webnovel

Pertunangan

Wardana's House

Author POV

"Siap?" tanya Satya kepada calon tunangannya.

Anika menatap Satya dengan senyum hangat di bibirnya. "Aku siap."

"Mom, cincinnya," kata Satya kepada Namira. Satya mengambil cincin pertunangannya lalu menyematkannya di jemari Anika. Anika melakukan hal yang sama kepada Satya. Mereka telah resmi bertunangan.

Satya mencium dahi Anika, dan tunangannya tersipu malu. "Aku belum terbiasa," kata Anika kepada Satya. Satya menaikkan sebelah alisnya bertanya-tanya yang dijawab oleh Anika dengan malu-malu, "Kamu yang mencium aku, maksdunya."

Satya dengan hangat dan lembut berkata, "Kamu harus terbiasa, karena aku akan mencium kamu setiap hari, dan untuk selamanya, Anika."

Anika menggenggam tangan tunangannya dan berjalan ke arah tamu yang diundang keluarga Wardana. Keduanya lalu melihat Rangga dan Gwen, berjalan ke arah mereka. "Congrats, Anika dan Satya." Rangga berkata mewakili dirinya dan Gwen.

Gwen dengan sopan tersenyum ke arah pasangan yang berbahagia di hadapannya. "Karina tidak bisa datang hari ini, maaf. Flight-nya delay empat jam."

"Atau memang dia sengaja menghindari kita semua?" tanya Anika dengan blak-blakan. "Typical Karina, bukan? Dia pergi seenaknya enam tahun yang lalu dan sekarang tidak ada kabar kapan dirinya pulang."

Seketika kedua pasangan tersebut terlihat canggung, Anika yang merasa mereka harus membicarakan ini berkata, "Come on guys, kita suatu hari nanti, kalau bukan hari ini, akan membicarakan apa yang terjadi enam tahun yang lalu. Enam tahun yang lalu Juan adalah pacarnya Karina, mereka hampir menikah dan mereka berdua..." Anika menunjuk ke arah Juan di sebrangnya. "Mereka berdua tergila-gila dan saling jatuh cinta."

"Aku hanya merasa kasihan pada Karina karena ia berada di tengah-tengah semua ini," kata Anika kepada ketiga orang di hadapannya.

Rangga berdeham mencoba mencairkan suasana canggung di antara mereka berempat dan berkata, "Kita semua terjebak di dalam pertunangan yang telah direncanakan orangtua kita. Bukannya semuanya berada di tengah-tengah situasi yang sama?"

Satya mengangkat suara dan bertanya dengan sinis, "Tapi tidak ada yang mengeluh bukan? Kita sama sekali tidak mengeluh selama ini. Mungkin lebih baik kita tidak usah membicarakan Karina."

"Well, I'm not complaining now." Anika tersenyum, lalu ia menambahkan kata-katanya. "Aku memang selalu menyukai Satya dari dulu."

Rangga memegang pinggan Gwen dan tersenyum kepada Satya dan Anika di hadapannya, "Maaf, kita tidak bisa berlama-lama. Selamat sekali lagi atas pertunangannya. We could not be more happier."

"Thank you." Satya menjabat tangan Rangga. Ketika Rangga dan Gwen telah meninggalkan mereka, Satya menautkan jemarinya kepada tunangannya kembali. "Hei, aku tidak mengeluh kita bertunangan. Aku ingin kamu tahu itu."

"Kamu... sudah tidak mencintai Tina lagi?" tanya Anika dengan sedikit nada takut. Ia berharap Satya sudah tidak mencintai Tina lagi dan melupakan wanita itu.

Untuk sesaat, Satya sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. "Tina dan aku adalah masa lalu, Anika. Kamu tidak perlu takut."

"Bagaimana dengan keluarganya?" tanya Anika.

"Keluarga Hilmar? Kenapa?" tanya Satya.

"Apa kamu tidak pernah memikirkan selama kurang lebih enam tahun terakhir ini, mereka akan kembali untuk balas dendam?"

"Aku tidak akan memikirkan sesuatu yang tidak penting."

Anika membenarkan dasi pita yang dikenakan Satya. "Kamu dan Tina sudah tidak berbicara selama enam tahun dan selama itu aku merasa mereka akan merencanakan sesuatu yang buruk untuk keluarga ini."

"Tidak mungkin, Anika. Permasalahan sudah selesai, walaupun orangtua Tina sudah bebas, mereka tidak punya kekuatan sebesar itu untuk menghancurkan keluarga kita."

"Are you sure?" tanya Anika.

"Aku dan Tina, we're nothing. Just the past."

***

"APA?!"

