webnovel

MS - 01

RUNDA

MS - 01

"Katanya, hidup adalah ketika kau menjalani yang bukan keinginanmu, dan mengubur yang kau sukai."

Busan, 2018

[3 bulan sebelum kecelakaan]

>>>>>

"Sungguh tidak sabar menunggu kedatangan anakmu, Boram."

Kerumunan penjemput memenuhi pintu kedatangan luar negeri bandara. Saat ini masih pukul 5 pagi namun tak menghalangi antusiasme penjemput. Termasuk diantaranya tiga -tidak hanya dua-. Dua wanita di pertengahan usia 50an.

Mereka sebenarnya datang bertiga, namun salah satu dari mereka -gadis berusia 25 tahun- lebih memilih untuk duduk jauh dari kerumunan, menguap.

"Minah, kemari!" Salah satu wanita paruh baya memanggil dengan suara cukup keras. Melambaikan tangan dengan mata sipit yang berusaha memelototi gadis yang dipanggil Minah itu.

Gadis itu mendesah malas, berjalan ogah-ogahan menuju wanita paruh baya -Ibunya- yang melotot dan wanita paruh baya yang tersenyum ramah kearahnya.

"Minah maaf, kau pasti sangat mengantuk. Seharusnya kita biarkan saja dia di rumah." Wanita ramah itu mengelus puncak kepala Minah lembut.

"Dia harus ikut. Bukankah ini untuk menyambut calon suaminya?" Ibu Minah tersenyum ke arah calon besannya. Dua wanita paruh baya itu saling pandang lalu tertawa cekikikan. Minah hanya memutar kedua bola matanya.

Calon suami? Minah benar-benar muak mendengar hal itu. Persoalan calon suami ini sudah didengarnya semenjak ia berusia 19 tahun.

Calon suami yang merupakan anak dari sahabat Ayah dan Ibunya ini. Pertunangan yang bahkan bukan karena balas budi, perjanjian antar leluhur, bahkan bukan atas dasar nama cinta, seperti kisah-kisah cinta masa muda kebanyakan.

Hanya soal hubungan baik yang terbina diantara dua keluarga, persahabatan kedua Ibu mereka. Dan betapa indahnya bila hubungan itu semakin berlanjut dengan tali pernikahan anak mereka.

Tapi baik Minah maupun calon suaminya, tak ada yang menyetujui perjodohan ini. Sampai kapanpun.

"Ah, itu dia!" Ibu calon suaminya -Ny. Boram Han- segera berjalan saat sosok lelaki berjas hitam dan berkaca mata hitam berjalan menuju pintu kedatangan.

Ibu Minah pun hendak mengikuti calon besannya itu sebelum, "Ini." Minah menyodorkan buket bunga di tangannya.

"Ibu saja yang memberikannya, dia tak akan senang melihatku. Aku akan menunggu dengan tenang di sini, atau kalau Ibu menolak aku bisa-" Minah tersenyum miring saat melihat beberap reporter mendatangi calon suaminya.

Dengan berdecak Ibu Minah mengambil buket bunga itu. "Selalu saja kau bersikap dingin pada Seunghyun. Tetap di sini, ok!"

Minah melihat dari kejauhan interaksi Ibunya, calon mertuanya, para reporter juga calon suaminya. Dagu calon suaminya begitu tegak menganggak ke atas, senyumnya lebar dan tersenyum ramah ke sana kemari. Namun tak ada yang bisa melihat sorot matanya yang tertutupi kaca mata hitam itu.

"Lihatlah, si percaya diri nan sombong itu." Minah mendengus, melipat kedua lengannya di depan dada.

"Terima kasih sudah ikut menjemput anakku Seunghyun, Minah." Ny. Boram mengelus rambut Minah, setelah mereka selesai sarapan di sebuah restoran cepat saji bandara. Minah hanya mengangguk dan tersenyum sebentar. "Jangan lupa untuk datang besok malam untuk cara makan malam penyambutan Seunghyun. Hati-hati menyetirnya, Yowon."

Minah dan Ibunya pun berpisah dengan Ny. Boram dan Seunghyun.

"Betapa tampan dan suksesnya calon menantuku. Kau lihat kan banyaknya reporter yang berebut ingin mewawancarainya. Kau beruntung akan memiliki suami seperti itu." Ny. Lee Yowon -Ibu Minah- terus saja mengoceh tentang Seunghyun dan Seunghyun lagi, sepanjang jalan. Minah lebih banyak mengatupkan bibirnya, menguap beberapa kali, sibuk melihat ke luar jendela yang lebih cerah dari takdirnya.

