webnovel

Pesan Dari Tuhan

Naina nyaris saja melompat dan melempar ponselnya. Ia sangat yakin bahwa kecelakaan itu bahkan kematian Imanuel benar-benar terjadi. Meski ada sedikit kelegaan setelah ia mendengar suara Imanuel lagi.

"Naina, hari ini kita jadi pergi kan?" tanya Imanuel.

"Pergi, ke mana?" tanya Naina.

"Candi Gedong Songo, ingat?" jawab Imanuel.

Naina kembali di buat terkejut. Sebelum kecelakaan itu terjadi ia dan Imanuel memang pergi ke situs budaya yang dijadikan tempat pariwisata itu. Apakah ia kembali ke masa lalu?

Naina kemudian mengecek kalender di ponselnya dan matanya terbelalak karena di layar ponsel berukuran 6,5 inci itu menunjukkan tanggal 15 Januari 2016. Itu berarti 3 hari sebelum kecelakaan terjadi dan memang benar pada waktu itu ia dan Imanuel pergi ke Gedong Songo.

"Halo, Naina, kamu masih di sana?" suara Imanuel di seberang sana membuat Naina terlonjak kaget hingga wajahnya memucat.

"Ha-ha-lo, Imanuel," jawabnya terbata-bata.

"Kamu kenapa, sakit, kalau memang sakit kita nggak jadi pergi saja, ya?" tanya Imanuel.

"Ah, jangan!" Naina setengah berteriak, "kita jadi pergi kok," lanjutnya.

"Okey, nanti aku jemput kamu, ya?"

"Iya, aku siap-siap dulu," jawab Naina.

Telepon ditutup.

Naina masih termangu menatap layar ponselnya. Ia selalu mengatur tanggal dan waktu di ponselnya secara otomatis sehingga tidak mungkin keliru. Apa benar kecelakaan itu hanya mimpi?

Tidak. Tidak mungkin. Mana mungkin dari tanggal 16 sampai 18 Januari dia bermimpi? Ia bisa merasakan dengan jelas itu benar-benar nyata dan Imanuel... .

Naina menggeleng-gelengkan kepala kemudian segera beranjak dari tempat tidurnya dan bersiap untuk pergi bersama Imanuel. Jika memang kecelakaan itu hanya sebuah mimpi seharusnya ia bersyukur karena ia masih punya kesempatan untuk melihat pria pujaan hatinya itu.

Satu jam kemudian Naina sudah siap untuk pergi. Dia sudah berdandan dan menata rambutnya juga memilih pakaian dan sepatu yang cocok untuk hari ini. Ia sangat senang sekali bisa bertemu Imanuel lagi karena mimpi tentang kematian Imanuel itu kini sangat menakutkan dan benar-benar tampak nyata.

Imanuel pun akhirnya sampai di depan rumah Naina. Kebetulan kedua orang tua Naina sedang ada di rumah. Heru, bapak Naina yang menoleh ke luar jendela tampak tak senang dengan kedatangan Imanuel.

Sejak awal ia tahu Imanuel adalah seorang Kristen ia sama sekali tak setuju pria itu menjalin hubungan dengan Naina. Pun, Lestari, istrinya, sebenarnya juga tak setuju tetapi ia masih berusaha bersikap ramah dengan Imanuel demi menjaga perasaan Naina.

"Halo, ibu!" sapa Imanuel begitu melihat Lestari di teras. Pria itu pun langsung mencium tangan Lestari dengan sopan.

"Kamu mau pergi dengan Naina?" tanya Lestari.

"Iya, bu, Naina belum bilang, ya?" tanya Imanuel.

"Sepertinya belum," jawab Lestari. Sebenarnya ia tahu Naina tidak bilang ia akan pergi dengan Imanuel karena Heru pasti akan melarang dan setelah itu ia akan banyak berceramah tentang agama. Lain jika tiba-tiba Imanuel datang menjemputnya pasti akan jadi tidak enak kalau tiba-tiba Heru mengatakan 'tidak boleh.'

Naina lalu keluar dari kamarnya setelah mengoleskan lipstik warna coral kesukaannya. Baru keluar kamar matanya sudah bertemu dengan bapaknya. "Kamu mau pergi? Sama Imanuel?" tanya Heru dengan nada melarang.

Naina menundukkan kepala, "iya, pak," jawabnya lirih.

"Naina, sudah berapa kali bapak bilang..."

"Maaf, pak, Naina pergi dulu, itu dia sudah di depan, nggak enak Imanuel nanti terlalu lama menunggu," potong Naina alih-alih menghindari khotbah bapaknya yang akan jauh lebih panjang dari kereta terpanjang yang pernah ada. Ia cepat-cepat pergi ke depan rumah menemui Imanuel.