Adam berteriak keras sementara Namira menahan napas sambil melotot. Dara yakin salah satu kancing kemeja Dad terlepas dan terbang bebas entah ke mana setelah seruan kaget itu. Ia bersyukur bola mata Mom tidak sampai copot saat mendengar kalimat ajaib yang baru saja diucapkan Bara di pesta pertunagan kakaknya.

Dara belum sempat melirik Satya dan Anika yang duduk bersama mereka di ruang makan. Mungkin kedua temannya itu tersedak, sampai-sampai suaranya tidak terdengar siapa pun.

Dara menggenggam sendok makan sambil menggigit bibir. Ia sudah menduga reaksi kedua orangtuanya. Mereka merasa terlalu dini putrinya melepaskan status gadis. Dara dan Bara sama-sama berjanji jika orangtua Dara keberatan Bara dengan rela akan melepaskan perjanjian pernikahan di 

antara mereka dan sepakat menjadi teman. 

Adam berdiri dari kursi yang didudukinya. Tangannya meraih tangan kiri Bara yang menggenggam garpu. Bara terlihat tenang. Bagaimana bisa laki-laki ini mempertahankan ekspresinya atau jangan-jangan Bara memang selalu serius? pikir Dara waswas.

"Om sangat berterima kasih."

Dara melongo. Dad menepuk-nepuk tangan Bara sambil tertawa lebar. Dara menatap Mom yang sedang menekan dadanya dan tersenyum superduper lebar. Dara berbalik, menatap saudaranya. Mereka sama-sama terdiam 

dengan mulut menganga.

"Begitu Om bicara dengan papamu, Om sangat sreg, seperti bertemu jodoh sendiri. Seperti waktu Om bertemu Tante ini," sahut Dad. Mom langsung mengipasi wajahnya yang mungkin memanas karena bersemangat.

"Kami sudah mendengar perihal desakan pihak Nak Bara untuk melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Om tidak menyangka putri Om yang satu ini bisa tunduk secepat ini. Om benar-benar tidak mengira kalian bisa jatuh cinta secepat ini. Bahkan Bara sampai-sampai tidak sabar untuk menikahi anak Om. Siapa yang tidak bangga mempunyai 

menantu seperti Nak Bara? Dokter spesialis bedah jantung dan dari keluarga dokter terkenal. Om terharu mendengar kesungguhan Nak Bara menerima anak Om yang banyak tingkah ini."

Dad menunjuk Dara sambil menggeleng. 

"Dad serius?" tanya Dara tidak percaya. 

"Bagaimana tidak serius?" potong Mom. "Nak Bara serius mau melamar Adara, kan?" Mom menatap Bara di seberangnya dengan wajah penuh harap.

"Sangat serius. Malam ini saya datang untuk menanyakan Om dan Tante. Orangtua saya akan menghubungi Om dan Tante untuk menanyakan secara langsung. Namun saya ingin mendapatkan persetujuan Om dan Tante, mengingat kami berdua dan juga keluarga saya menginginkan acara pernikahan secepatnya," Bara menjawab dengan tegas dan lancar.

Dara menengok untuk menatap Bara. Dari wajahnya yang kaku dan gaya bicaranya yang serius, siapa yang tidak percaya pada lelaki itu? Jika ia mengatakan Dad mengidap sakit serius pun, Dad akan menelan bulat-bulat diagnosis Bara. Apakah begini juga cara Bara meminta persetujuan 

orangtua Sonya dulu? 

Dara tidak habis pikir betapa mudahnya orangtuanya melepaskan dirinya ke tangan Bara. Selama ini jika ia pulang membawa pacar, mereka—terutama Dad—akan bertingkah layaknya intel dalam menanyakan bebet-bibit-bobot pacarnya. 

Bahkan Dad tidak akan segan menembak mati di tempat jika Dara membawa pulang untuk kedua kali pacar yang jelas-jelas tidak disetujui Dad-Mom. 

"Secepat apa?" tanya Mom, semakin bersemangat. Tataan rambutnya yang membubung tinggi terlihat semakin tinggi di mata Dara. Ia menjadi kesal begitu tahu orangtuanya tidak sabar menyerahkan dirinya secara cuma-cuma kepada Bara. 

"Hmmm… dua bulan ke depan?" jawab Bara sambil memandang bergantian antara Dad dan Mom Dara. Pasangan itu terperangah. Bara menyambung. "Semua sudah saya siapkan. Saya tinggal perlu persetujuan Om dan Tante."

"DUA BULAN LAGI?!" teriak Dad, Mom, Satya dan Anika heboh. 

"Panggil pelayan di belakang! Bawakan koleksi wine kita yang paling tua!" perintah Dad di antara tawanya yang berderai. Mom mengangguk-angguk setuju sambil menyeka matanya yang meneteskan air mata terharu. 

