webnovel

Love

Wardana's House

Anika POV

Aku mengikuti langkah Satya yang berjalan perlahan di koridor menuju tangga. Benak membawaku ke beberapa waktu silam. Aku masih ingat bagaimana di minggu pertama aku masuk ke pusaran kesedihan dan keputusasaan yang seperti tak berkesudahan. Di saat seperti itu, Satya memelukku tanpa berkata-kata, membiarkan kehangatan dekapannya meredakan kesedihan yang aku rasakan. Akhir-akhir ini gelombang kesedihan sudah jarang menerpa, dan aku bersyukur atas hal itu. Tapi, di sisi lain, aku merindukan pelukan hangat Satya yang menenteramkan hati. Bahkan berjalan di sisinya saja sekarang membuatku lebih tenang.

"Tenang saja... tidak sulit sama sekali. Awalnya kamu menghafalkan langkah yang diajarkan pelatihmu, tapi itu sebagai panduan umum saja ... Setelah itu kamu belajar membaca arahan gerakan partner dansamu. That's all!"

Aku mengela napas. "Kamu membuatnya terdengar mudah."

"Memang mudah. Yang lebih sulit sebenarnya pria, karena harus memimpin, sedangkan yang wanita tinggal mengikuti saja. Lagipula, ini kan hanya dansa untuk acara jamuan pertunangan kita, bukannya kamu ingin jadi penari profesional dan ikut lomba."

Aku mengangguk dengan perasaan sedikit terhibur. Mudah-mudahan memang tak seburuk yang aku bayangkan.

"Latihan-latihanmu sudah mulai?" tanya Satya.

Aku langsung mengerang putus asa ketika ingat jadwalnya. "Baru mulai kemarin ... ada latihan pagi dan sore, renang, bela diri, pedang... aku bisa gila!"

Satya mengerutkan dahi sedikit. "Pedang? Maksudmu, anggar?"

Aku menggeleng. "Tidak, pedang! Buat apa belajar pedang? Siapa yang masih pakai pedang zaman sekarang?"

Satya seperti berpikir, kemudian berkata, "Biasanya pedang hanya diajarkan kalau sudah belajar menggunakan foil, pedang di permainan anggar yang paling ringan."

Aku mengangkat bahu. "Tidak tahu ... aku tadinya mau tanya ke Om Sultan, tapi habis dengar penjelasannya tentang pelajaran dansa malah jadi lupa."

"Ada kejadian apa saja selama aku dikantor?" tanyanya.

Pertanyaan Satya membuat kekhawatiranku tentang dansa menguap dan seulas cengiran terbentuk di wajahnya. "Banyak sekali.... benar-benar meriah... Juan baru pulang dari Lombok, Juan dan Dara sudah seperti anjing dan kucing. Awalnya, aku melihat Juan menimpuk Dara dengan roti-roti di meja makan waktu sarapan, tapi menurutnya itu membalas Dara yang terlebih dulu mengerjainya. Kemudian, aku lihat Dara tahu-tahu menerjang Juan di dekat kolam renang, hingga Juan tercebur dengan pakaian lengkap, Juan langsung keluar dari kolam sambil marah-marah dan mengejar Dara hingga koridor jadi becek. Terus, tahu-tahu Dara mengamuk karena komputernya di kamar tiba-tiba hilang..." Aku berhenti sebentar karena mendengar Satya tertawa kecil. Aku ikut tertawa, lalu melanjutkan, "Nah, ini yang paling lucu. Waktu brunch, Juan mengambil jus sayurnya yang biasa itu, yang ada di kulkas, kemudian mendadak pontang-panting ke wastafel dan memuntahkannya. Dara cekikikan dan kabur. Belakangan, aku baru tahu Dara mengganti jus sayur itu dengan hasil blenderan dedaunan di taman." Aku tertawa lagi ketika ingat ekspresi Juan.

Satya tegelak. "Andaikan aku ada di sini untuk menyaksikan sendiri."

Aku mendengar helaan napas Satya, sebelum pemuda itu bertanya. "Jadi, kamu sudah mulai baca The Code?"

Aku mengangguk. "Aku lagi baca bagian pelanggaran dan langsung stress..."

