Nyatanya sebagian diksi kehidupan itu memang terlalu menakutkan untuk dibuka, sekedar menjalankan jari diatas kalimatnya atau membuka halaman buku-bukunya bisa membawa ketakutan, ketidakpercayaan dan luka. Entah baru atau hanya halaman lama yang sudah diusahakan disingkirkan.
Richard masih berdiri diam di depan jendela kantor direktur Rumah Sakit—yang dimintanya khusus saat Charles berkata akan memberitahunya sesuatu—matanya yang gelap jatuh tanpa fokus ke taman rumah sakit yang penuh oleh pasien, keluarga dan perawat yang lalu lalang. Otaknya sakit oleh penjelasan yang menjejal, sementara jiwanya mati rasa. Dimemorinya terputar adegan mengerikan yang ia hadapi beberapa saat yang lalu, membawa implus tanpa ampun yang membuat tangannya bergetar.
"Yang Mulia Ratu belum meninggal," ucapan Charles yang bergaung dalam ruangan seperti hembusan udara. "Kami menyembunyikannya."
Raja itu masih menatap keluar. "Kami?"
"Kelompok tujuh."
Richard hanya diam.
"Penyerangan oleh sekelompok orang saat berkuda, disinyalir dibuat secara sengaja. Kami melakukan penyelidikan dan menemukan bahwa yang ingin disingkirkan sebenarnya hanyalah Anda. Namun semakin jauh, kami menemukan bahwa bukan hanya Anda; namun Ratu juga menjadi sasaran. Keadaan Ratu terlalu lemah selepas serangan itu, namun pihak yang ingin menyerangnya terlalu banyak. Maka kelompok tujuh membuat rencana untuk menyembunyikan Ratu, awalnya dengan izin Anda; hingga penculikan itu terjadi."
Charles menunduk.
"Kami tidak punya pilihan. Kelompok tujuh harus menyembunyikan Ratu, keadaan beliau memburuk selama beberapa saat. Namun membaik dan kami memutuskan untuk membawanya ke rumah lama kelompok tujuh bersama beberapa anggota yang bertugas menjaganya. Rencana kelompok tujuh setelahnya mudah; kami akan mencari pelaku dan memberitahu Anda fakta sebenarnya. Namun sekali lagi kami gagal; Ratu kembali diculik dan sekarang tidak ada seorang pun yang tahu dimana Beliau."
"Kenapa kau berbohong Charles?" Richard bertannya tanpa berbalik. "Kau menemaniku untuk waktu yang lama dan menyembunyikan semua ini. Kau tahu betapa hancurnya aku dengan kepergian Redd, lalu kau dengan begitu kurang ajarnya bersembunyi. Berpura-pura tidak tahu apa-apa."
"Maafkan saya Yang Mulia," nada ajudan itu turun dengan getaran penyesalan. "Saya tidak punya pilihan, saya pikir ini yang terbaik."
Richard tersenyum pahit dan berbalik, memandang sang ajudan yang sudah ia anggap sebagai ayahnya itu dengan campuran kemarahan dan ketidakpercayaan yang putus asa. "Dengan membohongiku? Begitu? Di sini, di negaraku sendiri?"
"Yang Mulia, saya—"
"Kau tahu," nada Raja itu tersendat oleh emosi yang menggumpal dan air mata yang mengembun. "Aku begitu mati selama ini, merasa mati karena dia pergi dan nyatanya hanya aku yang begitu bodoh," kepala Richard menggeleng. "Kenapa—"
Tubuh Richard bergetar, sebelum dengan luar biasa marah ia berteriak dan menghantamkan kepalan tinjunya ke tembok. Mengabaikan bunyi debum dan retakan yang sepertinya bersumber dari ruas jarinya.
"Yang Mulia ...."
Mata merah Richard memejam. "Aku benar-benar marah Charles, sial." Nafasnya berhembus kacau saat logiknya mencoba membuatnya sadar. "Temukan Ratu. Temukan Redd aku tidak mau tahu, aku begitu ingin membunuh semua orang sekarang. Tapi harus kutemukan Redd. Gunakan semua yang kau bisa."
"Kelompok tujuh sedang melakukan pengejaran," Charles masih menunduk. "Tapi sepertinya pelakunya masih sama."
Perhatian Richard teralih. "Siapa?"
Ajudan Raja itu diam, sesaat ragu sebelum dengan helaan nafas ia menjawab. "Andrew, Pangeran Andrew dan pengikutnya."
...
Air mata Redd luruh dengan bibir tergigit; menahan isakan dan desakan ketidakpercayaan yang membunga di dadanya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan kesakitan dari kekecewaan dan peghianatan. Mata Ratu itu beralih, benar-benar enggan menatap ke sosok pemuda di depannya.
"Yang Mulia, kenapa Anda memalingkan wajah?"
Redd menunduk, gemetar akibat tangis. "Kenapa kau melakukannya? Justin, kenapa?"
Justin tersenyum kecil, menyeret kursi lain untuk duduk di depan Redd dan menyatukan tangan diatas lutut. "Mau mendengar sebuah kisah sedih Yang Mulia?"
