PT Pesona Samudra.
Jalan Halim no. 27
Jakarta.
Aku menuliskan nama agen kapal pesiar beserta alamatnya di pojok kanan Map coklat itu, di dalamnya sudah ada dokumen-dokumen kelautan. lalu kuserahkan kepada admin kantor pos yang bertugas, beberapa menit kemudian dia memberikan nota.
Sebelumnya, aku tidak pernah mengirimkannya lewat kantor pos atasu semacamnya, lebih sering datang ke kantornya sendiri. tetapi berhubung virus masih mewabah, jadinya lebih mengurangi untuk bepergian jauh.
"Mas, setelah ini kita kemana." Tanyanya setelah keluar dari kantor pos
"Langsung pulang saja." Sahutku pendek. Aku masih berjalan mendahuluinya dan memasukan nota ke dalam tas.
"Maksudku pulang ke rumah kita atau ke rumah Pak Rangga."
Aku berhenti dan menoleh ke arah Tama yang berhenti juga, "Ke rumah Pak Rangga."
"Aduh Mas, ngapain ke sana? Karantina sudah selesai tapi kok masih mau tinggal disana? Apa enggak takut hantu?"
"Tenang saja Ham, aku bakalan baik-baik saja di rumah itu, lagian para demitnya sudah jinak, mereka tidak akan berani mengganggu ku." Candaku sembari menaiki motor. Tama yang manyun lantas membonceng di belakang.
Selama perjalanan tidak ada obrolan, biasanya Tama akan sering nyerocos, bicara ke sana- kemari. Walaupun pada dasarnya dia pendiam, tetapi kalau sudah bersama dengan orang-orang terdekat sepertiku dia akan sangat cerewet.
"Nglamun aja, awas entar kesambet lho!" Godaku sembari membuka kaca helm.
"Enggak, aku kepikiran dengan omongannya Mas Soleh tadi pagi."
"Omongan yang mana Ham?"
"Tentang Siluman Ular bersama Pak Wiryo."
"Memangnya kenapa?"
"Tapi, aku takut Pak Wiryo bakal menyelakai Mas lagi. Apalagi sekarang Mas tinggal bersebelahan dengannya.
"Tenang saja, selama kita tidak mengusik, mereka juga tidak akan mengganggu kok. Yang penting jangan sampai berhenti ibadah." Paparku.
Aku terdiam sejenak. kekhawatiran Tama sangat mendasar. Berulangkali nyawaku hampir melayang gara-gara sekutu ghaib Wiryo. Tetapi, tidak ada rasa takut sama sekali. kejadian hancurnya kerajaan demit itu sudah cukup menjadi bukti bahwa iblis terkuat pun akan mudah dikalahkan oleh kekuasaan Tuhan.
"Sekarang kamu tahu 'kan alasan kenapa aku dulu menolak uang pemberian dari Pak Wiryo, karena uang itu adalah hasil pesugihan. Kalau kita sampai menerima uang itu sama saja kita menyerahkan diri sebagai tumbalnya."
"Ih amit-amit deh, jangan sampai terjadi." Tukasnya sembari mengelus-elus perutnya.
"Ham, kamu punya nomer Whatssapnya Soleh."
"Punya Mas kenapa?"
"Tolong bilang ke Soleh untuk segera datang ke rumah Pak Rangga sekarang."
"Siap?"
***
Setelah mengantarku di rumahnya Pak Rangga, Tama pun langsung pulang. Dia mau berangkat kerja shift siang. Ternyata, Soleh sudah menunggu di depan rumah.
"Sudah lama nunggunya."
"Enggak kok, baru lima menit yang lalu." Katanya sembari mencuri pandang ke rumah Pak Wiryo. mimik mukanya terlihat tegang.
"Ya udah ayo masuk."
"ehh.. iya."
"Kamu lihatin apa sih kok kayak panik gitu?"
"Ngomongnya di dalam rumah saja." Sahutnya sembari mendorong tubuhku. Aku lekas membuka pintu yang terkunci. Soleh yang tidak sabar mendorong tubuhku.
"Aduh, kamu sebenarnya kenapa sih?'
"Ada ular sanca raksasa Di, mengelilingi rumah Pak Wiryo." aku mengernyitkan dahi. Aku melongok keluar rumah, dan mendapati rumah Pak Wiryo seperti rumah pada umumnya.
"Tidak ada apa-apa gitu kok?"
"Apa perlu aku buka mata batinmu supaya kamu bisa melihatnya?"