"Kalau membaca bagian pelanggaran saja sudah bikin kamu stress, aku harus memperingatkan bahwa kamu mungkin akan depresi berat sewaktu membaca bab-bab terakhir, seperti Gwen." ucap Satya sambil nyengir.

"Mau aku temani latihan?" tanya Satya

***

Author POV

"Sori! Sori... sori... sori!" 

Sambil menatap wajah Bara dengan perasaan bersalah, Dara meletakkan tas tangannya di kursi kosong sementara cepat-cepat duduk di depan Bara yang sudah menunggunya hampir setengah jam.

"Berapa kali kamu harus mengatakan sori?" 

Piring dan gelas minuman yang hampir kosong menunjukkan bahwa laki-laki itu benar-benar tidak berniat menunggu Dara datang untuk makan siang seperti kesepakatan sebelumnya.

Dara mengangkat tangan dan menggoyangkan ponsel. 

"Karena aku merasa sangat bersalah membuatmu menunggu setengah jam. Ada operasi mendadak. Kamu tidak tahu betapa aku harus mengikuti semua operasi hanya untuk membuktikan pada semua orang bahwa aku bukan sekadar anak dokter yang tidak tahu apa-apa."

"Maaf," ucap Bara singkat. Raut wajah yang tidak berubah itu membuat Dara mengerutkan kening, menilai apakah laki-laki itu tulus dengan kata maafnya.

"Aku terbiasa makan siang dengan cepat karena bagiku waktu sangat berharga. Dalam waktu setengah jam mungkin aku bisa menyelamatkan nyawa seseorang," timpal Bara ketika Dara menatap piring yang kini kosong di hadapannya. 

Dara mengangguk-angguk paham tanda pikirannya terbuka atas sudut pandang Bara. "Lain kali aku akan berusaha tepat waktu sementara kamu juga 

sebaiknya menungguku datang sebelum menghabiskan makananmu." Tanpa menunggu persetujuan Bara untuk berkompromi, gadis itu menyandar santai ke punggung kursi. 

Kakinya menyilang, lalu tersenyum lebar.

"Lalu apa yang perlu kita mulai?"

"Bagaimana dengan orangtuamu?" tanya Bara tanpa memedulikan pertanyaan Dara. 

Sambil menerawang, Dara mengingat reaksi orangtuanya ketika ia memberitahu dirinya akan makan siang dengan calon menantu idaman mereka. 

"Hmm… mereka terlihat seperti sudah yakin memenangkan grand prize dokter sebagai menantu."

Senyum kecil setelah mendengar deskripsi tersebut 

membuat Dara terdiam dan memperhatikannya.

"Mereka memang sudah memenangkannya. Namun hanya dalam waktu setahun." 

"Bagaimana dengan orangtuamu?"

"Sama seperti orangtuamu," jawab Bara cepat.

Meski diucapkan tanpa nada bercanda, Dara menganggapnya itulah cara Bara bercanda. 

"Aku dengar semua anggota keluargamu pebisnis. Kenapa kali ini kamu dan orangtuamu mencari calon menantu yang tidak memiliki latar belakang sama?" 

"Kakek-nenekku dokter. Om dan Tante dokter. Sepupuku juga dokter meskipun berbeda spesialisasinya." Bara menyebutkan keluarga besarnya itu sembari merentangkan jari-jarinya.

"Tentu saja keluargaku mengharapkan aku mendapatkan pendamping pebisnis pula. Namun…"

"Oooh…." Desah turut prihatin yang keluar dari mulut Dara menghentikan penjelasan Bara. "Aku mengerti." 

Dara meletakkan tangannya di dada dengan wajah ramah. "Tunanganmu itu juga seorang pengusaha. Jika ia kembali, tentu saja orangtuamu akan lebih bergembira," lanjut Dara.

"Tidak semudah itu." Jawaban Bara membuat Dara kembali penasaran. "Tunanganku bukan dari keluarga berada seperti keluargamu. Meski ia pengusaha, dari awal orangtuaku tidak begitu menyetujui karena menurut mereka…"

"Hmmm…." Telunjuk Dara mendadak mengacung. 

Sekali lagi ia memotong penjelasan Bara. "Aku mengerti. 

