webnovel

Pemain Rasa

Flashback on

Bandung, 2000

Author POV

Gadis berambut kepang menatap nanar pesawat telepon flexi warna putih susu yang teronggok angkuh di pojok ruangan di rumahnya. Benda itu tak tahu bahwa beberapa tahun kemudian ia akan sempurna tergeser oleh kemajuan teknologi. Sesekali pandangannya berpindah menekuri secarik kertas putih di tangan kiri. Mengeja berkali-kali angka-angka di sana. Lantas duduk di sofa terdekat, menggigit ujung jari, sebelum menaruh kertas ke ujung meja dan beringsut meraih gagang telepon dengan tangan kiri. Menekan tombol angka-angka. Sambungan interlokal Berdering satu kali namun ia malah reflek menutup sambungannya.

Tak mengerti kenapa menjadi setegang ini, ia hanya perlu melakukan sambungan telepon saja, kan, pikir Hara sambil beranjak berdiri, mengangkat gagang telepon lagi, menekan tombol dial, mengulang panggilan. Pandangannya menembus jendela kaca, menyusur senja di balik gorden transparan warna keemasan. Perasaannya mendadak berdesir sendu, resah. Kenapa harus saat senja? Lantas kepalanya memutar ulang bayangan lelaki yang ia jumpai delapan jam yang lalu.

Flashback off

***

Serena POV

Ada yang ingin kukutuk malam ini, yaitu gambar wajahmu yang muncul di feed instagram. Kamu dengan pesona penuh karisma, tatapan mata menggoda, juga lengkung bibir tak bersenyum yang terlihat menyebalkan.

Ya! Kamu menyebalkan! Kamu mengunggah gambarmu hari ini, tetapi tidak membalas pesanku. Kamu curang, sebab menjauh di saat aku memerlukanmu.

Kamu membuatku merasa gemas, dan aku tidak tahu harus menulis bagaimana lagi. Aku tidak menyukai caramu yang seperti ini. Aku benci jika harus merindu seorang diri. Aku tidak suka itu.

Jika kamu membaca tulisan ini, cobalah untuk selalu ada ketika aku memerlukanmu, seperti yang biasa aku lakukan terhadapamu. Itu cukup adil untuk kita berdua, bukan?

Bukankah kamu pernah berkata. "Kenapa membohongi diri? Jika rindu aku, katakan saja. Aku akan menelponmu dan kita bisa berbincang hingga pagi." Lalu, apa sekarang? Untuk membalas pesan singkatku saja kamu tidak sudi.

Bukan. Aku bukannya benci padamu. Aku hanya tidak suka caramu menjauhiku. Aku tidak suka kamu yang terlihat acuh dan tak peduli padaku. Ingatlah, kita pernah berbicara perihal kerinduan ini. Ketika itu, saat hujan menguyur kota, dan rindumu datang seketika. "Ini malam minggu, kan?" tanyamu.

Melalui video call kita berbincang. Aku hanya mengangguk.

"Kamu tidak rindu aku?" tanyamu

"Memangnya kamu rindu aku?" aku bertanya balik padamu.

"Iya. Makanya aku mengajak kamu ngobrol. Karena aku rindu kamu," jawabmu, "Kamu pasti tidak peduli kan?" lanjutmu lagi.

"Bukannya tidak peduli. Biasanya kan aku yang rindu, bukan kamu," jawabku.

"Tapi malam ini aku yang rindu. Kamu?" tanyamu lagi.

"Aku?"

"Iya, kamu rindu aku, kan?"

"Selalu," jawabku. Kamu tersenyum di sana, kubalas senyummu dengan senang.

Lihat? Kita pernah saling merindukan. Pernah begitu dekat dengan banyak perbincangan, dari yang serius hingga penuh canda tawa. Mengapa kini tidak?

Mengapa kini kamu tidak bisa untuk menjawab sapaanku seperti biasa? Sebegitu sulitnya atau memang kamu tengah dalam kesibukkan? Aku rindu kamu dan aku benci harus merindu seorang diri.

Jika kamu melihat ponselmu dan membaca pesanku. Tolong segera kabari aku. Aku rindu dan ingin berbincang lagi denganmu. Jangan hanya mengunggah gambar dari sekian kegiatanmu di sana, aku tidak perlukan itu. Yang kuperlukan adalah kembali menikmati malam hingga pagi denganmu, dengan canda tawa dan senyumanmu. Itu saja.

***

Hospital

Prima POV

Aku berjalan menuju koridor rumah sakit dengan gontai. Aku baru saja mengisi perut di kantin, berbalik arah saat melihat Tina dan Satya keluar dari kamar Mika. Tampaknya mereka sudah tahu apa yang terjadi pada Mika, dan bisa jadi tahu fakta diriku.

