webnovel

Royal Family Series : Pengantin Sang Raja (The King's Bride)

Richard adalah raja yang tak pernah menikah. Itu adalah sumpahnya setelah melihat penghianatan yang dilakukan ibunya. Namun bagaimana jika adik lelakinya yang merupakan pewaris tahta akhirnya meninggal dan memohon agar Richard menikah sebagai permintaan terakhirnya? GalaxyPuss

Galaxypuss · History
Not enough ratings
55 Chs

Surat Tanpa Nama

Chevailer, 2006

Richard tidak lagi bicara saat ia berdiri membeku di tepi ranjang kamar mayat, matanya terpancang pada sosok gadis yang terbujur kaku di hadapannya.

Pakaiannya masih sama seperti saat terakhir kali Richard bertemu dengannya, gaun kelabu itu tampak bersinar di atas kulitnya yang pucat. Berpendar suram, bibirnya putih dan ada sebuah bekas biru kemerahan yang sekarang sudah nyaris ungu memutari lehernya.

"Richard," panggilan itu membuat Putra Mahkota itu berbalik. Ia menatap pada sosok lelaki di belakangnya dan tidak lagi menahan dirinya untuk membersit menahan tangis. "Hei. Tidak apa-apa."

"Kenapa Andrew? Kenapa?" Putra Mahkota itu nyaris merengek seperti anak-anak. "Kenapa dia juga pergi."

"Entahlah," Andrew menghela nafas sambil menepuk lengannya. "Aku tidak tahu. Aku tidak mengerti kenapa Wendy melakukannya, dia bukan gadis yang aku kenal."

Richard terdiam lagi, ia masih tidak menyangka bahwa hari ini dia dikejutkan oleh berita bunuh diri yang terjadi di dermaga. Seorang gadis ditemukan gantung diri di tiang dermaga dengan tali penambat perahu. Awalnya saja Richard acuh, hingga pembawa berita mengumumkan nama korban dan identitasnya yang lain. Wendy jade.

Dan Richard merasa dunianya runtuh, bagaimana bisa? Ada apa? Itu adalah pertanyaan yang Richard suarakan dalam pikirannya sejak tadi. Wendy, gadis yang ia cintai. Yang ia janjikan untuk menemani hidupnya. Bunuh diri. Tidak ada pesan apapun, atau hal lain. Hanya ada ketiba-tibaan yang membuat Richard serasa jungkir balik.

Richard merasakan rangkulan Andrew mengerat, "Tidak apa-apa. Sudah, tenanglah."

...

Sial.

Richard bangkit dari ranjang dengan cepat dan masuk ke kamar mandi. Ia membungkuk di atas toilet dengan wajah kepayahan, suara muntahan yang risih menggaung ke seluruh kamar mandi; dan ia bersyukur karena tidak ada seorang pun yang masuk ke kamarnya sepagi ini. Kepalanya berputar dan ingatan-ingatan masa lalu yang Richard sudah nyaris lupa sisanya berkeliaran lagi di memorinya.

Sial. Kenapa dia harus mimpi itu lagi sih?

Raja itu masih berusaha untuk memuntahkan apapun yang ingin keluar dari perutnya, rasanya memuakkan dan ia baru mendongak saat rasa mual yang dahsyat menyerangnya lagi dan membuatnya membungkuk kesusahan di atas toilet lagi.

"Aku mati," Raja itu mendongak dan menggerang sakit. Dengan sisa tenaga yang bahkan terasa tinggal tetesan, ia bangkit dan membersit. Tangannya meraih pedal di sisi toilet dan suara guyuran terdengar kemudian; melarutkan isinya bersama air.

Richard menutup toilet duduk itu keras-keras, dan berjalan terseok ke arah wastafel. Pantulan wajahnya di kaca sudah lebih dari sekedar buruk; ia mengakui sejujurnya, ia bahkan merasa terpukul, warnanya lebih mengenaskan dari pucat, dan bakal jambang yang baru ia cukur sudah bercikal bakal lagi.