Karena keluarganya…" Dara memberi kode dengan jempol terarah ke bawah. "Orangtuamu takut tunanganmu memanfaat kan status sosialmu. Makanya aku yang dari keluarga dokter, juga memiliki grup rumah sakit sebesar keluargamu, orangtuamu merasa aku calon yang pas karena kesuksesan perusahaan orang tuaku, kan? Belum lagi suntikan modal yang siap dituangkan ayahku ke restoran keluargamu."

Tawa kecil Bara membuat Dara menghentikan ocehannya. Ia memperhatikan lekat-lekat laki-laki berkemeja polos biru muda itu. Sebenarnya Bara memiliki wajah di atas rata-rata. Apalagi dengan badan jangkung dan rahang tegas.

"Dan mereka tidak ingin para keluarga dokter lainnya bergunjing tentang keluarga kami," imbuh Bara tersenyum melihat cara lucu Dara memahami kisah hidupnya.

Dara berpura-pura membaca buku menu. Sementara matanya menelusuri daftar menu, mulutnya kembali berceloteh. "Keluarga kita sama-sama puas dengan pertemuan kemarin dan juga perkembangan hubungan kita sampai hari 

ini. Lalu selanjutnya bagaimana?"

Map merah berukuran sedang, tebal, dan berat—dari cara map itu diletakkan— mengalihkan Dara dari buku menu.

Sampul map dengan tulisan berjudul My Wedding Aggrement diletakkan tepat di samping buku menu.

Setelah mengerjap beberapa kali mengamati map tebal itu, Dara menatap Bara penuh tanda tanya. 

"Semua detail persiapan pernikahan ada di situ." Bara mengisyaratkan dengan gerakan mata.

"Tunanganku yang menyiapkannya dalam map ini sebelum dia memutuskan pergi."

Dara membuka sampul map cantik itu dan membaca tulisan dengan font serupa sampulnya.

Bara and Sonya

"Hmmm… jadi namanya Sonya," gumam Dara.

Pada lembar pertama ia menemukan daftar keperluan yang dicentang sebagai tanda sudah dilakukan. Map itu disusun berdasarkan bagian-bagiannya.

"Panggilannya Anya." 

Tanpa merespons Bara, Dara menyibak bagian map yang bertuliskan Venue. Sketsa dekorasi panggung cantik dan elegan membuat ia membelalak. Untuk pertama kalinya ia melihat perencanaan pernikahan yang sedemikian detail. 

Semakin ke belakang, semakin terlihat betapa pernikahan itu dipersiapkan sedemikian matangnya.

Ada contoh pallete warna, tataan meja tamu, serta rincian bunga. 

Jari Dara yang siap membuka lembar selanjutnya terhenti karena Dara meletakkan telapaknya di tengah-tengah halaman yang terbuka. "Kamu bisa mempelajarinya di rumah. Bahkan kamu bisa menambahkan yang kurang dari yang sudah aku dan Anya persiapkan. Aku perlu tahu apakah kamu setuju dengan syarat dan kondisi yang kuajukan. Jika tidak, aku hanya membuang-buang waktu."

Laki-laki ini kaku dan tidak banyak basa-basi.

Bara tidak seperti laki-laki kebanyakan yang Dara kenal. 

Laki-laki di hadapannya ini sangat mencintai tunangannya 

dan sepertinya dia layak dipercaya.

"Setahun hidup bersamamu…" desah Dara. Pikirannya membayangkan bagaimana mereka harus berpura-pura dan saling membantu dalam kehidupan mereka kelak. "Jika aku tidak serius menerima ide brilianmu, aku tidak mungkin berada di sini," lanjut Dara meyakinkan. 

Bara menatap dalam-dalam mata Dara untuk memastikan jawaban yang ia dengar. Setelah beberapa detik, Bara menarik tangannya dari map. "Kamu tidak bersikap seperti umur aslimu. Saat tahu umur kita selisih jauh, aku pikir aku akan berkenalan dengan anak kecil." 

"Dokter Bara memandang rendah saya?" tanya Dara, bercanda. "Dokter sedang memandang anak bungsu dari keluarga Wardana. Meskipun aku masih muda dan baru menjabat sebagai koastisen, bakat dan bibit dari leluruhku yang ilmuwan mengalir pekat di dalam darahku."

Kini ganti Dara yang memandang Bara dalam-dalam. 