Pemuda itu menghela nafas.
"Keluargaku selalu bahagia, dengan ayah dan ibu yang lengkap dan baik-baik saja. Lalu suatu hari teman Ayahku menemukan sebuah penemuan, Ayahku menjadi sangat tertarik dan mereka mengembangkannya bersama-sama. Lalu ada pihak-pihak yang menjadi serakah, Ibuku mati dan begitupun Ayahku. Anda tahu setelahnya? Nama mereka dihapus begitu saja. Untuk menjaga istana dan Raja yang baru, kedua orangtuaku harus disingkirkan."
Mata pemuda itu berkilat oleh air mata dan amarah. "Teman ayahku adalah ibumu Yang Mulia," Justin mendesis, "Tapi keluarganya dilindungi, kalian dibawa ke Vatikan agar selamat; walau kemudian tidak berguna. Sementara keluargaku tidak, bayangkan betapa jahatnya itu Yang Mulia? Aku kehilangan semuanya dan tidak seorangpun berduka untuk itu. Ini kesalahan anda, Raja dan istana," pemuda itu bangkit dengan badan bergetar dan mendendang boks yang berada disekitarnya marah. "INI KESALAHAN KALIAN SEMUA!!"
Redd memekik pelan, matanya nanar memandang Justin yang hanya berdiri dengan ledakan emosi. Sementara otaknya berputar tidak mengerti.
"Ibuku?" nada Redd bergetar. "Kau tahu ibuku?"
"Ibu?" Justin berbalik menghadap Redd lagi dan tertawa. "Tentu saja. Eliana? Itu namanya kan," alis Justin naik. "Ah. Tapi Anda tidak bisa mengingatnya, bukan? Kali terakhir racun itu bekerja sepertinya sudah merusak jaringan memori Anda, sayang sekali."
"Apa, apa maksudmu?"
"Anda tidak ingat Yang Mulia?" Justin tersenyum ganjil dengan kepala meneleng. "Vatikan dan lorong bawah tanah itu?"
Ajudan Ratu itu kembali tertawa.
"Tidak apa, jika Anda tidak bisa mengingatnya. Saya dengan senang hati akan menceritakannya pada Anda."
...
Vatikan, 1999
Redd menjerit lagi, gadis itu berusaha memberontak saat sekelompok pria menyeret mereka masuk ke ruangan dengan meja lab dan kasur-kasur besi; ruangannya gelap. Dengan suara tetesan air yang mengancam dan bau apak lumut. Mata gadis itu ketakutan; terus melirik adiknya yang berada dalam pelukan pria asing dan biarawati yang tidak sadarkan diri itu.
"Lepaskan aku," ia melirih lagi saat pria itu menyeretnya kasar menuju ranjang besi. Luka dilehernya terasa sakit dan kausnya basah oleh darahnya sendiri.
"Kau harus mati gadis kecil," bisik pria itu mengancam. "Sama seperti Ibumu dan Ayahmu."
"Papa belum mati!" Redd menjerit marah dan mencoba memberontak kembali. "Lepaskan aku!"
"Dia mati," pria itu tertawa dingin. "Mau melihat?"
Lengannya dicengkeram kuat saat pria itu membawa dia menuju ranjang lain. Tempat dimana seorang pria yang sudah babak belur berbaring dengan tangan terikat. "PAPA!"
Pria itu melirik, lantas matanya membola dan dengan sekuat tenaga memberontak marah. "Bajingan. Lepaskan putriku! Lepaskan Redd!"
"Oh ayolah Samuel," seorang pria lain yang memakai jas lab putih menghampiri dan tersenyum. "Aku membawanya agar kalian bisa mati bersama. Bagus sekali bukan?"
"Arthur bajingan brengsek itu." Samuel memutahkan darah yang memenuhi mulutnya. "Apa dia pikir ini akan berhasil? Membunuhku tidak akan menjatukan Raja dari tahta!"
"Memang tidak," si pria berjas tersenyum. "Tapi violet bisa diambil, senang sekali mengetahui rencana Charles akhirnya gagal."
"Lepaskan putriku bajingan," Samuel kembali mendesis. "Kalau kau mau membunuhku, bunuh saja aku."
"Kau harusnya tahu hukum penyandraan Samuel," pria itu tertawa. "Jika menyiksamu tidak membawa hasil, maka menyiksa yang lainnya akan berguna. Bukan begitu?"
"TIDAK!" Samuel berteriak marah. Dengan cepat menoleh pada putrinya yang diseret dan dibaringkan paksa pada ranjang besi lainnya. Redd menangis, masih memberontak seraya memanggil nama sang ayah. "LEPASKAN DIA!"
Si pria berjas tersenyum, mengambil suntikan yang berisi cairan ungu keemasam." Siapa yang menduga benda kecil ini akan sangat berguna," ia terkekeh seraya mendekat pada Redd yang dicengkeram erat. "Kau harusnya bicara saja Samuel, jadi anak ini bisa selamat."
Redd menangis terisak, menatap ayahnya yang terbaring sembari berteriak marah; karena tidak sanggup melakukan apapun. Gadis kecil itu mencoba melawan lagi, namun tidak berguna sama sekali.
