webnovel

Tiba-tiba Menikah

Jakarta

Lantunan doa menggema setelah sumpah pernikahan terucap oleh kedua mempelai. Rangga tidak mengerti, ada rasa lega dalam hatinya karena sudah berhasil mengucapkan sumpah keramat itu. Diliriknya sekilas wanita yang berdiri di hadapannya, sederhana tapi kecantikan jelas terpancar dari wajahnya.

Ada yang berdesir dalam hatinya saat aku mengecup singkat bibir wanita itu. Ada yang menggelitik perutku saat itu juga. Perasaan apa ini?

"Sebenarnya Ayah cukup kecewa dengan keputusan kamu yang seenaknya. Tapi Ayah tahu kamu, dilarang pun tidak menjamin kamu tidak akan berbuat nekat," bisiknya di telinga Rangga, saat mereka bersalaman.

"Jangan terlalu lama bersandiwara, apalagi sampai jatuh cinta. Tinggalkan dia jika memang sudah waktunya."

"Jangan terus mengaturku, aku sudah dewasa dan akan memiliki keluarga sendiri. Akan kubuktikan pada Ayah kalau aku juga bisa bertanggung jawab," ucapnya.

"Tidak akan lama, percayalah. Perempuan itu tidak akan kuat hidup bersama laki-laki sepertimu."

Pak Rama tersenyum mengejek.

Rangga beranjak, menyusul Gwen yang lebih dulu sudah naik ke pelaminan. Ada beberapa yang menyadari kalau nama mempelainya berbeda, orangnya berbeda, ada juga yang bersikap biasa saja karena tidak pernah bertemu sebelumnya.

Sejak tadi tidak ada percakapan diantara keduanya, mereka sama-sama diam karena memikirkan kenapa kedua adik mereka yang dari semalam juga tidak kunjung pulang, hanya sesekali mereka berdua tersenyum ketika ada yang memberi ucapan selamat.

***

Gwen POV

Aku duduk termenung di tepi ranjang di sebuah hotel mewah di bilangan Jakarta Barat. Menatap kosong pada ubin lantai yang terasa dingin di kakinya yang telanjang. Matanya beralih pada jam digital yang ada di atas nakas, sudah pukul dua dini hari. Tapi aku tidak juga kunjung beranjak dari posisi duduk sejak beberapa jam yang lalu.

Aku mendesah, meremas kedua tangan yang juga terasa dingin. Lalu sesaat tatapanku terpaku pada sebuah cincin berlian di jari manisku, perutku terasa melilit dan rasa mual itu kembali datang. Aku memejamkan mata dan memeluk diri sendiri. Teringat lagi dengan kejadian kemarin saat aku pergi menemui ayah mertuaku.

"Kalau keluargamu mau membalas budi, inilah saatnya."

Aku yang saat itu duduk kaku di ruang kerja Pak Rama mengangkat kepala, menatapnya yang berdiri di dekat jendela, menatap jauh ke depan sana.

"Apa tidak bisa menunggu Mas Carlo datang, Pak?"

"Tidak. Aku tidak ingin merusak nama baik keluarga Wardana hanya karena kelakuan Carlo itu."

Lidahku kelu, tidak berani membantah sedikitpun.

"Aku sudah bicara dengan Rangga dan dia setuju. Apapun yang terjadi, kamu akan menikah dengan Rangga besok, Rangga harus menggantikan posisi Carlo."

Pak Rama mendekatiku yang tertunduk, mengulurkan tangan untuk meraih daguku dan menatap langsung pada mataku, "Tapi kau harus ingat, jangan pernah macam-macam dengan Rangga, kamu hanya boneka baginya dan tidak akan pernah menjadi istri Rangga yang sesungguhnya. Kamu mengerti?"

Kedua bola mataku yang jernih bertemu dengan sepasang mata tajam milik Pak Rama. Tatapan itu mengancam, dan aku tahu apa resikonya jika aku berani membangkang. Maka yang bisa aku lakukan hanyalah mengangguk patuh bagai sebuah boneka. Karena seperti itulah ia dianggap selama ini.

"Bagus. Teruslah patuh pada keluarga ini, maka nasib keluargamu akan baik-baik saja, mulai besok selesai kuliah kau akan bekerja di Wardana's Crop sampai Rangga setuju untuk melepaskan hobi anehnya itu."

Pak Rama mengangguk puas sambil melepaskan daguku yang dicengkeramnya. Lalu ia melangkah pergi meninggalkan ruang kerja itu dengan langkah lebar.

Meninggalkanku yang terpaku diam.

Boneka. Seperti itukah diriku selama ini?

Dan kini, aku seorang diri di dalam sebuah kamar mewah di malam pengantinku. Pria yang kini berstatus sebagai suamiku pergi entah kemana setelah memberiku kata-kata yang tidak kalah menyakitkannya dari kata-kata Pak Rama.

"Aku hanya pengganti Carlo. Jadi jangan pernah berpikir aku bersungguh-sungguh menikahimu dan satu lagi, karena pernikahan kita ini hanya dihadiri keluarga inti dan beberapa kolega bisnis ayahku, aku ingin menyembunyikan status kita selama di kampus. "

Pria itu berdiri di tengah-tengah kamar, menatapku yang baru saja melangkahkan kaki memasuki kamar. Aku bahkan masih mengenakan gaun pengantin. Tapi pria itu sudah menegaskan bagaimana posisiku dimatanya.

Setidaknya lebih baik begitu. Karena dengan begitu aku tahu bagaimana posisiku dan tidak akan berharap lebih. Dengan begitu juga aku tahu apa fungsi diriku di samping pria ini.

"Baik." Aku menjawab dengan nada tenang. "Aku tidak akan menganggu Mas."

Kedua mata pria itu memicing mendengar panggilanku untuknya. Wajahnya terlihat tidak suka. Tapi aku tidak peduli, dalam keluargaku, seorang suami harus dihormati dengan menggunakan panggilan 'Mas' dan lidahku tidak mampu hanya mengucapkan namanya.

"Panggil aku dengan nama saja."

Aku mencoba memberikan sebuah senyuman sambil menggeleng pelan. "Aku akan memanggil Mas. Terserah kalau Mas suka atau tidak. Tapi panggilanku tidak akan berubah." ujarku pelan.

"Terserah." Ujarnya lalu melangkah pergi begitu saja meninggalkan kamar.

Aku menatap pintu yang tertutup. Sejak dulu, aku terbiasa ditinggalkan seperti ini. Dan aku sudah sangat terbiasa dengan semuanya.

Maka aku pun melangkah ke kamar mandi untuk mengganti gaun.

Mungkin pria itu akan kembali nanti.

Tapi nyatanya tidak.

Aku menghela napas, merangkak naik ke atas ranjang dan masuk ke dalam selimut, mataku menatap pada langit-langit kamar yang indah. Berdiri selama berjam-jam menghadapi ribuan tamu seharusnya membuatku lelah. Tapi tidak, aku tidak merasa lelah.

Aku hanya merasa... hampa.

To Be Continued

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

JaneJenacreators' thoughts