Richard menghela nafas, ia tahu ia akan menderita seperti ini karena konsumsi obat penenang-anti depresannya. Efek sampingnya menyebalkan,ia terus-terusan tremor, insomnia-yang mana menyebabkan ia harus mengkonsumsi obat tidur jika tidak mau bangun mengenaskan, yang malah membuat tubuhnya tambah sakit-tapi ia tidak bisa berhenti karena tanpa obat itu besar kemungkinan bagi dirinya untuk meloncat ke kolam penuh ikan piranha atau menabrakkan diri ke kereta api. Dia sudah berhenti berduka-sungguh-ia tidak menangis lagi selama sebulan ini dan tidak terpuruk.

Sekali lagi, tepuk tangan untuk obat anti depresannya. Yah, bagaimanapun juga itu membantu dirinya untuk tidak pergi ke rumah sakit jiwa.

Richard berjalan ke shower room sambil melepas kausnya lewat kepala, ia tahu sebagian orang normal yang masih disorientasi di pagi hari akibat bangun terpaksa, apalagi muntah; akan lebih memilih untuk masuk lagi ke selimut dan berbaring hingga tubuhnya baik. Tapi persetan, orang normal itu jelas bukan Raja yang harus bangun dalam keadaan baik bagaimanapun juga guna memastikan negaranya masih baik. Dalam segi ekonomi atau yang lainnya.

Raja itu membuka celananya dan menendangnya lepas ke lantai, ia merengangkan badan dan mendesah lega kala air dingin menuruni kepala hingga kakinya. Ingatan yang lewat di mimpinya kini datang lagi, dan ia tidak menahan diri untuk menggerang. Entah sudah berapa tahun yang lalu, dan Richard terkejut menyadari ingatan itu masih ada. Wendy Jade.

Wanita yang pernah ia cintai selain ibunya di masa lalu, wanita yang malah meninggalkannya karena bunuh diri. Entah atas alasan apa.

Setelah berusaha keras untum menghilangkan ingagan itu, dalam hati ia merutuki fakta bahwa untuk lima hari ke depan ia akan bekerja sendiri, hari ini Charles akan pergi ke tempat peristirahatan. Ajudannya yang sudah setengah abad bernafas di bumi itu, agak sakit. Jadi Richard menyuruhnya untuk pergi memulihkan diri ke desa.

Sementara Justin, pemuda kelebihan energi itu ia kirim ke Vatikan untuk mencari lebih dalam tentang masa lalu Redd, setelah sebelumnya ia menginap seminggu di Bevait untuk mencatat kehidupan istrinya di sana. Pria muda itu sempat khawatir, dan berperangai menyebalkan selama beberapa hari saat Richard memerintahkannya pergi tanpa debatan. Ia takut meninggalkan Richard hanya karena bulan lalu ia tahu Richard sudah berancang-ancang mau mati tenggelam di bathup saat ia pergi selama sehari ke balai kota.

"Anda itu cerdas, anda mengetahui banyak metode menghilangkan nyawa dengan baik, bisa saja anda menusuk tekuk anda dengan bulpen dan anda mati setelahnya akibat kerusakan otak."

Itu alibinya sih, tapi ya sudah lah. Richard abaikan saja. Toh ia pikir Justin juga berhak dapat sedikit libur, setelah menghadapi kesakit jiwaannya selama lima bulan ini.

Raja itu menyelesaikan mandinya dengan ringkas, ia berjalan ke luar dan berganti baju. Richard membuka sedikit tirai jendelanya yang masih tertutup, dan mengintip. Cuacanya mendung, dan salju sudah berhenti turun karena hangatnya udara musim semi sudah tiba.

Ia menutup tirainya lagi, dan sudah berancang-ancang untuk pergi ke dapur saat ia mendapat ide yang lebih menarik untuk menyelesaikan harinya yang monoton.

Richard menuju ke sudut ruangan yang dipenuhi oleh tumpukan kotak berisi surat, dan hadiah kiriman dari masyarakat yang Richard belum membukanya sama sekali sejak kemarin.

Raja muda itu berselonjor di karpet dan mulai menarik satu kotak penuh surat. Ia menarik surat dengan amplop biru dan membukanya, ditulis rapi dengan tinta biru dan ada sebuah foto keranjang bunga di sana.

Untuk Yang Mulia.

Saya hanya berharap anda baik setiap saat, saya pikir anda marah dengan matinya penjahat itu tanpa hukuman dan begitu pun juga saya.

