webnovel

Idola Kampus

Kampus

Anika memainkan jemari, gelisah. Pikirannya kacau saat melihat empat lelaki populer itu mulai dikerubungi adik kelas. Apa sih pesona keempat pemuda itu hingga membuat mereka begitu disukai?

Anika merasa sesak saat melihat tangan seseorang mengusap puncak kepala seorang perempuan.

"Kenapa kamu mandangin kami kayak gitu?"

Anika kaget dan menoleh ke samping. Sejak kapan Devan berada di sampingnya? "Bukannya kamu tadi di sana?" tunjuk Anika ke arah Rangga, Lukas, dan Satya.

"Aku baru sedetik duduk di sini."

Anika menganga.

"Aku capek berdiri. Aku bilang aja aku mau nemenin kamu. Dan, fans-fansku malah pindah ke Lukas dan Satya. "

Anika hanya tersenyum kecil menanggapi penjelasan Devan. "Ya udah, balik lagi aja ke sana. Fansmu bakalan ngerubungi kamu lagi."

Devan memandang Anika. "Aku capek. Masa kamu tidak dengar?"

Anika mendengus. "Kamu mau bilang, aku tuli gitu?"

Devan menyibak rambut Anika gemas. "Kamu sendiri yang ngomong gitu," ucapnya sambil tertawa.

Anika merapikan rambut sambil memandang Devan. "Liat tuh, fansmu pada cemburu sama aku. Nanti aku diteror lagi, kayak waktu itu."

Devan tertawa. "Eh? Aku udah memberi pencerahan sama mereka supaya nggak terlalu fanatik. Ya... kamu kan tahu aku idola yang baik."

Anika ternganga, tetapi sedetik kemudian tersenyum lebar karena Devan tertawa di sampingnya. "Ya ya ya, terserah deh," ujar Anika.

Devan dan Anika berpaling ke arah Lukas dan Rangga yang meninggalkan kerumunan dan berjalan mendekati mereka. Anika tersenyum pada dua pemuda itu "Berduaan mulu. Eh, Gwen mana?" ucap Rangga. Matanya mencari keberadaan gadis itu.

Lukas menyikut Rangga. "Pacaran mulu sama Gwen."

Rangga mendelik. "Emang salah aku nanyain dia?" Teman-temannya itu senang melebih-lebihkan hubungan mereka.

Devan tertawa mendengar ucapan Rangga. "Semua orang juga

tahu kamu lagi mencoba berdamai dengan Gwen!"

Rangga menoyor Devan. "Sok tau!" ucapnya, meskipun hatinya mengakui kebenaran ucapan Devan.

Anika tersenyum mendengar percakapan teman-temannya. Mereka selalu seperti itu. Bertengkar dan berdebat. Bukankah seperti itu persahabatan yang sebenarnya? Bertengkar tapi tetap saling menjaga, berdebat tapi tetap saling memahami.

Anika kaget saat menyadari Satya duduk di sampingnya. Ia memandang pemuda itu sekilas, kemudian menyimak kembali perdebatan antara Devan dan Rangga.

Anika mengernyit saat tubuh Satya menjauhinya. Pemuda itu berjalan menjauh, menerima panggilan telepon. Gaya bicara Satya memang aneh, setengah berbisik-bisik, membuat Anika penasaran ingin mengetahui orang di seberang sana.

"Aku ke kelas dulu, males ngomong sama banci."

Anika menatap punggung Devan yang berjalan menuju pintu keluar ruang olahraga. Devan marah? Anika mengalihkan pandangan pada Rangga dan Lukas.

Lukas tersenyum. "Udah biasa Anika, dia marah-marah. Ntar juga baikan lagi kok," jawab Lukas tenang.

Rangga mengangguk menyetujui.

Anika tersenyum tipis, kemudian mengangguk.

"Kami nyusul Devan dulu ya."

Anika mengangguk. Sesaat kemudian ia melangkah, ingin pergi juga. Matanya menyapu seluruh isi lapangan, terpaku pada Satya yang masih menempelkan ponsel di telinganya.

Anika mendengus, perlahan mendekati Satya, bermaksud mengajak ke kelas bersama. Namun baru saja dia akan menepuk pundak Satya yang lebih tinggi darinya, napas Anika tercekat, tubuhnya menegang.

"Iya, Tina, aku juga kangen sama kamu... makanya cepetan balik ke sini."

Anika terdiam. Ada yang mendenyut di hatinya, rasa nyeri mengentak-entak, entah apa sebutannya. Yang dia tahu, dia hanya butuh kesendirian.

Anika memutar badan, berjalan menjauh. Dia sudah tak peduli lagi.

***

Anika membuka mata perlahan. Penat. Setelah mendengar ucapan Satya tadi, dia malas bertemu orang lain. Karena itu dia memutuskan untuk menghabiskan seluruh jam pelajaran di perpustakaan.