"Tidak apa-apa," si pria berjas tersenyum. "Tidak akan sakit," bisiknya pelan sebelum menyuntikkan cairan itu lewat tekuk.
Redd tersentak, saat rasa panas dan nyeri muncul di tekuknya begitu suntikan itu dicabut. Air matanya jatuh semakin banyak, bersama dengan matanya yang memburam. Lantas dengan kasar gadis itu diangkat dan dibaringkan di lantai; menggeliat saat badannya mulai terbakar dan menelan bulat-bulat darah yang menyeruak dari tenggorokannya. Matanya seperti buta, semua warna itu nyaris terlihat sama di mata Redd, tubuhnya meringkuk di sudut ruangan. Tidak bergerak pada akhirnya. Matanya terbuka dan ada suara-suara sengau yang berhamburan di pendengarannya. Tapi sama seperti matanya yang nyaris menjadi buram, ia bahkan tidak sanggup untuk bernafas terlalu keras.
"HENTIKAN! HENTIKAN AKU MOHONNNN!!!"
Suara ayahnya terdengar lemah, pria itu kesakitan. Ia sekarat.
Si pria berjas mendesis, menyambungkan sebuah kabel ke badan sang ayah dan menggeram. "Bicara sekarang! Kau tahu jika kau berakhir, maka wanita dan anak kecil itu yang akan menggantikanmu."
"TIDAK UNTUK PRIA SEPERTIMU! LEPASKAN AKU!"
Suara kejut listrik terdenga sekali dan kemudian sekali lagi; seperti degup jantung, lagi dan lagi. Hingga sentakan keras menarik lengannya dan hanya butuh waktu sebentar baginya untuk sadar kala ia dilempar ke atas ranjang alumunium yang keras.
Redd bernafas melalui mulutnya yang berdarah dan anyir, biarawati muda itu berbaring di sisinya dengan mata terpejam dan wajah pucat. Sementara ayahnya di ujung sekarat, nyaris mati. Redd membuka mulut hendak memanggil pria itu, tapi gagal saat tangan-tangan basah dan dingin menyentuhnya. Menariknya dan membuat telinganya berdenging berisik.
"Dia sudah siap mati Samuel," si pria berjas tertawa. "Apa kau benar-benar tidak ingin bicar—"
Sebuah pukulan yang mendarat tepat dibelakang kepala pria berjas membuatnya mengaduh, dengan cepat ia berbalik dan terkejut luar biasa saat menemukan biarawati muda itu sudah bangkit dari ranjang dengan wajah pucat pasi dan memegang sebuah nampan obat-yang ia yakin adalah alat pemukulnya.
"Kau—"
Tanpa diperintah wanita itu berlari turun, menjerit saat beberapa pria kembali meraihnya dan menamparnya hingga tersungkur. Tapi tidak lama, suara benda jatuh membuat mereka beralih. Lantas si pria berjas menggeram marah saat menemukan Samuel berdiri tertatih di sisi ranjang, pergelangan tangannya terluka tapi ikatannya lepas. Kepala Pasukan Khusus itu mendecih, mengabaikan bandannya yang ngilu karena kejut listrik dan matanya yang separuh buta akibat bengkak.
"Bunuh dia," si pria berjas memerintah marah.
Pria-pria itu patuh, dengan cepat menyerang yang bisa Samuel atasi sebisanya. Pemimpin Pasukan Khusus itu memukul, mendendang dan melawan, berusaha mempertahankan diri. Sementara pria berjas berbalik, hendak meraih Redd sebelum sang biarawati menghadangnya. Wanita itu jelas ketakutan, tapi tekadnya teguh.
"Mau melawanku, begitu?" desis si pria berjas.
"Ya," biarawati itu berbisik sebelum menendang pria itu kuat-kuat hingga tersungkur kesakitan. Lantas dengan cepat ia meraih tube putih kecil yang menggelinding dari saku si pria dan berbalik; meraih Redd dan Leen dalam pelukannya. Wanita itu beringsut mundur, hendak berlari keluar saat teriakan Samuel menghentikannya sesaat.
"Tolong selamatkan putriku," pria itu berusaha bicara diantara kesakitan. "Redd dan Leen, bawa merek ke Yenewa suatu hari nanti."
Biarawati itu mengangguk, dengan cepat keluar dan berlari menyusuri lorong. Mengabaikan suara baku hantam dan teriakan yang mengejarnya.
....
Halo. Galy disini.
Aku harap semuanya baik baik saja ya!
Fyi, chapter selanjutnya akan aku on hold sebentar. Artinya aku akan slow update dan tidak aktif untuk beberapa waktu.
Akhir bulan ini aku menerbitkan salah satu bukuku dan aku harus fokus sebentar untuk mengurus edit dan proofread sebelum dikirim ke editor dan termasuk juga aku akan handle mengenai pengiriman pdf yang juga dijual bulan Septermber nanti. Jadi aku mohon pengertian kalian semuanya ya.
Terimakasih. Stay Healty semua!