di sini,"

Sabine membuka pintu mobil, tapi Niko menguncinya.

Niko meraih pinggang Sabine, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Sabine.

Seketika detak jantung Sabine tak beraturan saat bibir Niko mulai mendekati bibirnya.

"Ini yang kamu mau?," tanya Niko sambil meraba-raba bibir Sabine. Napasnya terdengar sesak.

Sabine tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia langsung melumat bibir Niko tanpa ampun. dipaksanya Niko membuka mulutnya, agar lidahnya bebas masuk dan menyentuh lidah Niko. Niko pasrah, saat Sabine dengan buas menguasai wajahnya.

"Mundurkan kursinya, Om," perintah Sabine. Niko memundurkan kursinya agar Sabine lebih mudah menindihnya.

Sabine semakin beringas. Dia sudah duduk mengangkang di atas tubuh Niko sambil terus melumat-lumat bibir Niko.

"Sudah, Sabine. Cukup!," elak Niko. Tapi tidak kuasa mendorong tubuh Sabine, karena Sabine cukup kuat mendorong tubuhnya ke tubuh Niko.

Sabine tak peduli. Dia mulai membuka bajunya serta branya. Kini hanya bawahan yang melekat di tubuh Sabine. dia terus menekan-nekan tubuh Niko. Sambil sesekali mendekatkan buah dadanya ke wajah Niko.

"Stop..., stop, Sayang," Niko mencoba mendorong tubuh kurus Sabine.

Sabine akhirnya menghentikan ulahnya. Dia mundur, lalu perlahan berpindah tempat duduk di sisi kiri Niko.

"Aku masih perawan, Om," ujar Sabine sambil memakaikan bra ke tubuhnya, juga bajunya. "Aku tidak pernah 'disentuh' Daddy Akhyar. Aku hanya bersenang-senang dengannya. Senang saat dia memandikan aku."

Sabine sekilas melirik pangkal paha Niko. Sesuatu muncul dari balik celana Niko. Sepertinya Niko tidak menyadarinya. Niko masih tampak gusar.

"Om..., aku pulang."

Niko menghela kecewa.

"Siapkan bahan-bahan kamu, Sabine,"

"Aku nggak mau kuliah!,"

"Bahan-bahan untuk menikah! Kita menikah secepatnya!,"

***