webnovel

Khawatir

Wardana's House

Rangga POV

"Apa Gwen sudah makan?" Aku bertanya pada Bi Yuni begitu sampai di rumah. Aku tidak pernah lagi pulang larut malam seperti sebelumnya, bahkan juga tidak pernah pergi pagi-pagi sekali. Hal pertama yang aku tanyakan saat sampai di rumah adalah bagaimana keadaan Gwen hari ini.

"Sudah, Nyonya Muda baru saja kembali ke kamar. Tadi Nyonya Muda makan bersama saya di meja makan."

Aku mengangguk puas.

"Bagaimana keadaannya?"

"Nyonya Muda,dia sudah bisa keluar dia akhir-akhir sering pergi bersama adiknya, tapi wajahnya masih pucat, sepertinya Nyonya Muda tidak bisa tidur dengan baik." Bi Yuni mendesah pelan. "Apa yang harus kita lakukan, Tuan Muda?" tanyanya khawatir.

"Jangan khawatir, Gwen akan baik-baik saja. Aku akan mencari cara untuk meminta maaf padanya." ujarku pelan.

Aku menggeleng. Aku tidak bisa menelan makanan selama beberapa hari terakhir karena pikiranku yang selalu melayang entah kemana, perasaan bersalah masih terus menggerogotiku hingga ke tulang.

"Aku akan masak sendiri nanti kalau lapar."

"Kalau butuh sesuatu, panggil saya saja."

Aku mengangguk, tapi sebelum aku pergi, aku menatap Bi Yuni. "Terima kasih, Bi. Maaf jika selama ini aku tidak bisa menjadi Tuan Muda yang baik."

Bi Yuni tersenyum lembut. "Tidak masalah. Tuan Muda sudah berusaha memperbaiki kesalahan saja sudah membuat Bibi senang. Bibi menyayangi Nyonya Muda, saya harap Nyonya Muda akan segera pulih seperti sebelumnya."

"Aku juga berharap seperti itu."

Lalu aku mendekati kamar Gwen, aku meletakkan sebuket bunga Iris Putih yang disarankan Ruby, aku meninggalkan bunga itu di depan pintu tanpa pesan. Lalu melangkah menuju kamarku.

***

Aku memerhatikan saat Gwen tengah berbelanja dengan Bi Yuni di sebuah supermarket. Aku mengawasi dari kejauhan. Sejak hari itu aku menjadi seorang penguntit istriku sendiri. Gwen sudah tidak terlalu sering mengurung dirinya di kamar, bahkan sudah kembali kuliah dan bekerja, dan selama itu pula aku selalu meninggalkan sebuket bunga di depan pintu kamarnya setiap dia pulang dari toko.

Bunga-bunga itu masih berakhir sama. Hanya tergeletak begitu saja saat Gwen menggesernya menggunakan kaki. Wanita itu sama sekali tidak ingin menyentuhnya. Tapi aku tidak menyerah. Aku juga tidak menghadiri pesta ulang tahun Dara di Bali beberapa waktu lalu, aku memberikan alasan bahwa Gwen sedang tidak enak badan, Ruby bahkan memaksa untuk ke rumah tapi aku melarangnya. Bahkan aku menyuruh Lukas untuk mengikutinya saat ia dan adiknya mengikuti Workshop

Gwen dan Bi Yuni terlihat tengah memilih buah-buahan saat aku mengeluarkan ponsel dan memotretnya dari jauh.

Saat ini aku menjadi terobsesi untuk memotretnya setiap ada kesempatan. Ponselku di penuhi oleh foto-fotonya. Ada berbagai ekspresi yang terlihat, ada senyum tipis, wajah yang cemberut dan tatapan kosong. Setiap senyum yang Gwen tampilkan, tidak lagi pernah mencapai matanya. Kedua mata jernih itu lebih sering memandang kosong ke depan.

Aku ingin sekali melihatnya dari dekat, tapi aku tidak bisa. Aku harus menjaga jarak, karena kalau tidak, Gwen akan ketakutan. Ada banyak hal yang ingin aku ungkapkan, kalimat maaf dan penyesalan, tapi aku tidak bisa mengatakan itu secara langsung. Dan aku harus cukup puas mendengarkan laporan dari Bi Yuni setiap hari.

Gwen menyukai omelet untuk sarapan, ia lebih suka ikan dibandingkan dengan ayam. Gwen suka seafood tapi alergi gurita. Ia suka makanan pedas untuk makan malam. Itulah yang aku tangkap dari laporan Bi Yuni selama ini.

Aku berpura-pura memilih makanan ringan sambil terus mengamati Gwen dari kejauhan. Wanita itu terlihat tengah memilih mie instan. Bi Yuni bilang, dulu sebelum kejadian pahit itu, Gwen suka sekali membuat mie instan pada tengah malam. Tapi sejak saat itu, Gwen tidak berani keluar dari kamarnya pada tengah malam lagi. Apa kini wanita itu akan kembali membuat mie instan pada malam hari seperti kebiasaannya dulu?

Aku tersenyum tipis. Meski mie instan itu tidak baik bagi kesehatan Gwen, tapi aku akan membiarkan wanita itu makan mie instan malam hari. Jika hal itu bisa membuat Gwen bahagia, maka aku akan ikut bahagia melihatnya.

Wanita itu terlihat lebih kurus dan pucat. Setelah puas mengamati Gwen dari kejauhan, aku kembali ke kampus. Aku masih terus memikirkan bagaimana caranya mendekati Gwen tanpa membuat wanita itu ketakutan, ia berharap secepatnya akan menemukan jalan keluarnya.

"Bagaimana keadaannya hari ini?"

Karena akhirnya Anika juga tahu tentang kejadian itu dan menuntut perkembangan Gwen setiap hari, maka aku harus memberikan laporan kepadanya. Setidaknya hal itu membuat Anika bersikap jauh lebih baik kepadaku dan tidak terlalu dingin dan sinis.

"Hari ini dia berbelanja bersama Bi Yuni dan disana mereka bertemu Ruby."

"Kapan aku bisa menemuinya?" Anika sudah gatal ingin menemui Gwen, tapi aku melarangnya. Gwen akan ketakutan. Sepertinya Gwen selallu ketakutan jika berhadapan dengan salah satu anggota keluarga Wardana. Aku tidak berani mengambil resiko. Gwen telah berjuang keras selama ini untuk mengatasi ketakutannya, dan aku tidak berani mengambil resiko menghancurkan kembali dinding yang berhasil Gwen bangun secara perlahan. Dinding itu masih sangat rapuh.

"Ruby bilang, Gwen masih mengkonsumsi pil penenang itu."

Anika mengangguk.

Aku sendiri sudah pernah menemui dokter Rida, psikiater yang menangani masalah Gwen dan Ruby. Aku menceritakan secara terus terang apa yang sudah aku lakukan pada Gwen, aku juga mengungkapkan penyesalan dan berharap bisa memiliki kesempatan untuk memperbaikinya, dokter Rida menyarankanku untuk bersabar menghadapi Gwen. Karena Gwen mengalami trauma pasca pemerkosaan dan penyiksaan. Butuh waktu lama bagi Gwen untuk mengatasi rasa trauma dan takutnya itu. Aku harus bekerja sama untuk menjaga jarak dan memberinya ruang agar Gwen tidak merasa tertekan dan histeris.

Karena Gwen akan melakukan tindakan yang menyakiti dirinya sendiri jika dalam keadaan takut. Sudah ada dua goresan di pergelangan tangannya selama ini.

Aku tidak ingin Gwen melakukan hal itu lagi.

To Be Continued