Saya seorang pedagang bunga di tepi taman kota, dan saya menyayangi Ratu yang baik. Saya bertemu Ratu saat hujan tengah turun dengan deras di langit, waktu itu saya sedang memindahkan bunga untuk diteduhkan, saat saya yang masih di tepi jalan ditabrak oleh seorang pengendara dan ia kemudian pergi begitu saja.

Saya sangat marah dan kaget, saya masih menatap sedih bunga saya yang berantakan sementara kaki saya sakit akibat tertabrak. Beberapa orang mencoba membantu saya, tapi tiba-tiba ada seorang wanita yang berlari ke arah saya.

Itu adalah Yang Mulia Ratu yang baik. Saya ingat waktu itu ia memakai gaun biru yang cantik dan keluar dari mobilnya begitu saja. Ia menghampiri saya di tengah hujan, dan saya sangat terkejut. Seorang pengawal memayunginya. Tapi beliau marah, dengan cepat beliau meraih payung itu dan memayungi saya. Ratu membagi payung dengan saya sambil memunguti bunga yang berantakan.

Beliau terus bertannya apa saya baik-baik saja, dan membawa saya untuk menepi dengan khawatir. Saya terkejut dengan itu, beliau memperlakukan saya seperti ibunya. Punggung beliau basah kuyup, tapi ia marah saat orang lain mencoba mengkhawatirkannya. Dia menekankan saya adalah orang yang lebih patut dikhawatirkan, beliau bahkan mengambil minyak yang diulurkan dan memijat kaki saya.

Seorang Ratu yang terhormat memijat kaki seorang pedagang pinggiran. Saya sungguh terharu.

Beliau memperlakukan saya dengan begitu lembut, jika saya ingat tentang hal itu sampai sekarang saya masih menangis terharu.

Ratu kami yang begitu baik, beliau tidak pantas dibenci.

Yang Mulia, saya harap anda bisa menangkap pelakunya setuntas-tuntasnya. Ratu kami yang baik berhak untuk itu.

Salam.

Richard tersenyum membaca surat itu, kejadian itu terjadi saat ia akan mengajak Redd memasak rissoto di dapur istana. Waktu itu senja hari, dan hujan tengah lebat-lebatnya ketika Redd pulang dari acara pembukaan festival seni dengan keadaan basah kuyup dan lansung memarahinya tentang kelonggaran hukuman pidana di jalan raya.

Raja itu meraih salah satu kotak di tumpukan sisinya, ia membuka kotak yang ukurannya sedang itu dan melihat sebungkus coklat carburry yang ditutupi surat. Richard meraih surat itu, dan membukanya. Suratnya di tulis di atas kertas bergambar Rillakuma dengan tulisan berantakan.

Halo untuk Yang Mulia.

Saya Deborah, teman-teman saya memanggil saya Debby. Saya bersekolah di TK Abranxas dan saya tinggal di panti asuhan yang pernah Yang Mulia dan Ratu kunjungi dulu.

Saya sayang sekali pada Ratu, saat Ratu meninggal saya menangis sambil memeluk boneka beruang yang Ratu berikan. Ratu itu cantik sekali, dia tersenyum seperti kue pie dan tertawa seperti muffin. Saat saya dewasa saya berharap bisa menjadi seperti Ratu. Saya bersedih karena Ratu meninggal lebih dulu, padahal saya ingin menepati janji saya padanya untuk menjadi putri peri.

Saya harap Yang Mulia selalu tertawa, ibu panti bilang Ratu sekarang ada di surga dan dia akan baik-baik saja.

Saya memberikan Yang Mulia coklat, ibu panti bilang itu bagus untuk membuat kesedihan pergi.

Richard tersenyum sambil menarik keluar sebungkus coklat carburry yang dihiasi pita warna biru. Dengan lembut Richard menyingkirkan coklat itu ke sisinya, ia kemudian membuka surat lain kali ini amplopnya polos dan isinya adalah kolom dinding sebuah koran yang digunting dan menguning oleh masa.

Terjadi ledakan di gorong-gorong Crounchil street Vatikan pada pukul dini hari waktu setempat, gorong-gorong ini sendiri terhubung dengan jalur bawah tanah gereja Crounchil. Penyebab ledakan masih menjadi pertanyaan, namun diperkirakan terjadi karena arus pendek kabel listrik di gorong-gorong.