"Enggak usah deh. Aku percaya kok sama kamu Dul." Tuturku sembari menunjuk ruang tamu, "Gak Silakan duduk Dul."
Aku pun bergegas ke belakang mengambil minum di kulkas. Ruman Pak Rangga, bukan rumah kosong lagi, tetapi sudah ada penghuninya yaitu aku. Aku yang membersihkan rumah itu agar tidak terlihat suwung dan layak untuk di tempati. PLN sudah memasang aliran listrik ke rumah ini, sesuai dengan permintaanku. Barang-barang elektronik yang terbengkalai pun masih bisa di fungsikan, termasuk Kulkas.
"Nah, ini silakan diminum dulu." Aku meletakan dua gela jus orange di meja, satu untuknya dan satu untukku. Tanpa basa-basi lagi, Soleh segera meneguk jusnya.
"Di, kok kamu mau-maunya sih tinggal disini? Kamu enggak takut apa di terror lagi."
Aku tidak segera menjawab pertanyaan Soleh, pandanganku beralih ke tembok dimana ada foto Pak Rangga.
"Penyesalan terbesar seseorang adalah kehilangan orang yang paling tersayang ketika kita tidak sedang bersamanya. Padahal di saat-saat terakhirnya, dia sangat membutuhkan kehadiran kita. Hal itu yang aku rasakan saat mengetahui orang yang sudah aku anggap bapak sendiri meninggal." Jelasku dengan mata berkaca-kaca.
"Cukup do'kan saja, enggak perlu sampai jagain rumahnya. Terlalu bahaya jika di sini sendirian."
"Siapa bilang saya sendirian? Ada Tuhan yang selalu bersamaku di saat sulit sekalipun. Kamu masih ingat kan dengan hancurnya kerajaan demit."
Perkataanku membuat Soleh diam seribu bahasa. Dia yang biasanya paling jago debat, seakan tidak bisa menyanggahku. Bunda Ratu yang hampir merenggut sukmaku, terbakar dengan lantunan adzan yang meluluhlantakan seisi kerajaan. Semua atas campur tangan Tuhan. Jika Ratu iblis aja sampai takluk, tentu tinggal sendiri di rumah kosong dengan demit yang mengelilingi , bukan masalah besar.
"Lagian rumah ini menyimpan sejuta kenangan beliau, aku ingin terus menjaganya supaya tetap terawat."
"Sebenernya, Pak Rangga itu belum benar-benar meninggal." Katanya dengan hati-hati.
"Maksudmu?" aku langsung menoleh ke arah Soleh, sorot mataku seolah meminta kejelasan tentang apa yang dikatannya.
Tiba-tiba, kerumunan orang datang. Ada beberapa polisi, yang di dampingi Pak RT dan Pak Modin. Di depan mereka ada sosok yang tidak asing, Reza.
"Selamat siang Pak Rafa, kami dari kepolisian ingin melakukan olah tempat kejadian perkara atas meninggalnya Pak Rangga. Ini surat tugasnya"
"Baik Pak, Silakan."
Garis polisi sudah melintang di kamar Pak Rangga. Para polisi mulai bekerja. Reza pun memperagakan bagaimana dia melakukan penganiayaan keji terhadap sosok yang lumpuh. Kerumunan warga juga berdesak-desakan untuk melihat proses olah Tkp itu. Sebenernya tersangkanya ada dua, yaitu ayahku. Berhubung, ayah sudah meninggal. Jadinya Reza yang menanggung sendiri apa yang diperbuatnya.
Olah Tkp telah selesai . Seorang kepala polisi mendekati Pak RT.
"Berhubung Almarhum ini tidak memiliki sanak saudara, maka Kami meminta izin kepada Pak RT untuk membongkar makam alharhum Pak Rangga supaya dilakukan autopsi."
"Jika demi kelancaran penyelidikan, lakukan saja Pak. Nanti saya akan meminta dua orang untuk membantu menggali makam tersebut." Sahut yang Pak RT yang bisa di ajak kerja samanya.
"Baik, nanti sore kisaran jam empat, kami akan datang lalu membawa jasad dari alharmum untuk di periksa di bagian forensik."
Para polisi itu menggiring Reza ke mobil untuk kembali ke kepolisian. Kerumunan warga yang menyaksikan kejadian itu, membubarkan diri masing-masing.
"Dul, kamu belum menjelaskan maksud perkataanmu tadi." kataku setengah berbisik, setelah memastikan tidak ada orang lagi.
"Nanti kamu juga akan tahu sendiri." sahutnya enteng.