Anika memijit kepalanya yang terasa nyeri. Mood-nya hancur.

Memangnya selama ini dia mempunyai mood yang baik? Ia menggeleng. Kehadiran pemuda itu mengacaubalaukan kehidupannya.

Dan sialnya lagi, Anika tak bisa menolak.

Buku ensiklopedia yang menutupi wajah Anika, diletakkan, ditutup, kemudian dikembalikan ke tempat asalnya.

Anika melangkah ke luar perpustakaan, tersenyum canggung saat penjaga perpustakaan melirik ke arahnya. Dia sudah empat jam di situ, dan pasti penjaga itu menyadari kehadirannya. Adakah orang yang bisa membuatnya merasa lebih baik sekarang? Anika berjalan menuju kelas dengan lemas. Kampus sudah berakhir satu jam lalu dan dia melewatkan empat mata pelajaran dengan tertidur di perpustakaan.

Kakinya berhenti saat sadar siapa yang berjalan di depannya. Elisa dengan tumpukan buku. Gadis itu memang lebih suka membawa tas kecil yang hanya bisa dimasukkan buku berukuran kecil dan bukan buku cetaknya yang tebal. Anika tersenyum, ingin bermain-main dengan saudara tirinya itu.

Dengan mantap Anika berjalan mendekat, bermaksud menabrak gadis itu dari belakang. Namun Elisa keburu ditabrak duluan oleh seseorang yang berjalan di depannya. Anika tak begitu peduli itu siapa. Yang jelas ia harus berterima kasih karena tak perlu repot-repot menabrak gadis itu.

Anika masih terdiam di tempatnya. Buku Elisa jatuh dan gadis

itu langsung memungutinya satu per satu. Anika tetap bergeming

saat melihat buku bersampul biru luput dari pandangan Elisa.

Gadis itu sibuk berbicara dengan orang yang menabraknya.

Tak ingin membuang kesempatan, Anika berjalan mendekat,

menendang dengan kasar buku yang luput dari Elisa, kemudian

menatap gadis itu tajam.

Elisa terdiam, membalas tatapan Anika, kemudian berlalu begitu

saja. Begitu juga dengan orang yang menabraknya.

Anika mengambil buku bersampul biru tersebut. Dia yakin itu

buku penting, apalagi ada kunci berkode yang membuat orang

lain tak bisa membukanya.

Anika tersadar. Astaga, itu diary.

***

Anika menyimpan buku bersampul biru milik Elisa ke tasnya. Dan

benar saja, kampus sudah bubar. Ke mana teman-temannya?

Ah, Gwen kan sedang sibuk dengan kegiatan BEM. Mungkin

gadis itu berada di ruang BEM bersama Devan dan Rangga.

Lukas dan... Satya?

Anika merasakan perutnya mulas saat mengingat nama Satya.

Masa bodoh. Dia sudah tak peduli dengan pemuda itu lagi

"Akhirnya... kamu datang juga ke kelas."

Anika merasakan bulunya meremang saat mendengar suara

tersebut. Ia tidak berniat menengok ke sumber suara. Well,

mengingat namanya saja perut Anika mual, apalagi melihat wajah

orang itu, mungkin bisa membuatnya muntah.

"Kamu masih marah sama aku?" Satya mendekati Anika, berdiri di

belakang gadis itu.

Anika diam, tahu posisi Satya, namun tak berniat memutar badannya satu senti pun.

"Masa hanya karena aku bilang kamu bunglon, kamu langsung kayak

gini?" sesal Satya. Tak biasanya Anika mengabaikannya.

Anika mengambil tas, lalu berbalik sambil menunduk, menggeser

tubuh Satya dengan sikunya agar menjauh, dan bersiap melangkah.

Namun tangannya keburu ditangkap Satya.

Jangan kira gadis itu tidak berontak hingga terlepas dari

cengkraman Satya. Ia menatap Satya sekilas, kemudian berjalan cepat

dari hadapan pemuda itu.

Namun Anika harus mengurungkan niatnya, karena Satya berlari

dan keburu menutup pintu kelas. Ia menahan pintu dengan

menyandarkan badannya.

Merasa keduluan, Anika diam, tak berniat memandang Satya.

Merasa lelah, akhirnya dia duduk di bangku deretan depan.

Sungguh, dia lelah dengan sikap abu-abu pemuda itu kepadanya.

Bagaimana bisa cowok itu mengumbar perasaan sayangnya kepada

dua gadis sekaligus?

Anika tak marah, hanya kesal kepada diri sendiri yang takluk

pada Satya. Balasannya? Pemuda itu masih mengharapkan kehadiran

gadis lain.

Satya menarik kursi dan duduk di hadapan Anika. Tangannya

dimasukkan ke saku celana, mengambil sesuatu.