Dua orang pria beserta seorang anak perempuan dinyatakan meninggal dunia dalam peristiwa ini. Korban diperkirakan lewat di atas gorong-gorong saat kejadian ledakan terjadi.

Richard diam dengan kening berkerut saat membaca surat ini, "Apa maksudnya?" Raja itu meneliti sekali pagi, dan entah kenapa suatu dorongan andrenalin menyentaknya. "Crounchil?"

Richard beringsut ke belakang dan meraih telepon genggamnya, ia membuka mesin pencari dan mulai mengetik Gereja Crounchil di kolom pecari. Hasil pecarian muncul dengan cepat dan Richard mengerutkan kening. Tidak ada artikel apapun tentang gereja itu, hanya muncul nama seperti cafe, restauran serta sebuah pub yang kebetulan bernama sama. Sementara sisanya adalah artikel-artikel dalam banyak bahasa yang menyelipkan Crounchil sebagai nama marga atau referensi.

"Tidak ada?" Richard membeo. Ia meraih lagi koran itu, dan mengetikkan pencarian baru.

'Crounchil street'-tidak ada hasil, kecuali puluhan artikel tentang jalan Crounchil yang berada di Inggris dan Selandia Baru-.

'Daftar Gereja di Vatikan'-tidak menyebutkan nama Crounchil sama sekali di daftar-,

'Daftar nama jalan di Vatikan'-masih tetap tidak ada jalan Crounchil-.

Richard mendesis kesal, ia mencoba melakukan pencarian lagi dan lagi dengan banyak keyword sebelum menyerah ketika pencarian terakhirnya 'Gereja Vatikan Crounchil yang meledak akibat arus pendek listrik- memberikan ... Hasil pencarian tidak cocok dengan dokumen apapun. Saran: pastikan semua kata di eja dengan benar, coba kata kunci lain atau kata kunci yang lebih umum.

Raja muda itu menggerang kesal, ia sudah hendak melempar telfon genggamnya sebelum ia mendapat alternatif lain. "Kau idiot," ia mengguman sambil mencoba menghubungi seseorang yang jelas ada di Vatikan.

Tidak butuh waktu yang lama sebelum panggilannya diangkat, dan suara seseorang lelaki yang sengau dan menyedihkan terdengar. "Yang Mulia?"

Richard mengerutkan kening, "Hei. Justin, kau oke?"

"Ah,ya. Uh," membersit, "Maaf," suara batuk ."Saya sedang flu."

Alis Raja Muda itu naik sebelah, "Kau baru pergi sehari dan sekarang kau sudah sekarat?"

"Yang Mulia," nada Justin nyaris terdengar merengek. "Buruk sekali. Populasi pria di sini sangat banyak, dan kebanyakan," nadanya segan. "Mereka gay, saya bahkan sudah digoda seorang pria begitu saya keluar dari bandara. Dia bilang saya cantik dan dia mau menjadi dominan saya."

"Bagus, kau jadi tidak repot mencari jodoh. Jika nyatanya kau laku keras seperti barang obral di sana."

"Yang Mulia!"

Richard terkekeh, "Aku bercanda. Ngomong-ngomong, aku punya tugas tambahan untukmu?"

"Apa itu Yang Mulia?" tanya Justin dengan nada serius, walau suaranya masih sengau dan serak.

"Ada seseorang yang mengirim hal aneh, ia mengirim surat berisi kliping sebuah koran lama. Suratnya datang bersama surat kiriman masyarakat, dan surat ini tanpa alamat serta pengirim," jeda sejenak. "Dalam kliping itu menyebutkan ledakan di gorong-gorong Gereja Crounchil di dekat jalan bernama sama. Ledakan terjadi pada dini hari, akibat arus pendek listrik dan menewaskan tiga orang. Dua pria dan satu anak perempuan. Aku berusaha mencari tahu, dan tidak menemukan sama sekali tentang Gereja Crounchil, jalan bernama Crounchil atau nama-nama Crounchil lain di Vatikan. Aku tidak tahu siapa yang mengirim ini, tapi aku pikir dia tahu sesuatu tentang Redd, atau Vatikan."