"Sikapmu ini, sikapmu yang seperti ini." Ny. Yowon mengatupkan bibirnya, menatap pada anaknya yang masih terus menatap ke luar jendela. "Kau itu sangat beruntung, tak tahukah kau akan hal itu? Yak, aku berbicara padamu!" Ny. Yowon menggoyangkan bahu Minah yang kini lebih memilih menyandarkan kepalanya pada jendela sambil menutup kedua matanya.

"Ibu," Minah beralih menatap Ibunya. "Kami tidak saling menyukai, sejak lama. Kami tidak akan pernah bisa memiliki hubungan indah seperti kalian, untuk berteman saja tidak mungkin. Jadi hancurkan saja harapan Ibu itu. Ini bukan keberuntungan. Sudah berapa kali aku mengatakannya."

"Aku selalu tak mengerti apa yang kau tidak sukai dari Seunghyun." Suara Ny. Yowon kini lebih lembut.

"Semua, semua yang ada di dirinya, aku tidak menyukainya, karena dia adalah Seunghyun. Ibu tak sadar setebal apa bedak yang dipakai di wajahnya itu? Aku pikir Ibu sangat lihai menilai orang lain." Mendengarnya Ny. Yowon hanya menghela napas. "Aku menyukai seseorang seperti Ayahku."

"Ayahmu? Apa yang kau sukai dari pria yang berjalan lurus tanpa memiliki ambisi? Seunghyun, di usianya yang muda dia sudah memiliki hampir segalanya."

"Apa itu artinya Ibu tak bahagia selama ini hidup bersama Ayah, kami?"

Ny. Yowon melotot, "Kau menyerang hatiku dengan sekali tepuk." Setelah itu dia tertawa. "Tentu saja aku bahagia bersama Ayahmu. Namun, kalau aku bertemu dengan Seunghyun lebih dulu, aku tak akan menolaknya."

Ny. Yowon tertawa lebih keras, Minah kembali melihat ke luar jendela. Perjalanan ke rumah, selanjutnya penuh keheningan.

※※※※※

Minah menuruni tangga rumahnya dengan rambut acak-acakan. Bau harum bumbu yang sedang ditumis memenuhi dapur. Dengan cepat Minah menuju dapur, duduk di meja makan, namun tangannya segera mendapat pukulan. Gadis itu dengap sigap sudah meraup keripik kentang dan memasukkannya segera ke dalam mulut.

Ibunya menggelengkan kepalanya dan krmbali ke depan kompor yang masih menyala, mengaduk-aduk sup.

"Ibu apa sarapannya belum siap? Aku sudah sangat lapar." Minah merengut sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja.

Delikan tajam kembali terlihat di wajah Ny. Bang, "Ini sudah hampir waktunya makan malam." Dengan sendok sup, Ny. Bang menunjuk ke arah jam dinding. "Kau ini." Saat melihat Minah tersenyum bodoh padanya.

"Kau tidak lupa acara nanti malam kan?" Tanya Ny. Bang kembali mengaduk supnya.

Minah hanya menjawab "hmm", membaringkan kepalanya di meja makan. Semalaman ia sibuk membuat sebuah lagu, baru tidur pukul 5 pagi, perutnya sangat lapar sekarang, dan Ibunya malah membahas soal undangan acara makan malam untuk penyambutan Seungri si sombong itu.

"Kalau kau ingin makan, datang di acara nanti malam."

"Lalu sup buatan Ibu itu untuk siapa?"

"Ini untuk uji coba menu baru."

Lagi? Ucap Minah dalam hati. Menghela napas, ia tak ada energi untuk berdebat dengan Ibunya.

"Cuci wajahmu dan mandi sana. Seo Yoon akan datang membawa gaun yang akan kau pakai nanti."

"Ibu, haruskah sampai memesan gaun pada bibi?" Kepala Minah kini tegak, kedua matanya yang seperti bulan sabit itu terbuka lebar. "Aku bisa saja memakai pakaianku yang biasanya."

"Kau harus terlihat cantik dan menggagumkan di hadapan semua orang nanti malam."

Kedua mata Minah menyipit, "Ibu, ini bukan salah satu rencana untuk mengumumkan pertunangan itu, kan?"

Setelah mematikan kompor, Ibu Minah menuangkan sup ke dalam termos makanan, kemudian pergi mencuci tangan. "Karena kau mengatakan itu, sepertinya terdengar bagus. Haruskah kita melakukannya?"

"Ibu!" Suara lengkingan dari bibir Minah tam membuat ekspresi Ny. Yowon berubah. "Kami tidak saling menyukai, Bu. Aku tak mau menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Apapun alasannya!" Minah lalu berdiri , menggerutu sambil menghentakkan kakinya di lantai. Berjalan kembali ke kamarnya.