"Naina?" panggil Heru yang merasa kesal. Tetapi Naina terus berangsur meninggalkannya. Ia pun hanya bisa menghela napas seraya geleng-geleng kepala.

Naina tersenyum bahagia ketika melihat Imanuel kini benar-benar ada di depan matanya. Ia sedang duduk di kursi teras tampak menunggunya seraya mengobrol dengan Lestari yang sedang menjemur cucian.

Ingin sekali ia langsung memeluk Imanuel tetapi itu tak bisa ia lakukan karena ia masih di rumah dan kedua orang tuanya juga ada. Mereka pasti akan marah besar jika melihat Naina memeluk Imanuel.

"Bu, Naina pergi dulu, ya?" pamit Naina.

"Iya, jangan lupa oleh-olehnya kalau pulang, ya," jawab Lestari dengan senyum ramahnya.

Imanuel tersenyum mendengar hal itu, "iya, bu, tenang saja, nanti pulang aku belikan sate kelinci," ujarnya.

"Terima kasih," ucap Lestari.

Imanuel dan Naina pun pergi ke daerah atas. Tepatnya daerah Bandungan, tempat di mana banyak tempat wisata yang ditawarkan, salah satunya adalah Kawasan Candi Gedong Songo.

Dari Mangkang yang terletak di pesisir Kota Semarang mereka menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam menggunakan sepeda motor untuk bisa sampai ke temoat tujuan.

Udara sejuk dan pemandangan hijau menjadi teman perjalanan Imanuel dan Naina saat sudah sampai di daerah atas Kota Semarang. Naina pun terus memeluk Imanuel selama perjalanan.

"Aku senang sekali kita akhirnya bertemu, aku kangen sekali sama kamu," ujar Naina.

"Bukannya baru beberapa hari saja kita nggak ketemu, kenapa sudah kangen?" tanya Imanuel.

"Bagus dong kalau beberapa hari saja tidak ketemu aku sudah kangen, itu tandanya aku sayang sama kamu," sahut Naina yang mengeratkan pelukannya.

Imanuel tersenyum mendengar kata-kata sayang dari Naina, "iya, aku juga sayang kamu, sayang sekali," jawabnya seraya menggenggam jemari Naina di perutnya.

Tak lama kemudian mereka akhirnya sampai di Candi Gedong Songo. Keduanya pun langsung pergi ke loket membeli tiket masuk dan dengan bergandengan tangan mulai berjalan menuju ke candi pertama.

Meskipun ada kuda yang siap disewa untuk mengelilingi kawasan candi, Naina memilih berjalan kaki saja. Imanuel sempat menawarkan untuk naik kuda saja supaya Naina tidak lelah karena jalan setapak yang akan mereka lalui terbentang sejauh 1,5 kilometer dan naik turun karena Candi Gedong Songo terletak di lereng Gunung Ungaran.

Naina ingin punya waktu yang lebih maksimal dan lebih intim dengan Imanuel. Jika mereka menyewa kuda sudah pasti pemandu akan mengikuti mereka sehingga hal itu akan menjadi tidak nyaman untuk Naina.

Kawasan Candi Gedong songo memiliki area yang sangat luas karena 9 bangunan candi tidak berada pada satu tempat saja melainkan menyebar ke tempat lain namun masih berada dalam satu wilayah.

Setelah cukup merasa lelah Naina dan Imanuel pun beristirahat di. sebuah warung yang tersedia di sekitar jalan setapak. Warung itu menjajakan berbagai jenis makanan dari yang ringan sampai yang berat sehingga para pengunjung bisa mengisi tenaga seraya menikmati pemandangan hijau di sekitarnya.

Keduanya meluruskan kaki di atas tikar yang disediakan pemilik warung seraya menunggu pesanan makanan mereka. Naina pun memandangi kekasihnya itu lekat-lekat. Ia masih tak percaya dan tak tahu mana yang benar.

Apakah sebenarnya saat ini ia sedang bermimpi dan tak mau bangun karena tak kuasa menerima kenyataan bahwa Imanuel telah tewas di depan matanya? Ataukah kecelakaan itu yang sebenarnya mimpi buruk karena saking cintanya Naina pada Imanuel sehingga takut kehilangan?

Imanuel yang sadar sedang dipandangi Naina pun bertanya, "kamu kenapa?"

Naina mengerjap dan bangun dari lamunan, "tidak, aku masih nggak nyangka hari ini aku ketemu kamu," ujarnya.

Imanuel mengerutkan dahi, "kenapa begitu?" tanyanya.

Naina lalu menggenggam jemari Imanuel, "aku takut kehilangan kamu," ujarnya dengan muka sendu.