webnovel

Depresi

Hospital

Anika POV

Aku menatap tubuh Mika yang terbaring lemah di rumah sakit. Mata Mika tertutup, tubuhnya lemah. 

Selang infus yang mengalirkan zat bergizi menancap di tangannya. Kepalanya diperban, lutut dan beberapa bagian kakinya penuh olesan Betadine karena luka terkena serpihan kaca. 

Sedikit pun aku tak merasa kejadian yang menimpa Mika sebagai kesalahanku. Aku membenci Mika dan keluarganya. Itu karma, ucapku memantapkan diri. Keluarga Mika memperlakukan keluargaku dengan buruk. Aku tak akan pernah memaafkan mereka.

Aku menoleh saat pintu kamar Mika terbuka. Om Sultan masuk membawa makanan.

"Aku tidak bermaksud nungguin dia," ucapku melirik ke Mika.

"Sejak kemarin kamu di sini terus, An."

Aku mengangguk. Benar, sejak kemarin aku menunggui Mika tanpa alasan jelas. Sejak kemarin aku hanya duduk sambil sesekali menatap wajah Mika yang tertidur nyenyak. Gadis itu masih belum sadar. Menurut dokter, Mika sangat tertekan sehingga asupan makanannya menurun. Luka di kepalanya yang berdarah membuat tubuhnya semakin lemah.

Aku tersenyum miris. "Mungkin lebih baik kita biarkan dia mati kemarin, Om." 

Om Sultan mengusap punggungku. "Kamu bukan pembunuh, An."

Aku menggeleng. "Aku cuma ingin melihat mereka mati di depanku, Om."

Om Sultan menghela napas. "Jangan! kita sudah menang di pengadilan, 

Ria dan Nicky akan menghabiskan hidup mereka di penjara."

Aku tersenyum miring. "Lalu harus kita apakan sisa keluarga Hilmar? Aku ingin mereka semua lenyap, Om."

 Om Sultan kembali mengusap punggungku. "Dia saudaramu, An."

"Aku tidak peduli, selama di tubuhnya masih mengalir darah Hilmar."

***

Dara POV

Bagai petir di siang bolong. Dokter Eca bilang aku mengalami depresi.

Bayangkan, dia menyuruhku mengisi puluhan formulir, salah satunya berjudul Depression Checklist, kemudian menanyaiku selama dua jam penuh.

Maaf, hanya saja bayangan awalku tentang depresi adalah orang-orang yang mengalami peristiwa traumatis dalam hidup mereka, atau meyakini seluruh dunia berkonspirasi melawan mereka, atau seperti tetanggi kami yang berusia lima puluh tahun dan hanya berbicara pada kedua belas kucing peliharannya.

Sementara aku: anak SMA ingusan dengan anggota tubuh lengkap, tidak pernah mengalami pelecehan, tidak dalam keadaan patah hati, serta tidak perlu khawatir apakah ada cukup makanan di rumahku besok.

Seperti yang dikatakan Vernon, aku tidak punya hak untuk depresi karena aku gadis yang memiliki segalanya, dan segalanya tidak mencakup hak untuk menderita depresi.

Duh, memikirkan Vernon malah membuatku ingin menendang sesuatu.

Sebelum masuk ke ruangan Dokter Eca, aku diminta mengisi formulir berisi 25 pernyataan seperti 'Merasa sedih atau muram', 'Merasa tak berharga atau kehilangan harapan', 'Kehilangan minat terhadap hal-hal yang tadinya berarti bagi anda' dan aku harus memilih jawaban mana yang paling cocok, antara 0-tidak sama sekali, 1- terkadang, 2- lumayan sering, 3- sering sekali, atau 4- sepanjang waktu.

Ada beberapa pernyataan seperti 'Keinginan melukai diri sendiri' dan 'Memiliki pikiran tentang bunuh diri', yang kuisi dengan 0. Namun untuk sisanya, kebanyakan jawabanku adalah 3 dan 4.

Begitu selesai mengisinya, kuhitung totak skorku. Cukup intuitif bahwa skor 0 berarti kau orang paling bahagia sedunia, sedangkan 100 berarti kau adalah onggokan kekacauan. Aku bertanya-tanya seburuk apa 68.

"Dara, bagaimana kabarmu?" tanya Dokter Eca setelah mempersilakanku duduk di kursi berlengan empuk. Di meja kerja mahoganinya terbuka buku catatan dan formulir yang tadi kuisi di ruangan resepsionis. Sebuah rak buku menjulang di dinding di belakangnya. Aku bisa melihat dua volume DSM berjejer di situ, itu singkatan untuk Manual Diagnostik atau Statistik Gangguan Mental, yang merupakan, sejauh yang kutahu, semacam kita subi psikiatri.

"Baik," jawabku otomatis.

"Baik," ulang Dokter Eca. "Tapi, kau di sini."

"Hmmm," gumamku.

Dia menunggu dengan sabar selagi aku mengulur-ulur waktu dengan membetulkan posisi dukuk.

Pada akhirnya aku hanya bisa memberikan jawaban payah, "Saya tidak tahu harus mulai dari mana."

"Bagaimana kalau kita mulai dengan apa yang kaurasakan sekarang?"

Kulirik kembali formulirku. Seseorang menulis angka 68 di bagian bawahnya. Bagus, sama dengan hasil perhitunganku. Ini berarti meskipun banyak gagal di sekolah, setidaknya aku masih bisa melakukan penjumlahan.

Aku menghela napas dan membuka mulut, lalu menutupnya lagi. "Saya merasa," kataku setelah kira-kira ribuan tahun. "seperti penipu."

Hening sejenak, kemudian, "Bagaimana kalau kau ceritakan lebih jauh?"

Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, mengamati beberapa ekor burung yang bertengger di kabel listrik.

Tadinya kukira orang mengalami depresi ketika ada sesuatu yang salah dengan hidup mereka. Tapi bagiku, despresi datang ketika segala hal dalam hidupku berjalan dengan sempurna.

To Be Continued