"Kau harus datang nanti malam! Kau dengar itu!" Teriak Ny. Yowon, memandangi Ninah yang menaiki tangga.

※※※※※

Ketukan pintu terdengar, dengan langkah malas Minah membuka pintu kamarnya. Bibirnya yang sudah hendak menghardik siapapun yang berada di depan pintu kamarnya, terkatup saat melihat seorang gadis yang melambaikan tangan sambil tersenyum.

"Kau," Minah membuka pintu kamarnya lebar. Membiarkan gadis itu masuk lalu menutup pintu kamarnya lagi.

"Aku membawakanmu gaun, Eonni. " Gadis itu memajukan tas berukuran cukup besar yang dia vawa, membuat Minah menghela napas panjang. "Bibi cukup cerewet hari ini, memintaku untuk segera datang." Gadis itu mengeluarkan satu per satu gaun dari dalam tasnya.

"Gaun macam apa ini?" Minah mendengus melihat gaun-gaun di hadapannya. "Sudah berapa lama kita saling mengenal, Seo Yoon?" Berdiri dan membaringkan tubuhnya di ranjang.

"Ini semua pilihan Bibi." Seo Yoon menyusun dengan rapi gaun-gaun yang ia bawa. "Lagi pula bagaimana bisa menggunakan standar seleramu untuk acara nanti malam. Itu yang Bibi bilang pada kami." Tambah Seo Yoon saat melihat tatapan tajam Minah untuknya.

"Itu hanya makan malam biasa saja kan? Bukan acara penghargaan atau semacamnya. Segala hal tentang Lee Seungri tak ada pentingnya untukku." Minah menyelimuti dirinya, menutup kedua matanya erat.

"Ini memang hanya perayaan biasa. Tapi katanya akan ada beberapa wartawan yang meliput juga. Kau tau kan seberapa populernya Seungri. Jadi-"

"Aku tidak pedulu, tak ada urusannya denganku."

Seo Yoon menghela napasnya, membaringkan tubuhnya di samping Minah. "Eonni, tak bisakah kau melakukan ini untuk Bibi? Bibi begitu menyukai Seungri dan-"

"Aku sangat tak suka padanya." Potong Minah cepat dengan penuh penekanan. "Kau sudah berubah haluan Seo Yoon?"

"Bukan begitu, aku hanya tersentuh mendengar ucapan Bibi tentang harapan hubunganmu dengan Seungri. Jadi aku pikir, tak bisakah Eonni sekali saja melakukan ini untuk Bibi? Kita mungkin bisa membujuk Seungri untuk membiarkanmu mewujudkan mimpimu walau kalian sudah menikah."

"Tidak mau! Tidak akan pernah!"

Menghela napas sekali lagi. Ikut membaringkan tubuhnya di samoing Minah. Kedua mata Seo Yoon menatap langit-langit kamar. "Tak ada yang bisa membuatmu menurut kan, Eonni. Aku hanya ingin melihat kau, Bibi dan Paman selalu berbahagia. Itu saja. Dan kau tau kan aku akan selalu berada di sampingmu apapun yang terjadi."

Minah membuka selimut yang yang menutupi seluruh tubuhnya. Menatap Seo Yoon dengan kedua mata yang berbinar. "Kau harus membantuku."

"Eh?"

※※※※※

"Wah, dia benar-benar tidak datang, Hyung. Dia benar-benar bisa mengabaikan seorang Lee Seungri."

Seorang lelaki yang dipanggil Seungri hanya menatap lelaki di sampingnya dengan pandangan datar. "Aku pun tak berharap dia datang. Hanya saja telingaku begitu sakit mendengar Ibuku terus saja menyebut namanya."

"Tapi temannya berada di sini." Lelaki itu -Taemin- menunjuk seorang gadis yang sedang membawa piring-piring bekas pesta.

"Seo Yoon? Gadis itu mungkin seperti anak ayam yang mengikuti Minah kemanapun, tapi setidaknya Seo Yoon masih patuh pada ucapan Ibunya."

"Aku hanya tidak percaya, Hyung. Dia membiarkan Minah mengikat dan memberinya obat tidur, hanya agar Minah bisa kabur dari rumah. Lihat dia, tertawa-tawa seperti itu." Taemin mendengus. Kedua mata baik milik Taemin atau Seungri, mengikuti setiap pergerakan Seo Yoon.

"Kali ini Minah memang sudah keterlaluan."

※※※※※

TeBeCe...