Anika terbelalak. Saputangannya. Bagaimana bisa?

"Punyamu, kan?"

Anika memeriksa saku roknya. Benar. Tak ada saputangan di

dalam sana. Kapan saputangan itu ditemukan Satya?

"Aku temuin di lapangan basket indoor, tepat di belakang posisi

aku nelepon tadi," tutur Satya tenang, seolah menjawab pikiran Anika.

Dengan kasar Anika mengambil saputangan itu. Dia peduli apa?

"Aku tahu kamu tadi ada di belakangku," ucap Satya lagi.

Anika memberanikan diri memandang mata Satya. Mata itu, mata

yang sempat menenangkannya. Dia memasang ekspresi diam dan

kosong, tak tahu harus berbuat apa. Terlebih hatinya terasa nyeri

saat melihat mata itu.

Anika mengalihkan pandangan ke arah lain.

Satya memberanikan diri menggenggam tangan Anika. "Kamu tidak

lagi patah hati kan?"

Anika mendelik tajam. Jika bisa dia akan memukul Satya sampai

babak belur, dia akan menendang Satya karena memainkan perasaannya. Nyatanya dia tetap diam dan membeku, seolah terhipnotis mata Satya, lagi.

Memainkan perasaan?

Sejak kapan dia memiliki perasaan pada Satya? Perasaan apa yang

dipermainkan Satya?

"Kamu tidak perlu cemburu dan memang sebenernya tidak ada

yang perlu kamu cemburuin."

Anika terpaku mendengar kalimat tegas Satya. Apa maksudnya?

Apa Satya ingin mempermainkan perasaannya lagi?

***

Satya POV

Aku merasakan sesuatu bergetar dalam saku. Aku mengeluarkan

ponsel dan melirik nama yang muncul. Tina.

Aku mendengus kesal, berdiri, kemudian menerima telepon

dari Tina, dan berjalan menjauhi tempat teman-teman berdebat.

"Halo?"

"Satya... aku kangen."

Aku mengernyit. "Tina..."

Tina terdengar tertawa. "Aku hanya ingin bilang bahwa aku balik seminggu lagi."

Aku tersenyum miris. "Oke."

"Kamu tidak mau ngomong sesuatu?"

Alisku terangkat, berpikir.

"Males ngomong sama banci." Ucapan Devan yang begitu keras membuatku terkejut dan membalikkan badan. Aku melihat Devan berjalan ke luar, disusul Lukas dan Rangga.

Kenapa mereka tak mengajaknya pergi juga?

Aku tersenyum. "Devan lagi marah. Aku tutup dulu ya teleponnya."

Dan sambungan terputus. Aku baru saja akan menurunkan ponsel

dari telinganya kalau saja tak mendengar langkah di belakangnya.

Jantungnya berdetak tak keruan, dan aku yakin Anika akan

mendekat. Muncul akal bulus untuk mengetahui perasaan Anika

yang sebenarnya. Aku tersenyum lebar, kemudian berbicara sendiri

"Iya, Tina, aku juga kangen sama kamu, makanya kamu cepetan

balik ke sini."

Sehabis mengucapkan kalimat sandiwara itu, Aku meminta maaf

di dalam hati. Aku hanya ingin tahu, seberapa penting arti dirinya

bagi Anika. Tanpa tahu hati gadis itu luluh lantak di belakang

sana

***

Anika membelalak setelah Satya selesai menceritakan isi percakapannya dengan Tina. Dia ditipu?

Satya tertawa bahagia, menyentuh kedua pipi Anika dengan kedua

tangan. "Aku bukan playboy yang mengumbar gitu aja perasaanku ke lebih dari satu perempuan."

Anika merasakan pipinya memanas, segera menepis tangan Satya,

kemudian dengan cepat berdiri. Satya melakukan hal yang sama.

"Tuh... kamu marah-marah lagi. Kapan sih, kamu sadar aku cuma

sayang sama kamu?" ucap Satya tulus, menatap Anika yang membelakanginya. "Marahmu bikin aku sakit jiwa, tahu nggak?"

Gombal! Anika tetap mempertahankan egonya. Namun saat Satya

berbalik menghadapnya, pertahanan Satya runtuh.

"Aku sayang sama kamu"

Sekali lagi.

Anika tersenyum lebar saat merasakan Satya merengkuh tubuhnya

erat. Ia membalas pelukan itu dengan hangat. Air mata bahagia

meluruh. Perasaannya senang, ingin tersenyum sepanjang waktu.

Itukah yang disebut bahagia? Merasa ingin bersama orang yang

kita sayangi selamanya?

Anika tersentak saat merasakan cubitan halus Satya di pipinya.

"Jangan pernah berduaan lagi sama lelaki selain aku. Aku

cemburu."

Dalam hati Anika menyetujui pernyataan tersebut.

To Be Continued