Aku bersembunyi di balik tembok, matanya tertuju pada Tina dan Satya yang berjalan beriringan dalam diam. Tak ada gandengan, juga tak ada wajah cerah Tina.

Huh, dasar pemain rasa, vonisku dalam hati. Tak cukupkah Satya memainkan perasaanku saja?

Aku menahan diri untuk tidak keluar dari persembunyian saat sadar untuk apa aku bersembunyi. Aku tak punya urusan apa-apa dengan mereka, dan bukankah terserah mereka mau melakukan apa pun, tak perlu peduli pada keberadaan mereka.

Namun, tetap saja aku menahan napas. Tepatnya, menahan getaran yang memacu cepat saat Tina dan Satya melewatiku. Mata beningku mengikuti mereka.

Aku batal keluar saat Satya menengok ke belakang. Jantungku berdegup keras, aliran darahku memacu cepat. Aku tak ingin Satya mengetahui keberadaanku. Aku mengembuskan napas lega saat mereka menghilang dari pandanganku. Lalu mulai berjalan kembali.

Tanpa terasa aku sudah berada di depan ruangan Mika. Aku membuka pintu dengan lemah, ingin memastikan keadaannya.

Tubuhku menjadi kaku saat melihat Devan duduk di kursi di samping ranjang Mika. Devan menatap gadis itu sendu, seolah dunianya terenggut dengan sakitnya Mika.

Aku cemburu. Bukan, bukan karena Devan memperhatikan Mika, tapi karena aku juga ingin mendapat perlakuan sama. Makanya aku masih mematung di pintu, menata rapi-rapi perasaanku yang mulai tak menentu. Aku merindukan...

"Prima?" Devan menyapa.

Aku mengangkat kepala, meliriknya. Aku menutup pintu, lalu berjalan gontai menuju pemuda itu.

"belum pulang?" tanyaku, nadaku seperti mengusir.

Devan menggeleng. "Tadi kamu ketemu Tina dan Satya?"

Aku mengangkat bahu. "Aku lihat, tapi mereka tidak melihatku kayaknya."

Devan mencibir. "Masih ada yang disembunyiin?"

Aku menyipit. "Bukan urusanmu," kataku ketus.

Devan tertawa, kemudian berdiri, menepuk beberapa kali bahuku, dan berkata. "Aku kan cuma nanya."

Aku hanya diam, tak menanggapi. Emosiku kepada Devan lama-lama tak bisa diatur.

"Gosipnya sih mereka udah putus, tapi masih aja jalan bareng," tutur Devan. Ia melirikku dengan cepat, ingin tahu ekspresi yang aku tampilkan saat mendengar informasi terbarunya itu.

Aku mengernyit, tahu siapa yang dimaksud "mereka" dalam kata-kata Devan. Buat apa dia memberitahuku? menatap Devan. "Buat apa aku peduli?" ucapku, lebih ketus.

Devan tersenyum. "Semua orang tahu perasaanmu sama Satya!"

Aku membalas senyum Devan dengan tatapan tak mengerti.

"Dan semua orang juga tahu perasaanku sama dia saat ini."

"Aku pulang dulu ya, besok balik lagi."

Aku mengangguk.

Setelah Devan benar-benar hilang dari balik pintu, aku tak tahu harus melakukan apa. Aku menatap Mika yang memasuki hari kelima tidak sadar. Aku mencibir. Kalau sudah selama itu tak sadar, tak usah sadar saja sekalian.

Merepotkan.

Aku berjalan menuju jendela besar. Kamar Mika berada di lantai lima dengan jendela menghadap ke taman sehingga aku dapat melihat pemandangan dengan leluasa.

Aku tersenyum saat melihat anak kecil yang bermain dengan suster dan ibunya, mengingatkan dia pada Adena dan Mama.

Bagaimana kabar Mama?

Drrrttt... drrrttt...

Dengan cepat aku mengambil ponsel, membaca siapa yang meneleponku.

Nenek.

Aku yakin itu ada hubungan dengan Mama. Buru-buru akumenjawabnya.

"Anikaaa... akhirnya, Nak, mamamu sudah sadarkan diri."

Ponsel hampir saja terlepas karena tubuhku melemas seketika saking senangnya. "Apa? Mama udah sadar? Nek, sore ini aku ke Bandung," ucapku mantap.

Keinginanku untuk berkumpul bersama keluarga hampir terjadi. Sudah terlalu lama Mama koma akibat kecelakaan pesawat. Sudah terlalu lama aku kehilangan sosok Mama. Aku rindu belaian dan kasih sayang Mama.

Aku bahagia.

Air mata berlinang dan jatuh. Bukan air mata kesedihan. Itu air mata kebahagiaan. Air mata yang menjelaskan semua penantian panjangku.

Aku membalikkan badan. APA?

To Be Continued