"Kita cuma makan dessert, kenapa buka wine?" tanya Anika polos. 

"Maafkan, calon menantu Om yang paling lugu dan polos di keluarga ini," ucap Dad menunjuk Anika yang duduk di ujung lain meja. 

"Saya tidak minum alkohol, Om," balas Bara dengan sopan. 

"Oh, kalau begitu mari kita rayakan dengan jus saja." Dad kembali duduk dan berbalik menatap Mom. "Benar-benar malam penuh keberuntungan dan kebahagiaan. Tidak disangka mereka berdua bisa langsung cocok. Panggil pelayan untuk mengambilkan jus buah sehat."

"Apakah dua bulan tidak terlalu cepat, Mom, Dad?" tanya Dara cepat-cepat, langsung memotong kegembiraan orangtuanya. Ia berusaha menyadarkan mereka bahwa ia akan menjadi milik orang lain dalam waktu sesingkat itu.

"Habis nikah nanti aku harus tinggal serumah dengan Bara lho." 

"Dad rela?" timpal Satya tersadar dari efek shock. 

Dara langsung berbalik menatap wajah kakaknya yang terlihat sedih. 

Tangan Dad mengelus perutnya dengan puas. Senyum lebar masih terpampang di wajahnya. "Tentu saja rela. Masih sama-sama tinggal di Jakarta sini. Omong-omong tentang tempat tinggal, Om akan siapkan rumah. 

Tanah belakang rumah ini dan di sebelah kanan-kiri, Om persiapkan jika suatu saat anak-anak Om menikah. Tinggal dibangun rumah sesuai selera kalian. Yang penting Om bisa pasang pintu sambung sehingga bisa ketemu anak-anak Om setiap saat."

"Maaf, Om, untuk tempat tinggal, saya sudah siapkan. Saya harap Om tidak keberatan," sahut Bara mantap. Lalu tanpa tersenyum dan masih tetap tenang, ia menyuap makanan. Melihat tingkah tenang Bara, Dara menjadi gemas sendiri. Ia menyampirkan tangan kirinya ke atas lengan kanan Bara. Menghentikan gerakan tangan Bara dan menatap Bara dengan kerutan di dahi sementara Bara menoleh dan menatapnya dengan penuh tanya. 

Sepersekian detik kemudian, Bara yang salah mengartikan ekspresi Dara, berbalik menatap Dad dan melanjutkan kalimatnya. "Saya sudah memiliki rumah sendiri. Memang tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Om dan Tante bisa melihatnya kapan saja."

Cih! Dara mengumpat dalam hati. Tentu saja rumah yang sudah ia siapkan bersama tunangan yang lari entah ke mana itu.

Bara pasti pernah mengatakan hal yang sama kepada orangtua Sonya. Bisa jadi Sonya pun sudah mempersiapkan perabotnya di dalam rumah itu. Dara kesal melihat orangtuanya begitu mudah melepasnya. 

"Dua bulan itu tepat dengan pernikahannya Anika dan Satya. Banyak sekali yang perlu dipersiapkan. Belum tempat, belum lagi undangan. Aduh… kita harus mulai menulis siapa saja yang akan kita undang, kita samakan saja harinya dengan hari pernikahannya Anika dan Satya" Bingung sendiri dengan alam pikirannya, Mom bergegas berdiri dan menghampiri meja telepon di dekat ruang makan. 

Pasrah dengan pemandangan di hadapannya, Dara bertukar pandang dengan Bara. Laki-laki yang baru ia kenal seminggu itu menunduk mendekati wajah Dara. Ujung hidung mereka hampir bersentuhan. Dara mengerjap, 

menunggu apa yang akan dilakukan Bara. Perlukah Bara menambahkan akting dengan menciumnya? 

"Semua berjalan lancar. Kenapa kamu malah bingung sendiri?" bisik Bara, yang ternyata tidak mencium Dara.

Rasa kecewa Dara teralihkan ucapan Dad. Kali ini Dad berdeham dan berkata tegas, "Om merasa sangat beruntung meski merasa kehilangan. Om hanya minta satu dari Nak Bara."

Mata terarah sepenuhnya ke Dad yang menatap serius pada Bara. Dad bersusah payah menelan ludahnya. Baru kali ini ia melihat raut wajah Dad haru campur bahagia. 

Dad menangkup tangan Bara dengan kencang, berusaha menekan kan maksudnya. "Selama ini Om menjaga ketat kedua anak Om. Jadi Om minta, Nak Bara juga akan menjaga Dara sebaik-baiknya. Apalagi antara keluarga Om dan keluarga Nak Bara berteman baik. Setelah menikah, Om tidak ingin anak Om tinggal jauh-jauh dari Om."

To Be Continued