"Ingat! Leluhurku ilmuwan, bukan pelaut." Senyum gadis itu merekah lebih lebar ketika melihat Bara tersenyum. 

"Sekarang dari mana kita memulai?" Suara rendah dan berat itu membuat Dara memikirkan lebih dalam kesepakatan yang ia lakukan dengan Bara. Meski kesepakatan ini terdengar mudah dan sederhana, sebenarnya sangat rumit dan riskan. Selain membeli waktu, apa hal berharga lain yang 

dapat Dara raih?

"Bagaimana cara kita berpisah?" tanya Dara tiba-tiba. 

Ia mendongak dan melihat Bara yang terkejut dengan pertanyaannya. "Bagaimana kita berpisah tanpa menyakiti kedua belah pihak?"

Dara menunggu reaksi Bara yang terlihat berpikir keras. 

"Aku akan menjadi janda muda dalam kurun waktu setahun. Bagaimana kita berpisah tanpa meninggalkan status buruk untukku dan juga tidak menyakiti keluarga kita?"

"Aku merencanakan perjanjian pranikah di antara kita. Pertanyaanmu membuatku memikirkan pembatalan pernikahan. Ajukan pembatalan pernikahan setelah setahun pernikahan kita. Kamu bisa melaporkan apa pun tentang diriku agar pernikahan kita bisa dianggap batal," sergah Bara dengan kening berkerut.

"Jika begitu sama halnya dengan membuat keluargamu harus kembali menanggung malu. Sama saja seperti sekarang ini setelah tunanganmu meninggalkanmu," balas Dara.

Seakan permasalahan sudah dapat diselesaikan, Bara menjawab dengan santai. "Pada saat itu aku yakin Anya sudah kembali dengan pikirannya yang jernih dan rasa malu keluargaku sudah tidak berarti lagi bagiku."

"Kenapa kamu tidak menunggu saja sampai Anya datang dan membiarkan keluargamu gusar dan malu?" Dara mengentakkan map yang ia pegang dengan kesal di meja. 

Bara menghela napas panjang. "Ternyata kamu tidak sabaran. Mereka pasti akan tetap mencarikanku wanita lain. Dan aku yakin orangtuaku, juga kakek dan nenekku, akan memastikan aku menikahi seseorang dalam dua bulan ini. 

Aku sangat beruntung bertemu denganmu karena kita bisa saling membantu. Apakah kamu keberatan atau mulai merasa sangsi dengan rencana ini?"

Bibir Dara mengerut, tanda kesal. Matanya terpaku pada map tertutup itu. Ia menarik napas agak panjang, lalu menatap Bara. Sambil menegakkan punggung, ia merengut pada laki-laki yang baru dua puluh empat jam ini ia kenal. 

"Mungkin semua ini memang gila. Mungkin juga ini yang terbaik." Dara menarik napas sekali lagi dengan berat. 

"Oke, Dokter Bara. Mulai detik ini kita pasangan kekasih yang akan menikah dua bulan mendatang. Mulai detik ini semua orang yang mengenal kita akan menganggap kita sedang jatuh cinta."

Dara mengulurkan tangan dan menunggu Bara membalasnya sebagai tanda kesepakatan. 

"Permulaan yang sangat baik," ucap Bara sambil menggenggam erat tangan Dara. Sekalipun Bara melepaskan tangannya dengan cepat, gadis itu bisa merasakan kuatnya genggaman Bara. Banyak sekali pertanyaan yang tiba-tiba muncul untuk memenuhi rasa penasarannya akan calon suaminya. Namun yang keluar dari mulutnya benar-benar tidak berasal dari kepalanya. "Aku 

tidak menyukai soft pink dan rentetan warna pastel yang digunakan untuk pernikahan kita. Apakah ada kemungkinan menggantinya dengan warna lain?"

"Aku sudah melunasi segalanya. Sebaiknya kamu tidak terlalu memedulikan hal remeh seperti itu karena ini bukan pernikahan serius," jawab Bara santai. 

"Sebagai orangtua yang mengenali diriku, pasti Dad dan Mom akan terkejut jika aku mengatakan akan menikah denganmu secepat ini. Bagaimana jika mereka malah merasa kehilangan, bahkan menyesal menjodohkanku secepat 

ini?"

"Kita lihat dulu reaksi mereka," jawab Bara.

To Be Continued