Hening.

"Justin?"

"Yang Mulia," Justin diam. "Benar-benar tidak ada pengirimnya?"

"Ya."

"Tunggu," nada suara pemuda itu berubah menjadi waspada. "Kenapa tiba-tiba ada seseorang yang mengirim itu? Maksud saya, kita sedang mencari masa lalu Yang Mulia Ratu dan seseorang secara tiba-tiba mengirim artikel dari Vatikan atau apapun itu?"

Richard diam, "Entahlah."

"Yang Mulia," nada suara Justin menajam. "Siapa saja orang yang tahu tentang masalah ini? Tentang pencarian ini?"

"Aku, kau dan Charles."

"Hanya itu?"

"Ya."

"Tidakkah," suara Justin menjadi tidak nyaman. "Anda merasa ada mata-mata? Atau seseorang yang tahu tentang ini dan mencoba melakukan sesuatu?"

"Maksudmu?"

"Maksud saya. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang pencarian ini, namun tiba-tiba surat tidak dikenal datang dan memberikan suatu petunjuk atau apapun tentang Vatikan. Yang Mulia, seluruh orang di dunia hanya tahu bahwa Yang Mulia Ratu lahir di Chevailer. Kita tidak pernah menyebarkan bahwa Ratu pernah tinggal di Vatikan," Justin menarik nafas. "Siapapun yang mengirim itu, ini adalah hal yang aneh. Bahkan walau tidak sengaja, kenapa dia mengirim artikel tentang Vatikan? Kenapa dia seakan tahu apa yang sedang kita cari. Itu aneh Yang Mulia."

Richard terdiam dan mengolah segala hal yang diucapkan oleh Justin dengan lambat. Itu benar, ada keanehan dengan datangnya surat ini. Kenapa dia mengirim artikel tentang kecelakaan di Vatikan? Kenapa dia seakan tahu apa yang sedang Richard cari?

"Menurutmu ada orang yang mencoba menjebakku dengan ini?"

"Ya," Justin menjawab. "Atau mungkin saja mencoba membantu."

"Itu konyol."

"Ya saya paham, tapi,uh ..." suara berisik dan batuk yang sangat keras. "Saya pikir kita juga harus mencari tahu apa," suara bersin. "Isi koran itu. Siapa tahu itu benar."

"Ya, kau bisa," Richard berhenti saat mendengar suara batuk dan bersitan lagi, ia menghela nafas. "Kau bisa istirahat dan mencarinya saat sudah baikan."

"Tidak. Saya bisa malam ini."

"Baikan," nada suara Richard tegas oleh perintah. "Kau dilarang melaksanakan tugas apapun sampai kau sehat."

"Yang Mulia ..."

"Perintah."

Hening.

Justin mendesah kalah, "Ya. Baiklah saya mengerti."

Panggilan selesai beberapa detik kemudian setelah batuk Justin menjadi lebih sekarat di telepon. Raja itu lalu melempar ponselnya ke ranjang dan menatap tumpukan hadiah itu. "Well, hari ini akan jadi sedikit menyenangkan."

...

Justin mundur ke kepala ranjang saat batuknya mulai terasa mencekik, ia meraih tisu dan membersit. Mengehela nafas dengan satu hidung yang tersumbat, pemuda itu kemudian menekan nomor lain di ponselnya dan diam menunggu sambungan.

"Halo?"

"Dia menghubungi saya," ucap Justin cepat.

"Siapa?"

"Yang Mulia."

"Apa yang dia bilang?"

"Ada seseorang yang mengirim informasi tentang mendiang Ratu."

"Informasi apa?" tanya pria di seberang.

"Alamat yang mungkin merupakan tempat tinggal Ratu dulu dan ledakan di gorong-gorong."

Hening.

"Itu nyaris dekat, hati-hati Justin," suara itu penuh peringatan. "Apapun itu jangan pernah membiarkan apa yang sebenarnya terungkap. Kau tahu ada terlalu banyak dendam di sana dan Raja tidak boleh mengetahuinya. Itu adalah rahasia, dan harus tetap menjadi rahasia."

"Ya," Justin berhenti. "Saya mengerti."

....