Redd berdiri ngeri dengan tangan mengepal, sejenak ia berusaha menjauh namun kalah oleh tangan Richard yang menahan pundaknya kuat.
"Jangan jadi pengecut Mansen!" ucap Richard tenang.
"Pengecut apanya!" Redd berbalik pada Richard dengan kesal. "Kau tahu aku benci berkuda, tapi kau menyuruhku naik kuda! Apa kau sudah gila?!"
Raja Muda itu menghela nafas, ia memang memang merencanakan agenda yang ia sebut sebagai agenda saling mengenal, atau untuk Redd merupakan kegiatan paling konyol di dunia. Seharusnya tujuan Richard tidak aneh, ia hanya berfikir bahwa sebagai suami istri mereka harus saling mengenal dan memahami; bahkan meskipun mereka adalah suami istri kontrak, walau sebenarnya Richard sering lupa bahwa hubungan mereka hanya sebuah kontrak. Penting bagi mereka untuk paham satu sama lain, maka ia memutuskan membawa Redd kedunianya. Mencoba untuk berkuda sejenak dan menikmati waktu bersama.
"Ini hanya berkuda."
"Hanya?!" pekik Redd kesal. "Aku sudah bilang aku benci berkuda! Apalagi berkuda denganmu. Ini gila, aku berkuda dengan seorang maniak."
Richard menaikkan sebelah alisnya, "Maniak ya?"
"Ya! Jelas sekali."
"Baik," Richard bersedekap. "Karena aku maniak maka akan sah saja kalau aku memaksa untuk menciumu di sini, ya kan?"
"Apa-apaan itu?"
"Kau bilang aku maniak."
Redd melengos. "Cium saja. Memangnya aku takut?"
Raja itu menyeringai berbahaya dan dengan cepat meraih tangan Redd, memutarnya lekas untuk kemudian mendekapnya erat dalam rengkuhannya. Membuat wanita itu langsung memekik luar biasa panik.
"Apa yang kau lakukan Alexader!?"
"Kau bilang tadi cium saja,kan?
"
Redd mendelik, "Apa kau sudah gila!" ia menoleh ke kanan dan kiri. "Ada banyak orang di sini!"
"Bukannya tadi kau bilang tidak takut?" tanya Richad datar.
Redd mendengus kesal dan mulai memberontak, ia memukuli dada Richard dengan wajah memerah; astaga, Demi Tuhan mereka sekarang sedang berada di istal kerajaan, dan ada banyak pelayan di sini. Ia bahkan bisa melihat bahwa beberapa pelayan bahkan saling berbisik sembunyi-sembunyi.
Ini memalukan, astaga.
Richard menatap datar pada Redd yang masih sibuk bergerak dan memberontak. Lantas dengan cepat ia menarik Redd dan menaikkan wanita itu ke atas kuda. Raja Muda itu menyusul kemudian dan duduk di belakang Redd, tangannya terjulur untuk meraih kekang dan ia bisa merasakan wanita di depannya menengang.
"Ap,apa yang kau lakukan sialann!!!"
"Jangan berteriak," ucap Richard. "Ada banyak orang di sini."
"Siapa peduli?!"
Richard mendesah dan menarik kekangnya pelan, membuat kuda itu meringkik dan membuat Redd terlonjak di tempatnya.
"Demi Tuhan," wanita itu berucap nyaris merengek. "Jangan jalankan makhluk ini, aku tidak mau."
"Dia tidak akan melakukan apapun," ucap Richard. "Ini Ohio kuda faforitku, dia ramah."
"Aku tidak mau tahu," desis wanita itu sengit. Wajahnya menoleh dengan ekspresi kesal walaupun Richard tahu matanya berair karena ketakutan. "Turunkan aku dari sini!"
"Tidak, aku sudah bilang hari ini kita akan berkuda."
"Kenapa kau egois sekali!?" Redd mencebik. "Jika ini agenda saling mengenal, harusnya kau bersikap baik bukan memaksa begini!"
"Ini bukan pemaksaan," Richard mendesah lelah. "Aku mengajarimu."
Ratu Chevailer itu sudah nyaris membuka mulut untuk berdebat lagi, namun ia langsung memekik dan meraih legan Richard saat kuda itu mengangkat kedua kakinya.
"Lihat," Redd merengek. "Ini bahaya. Dia mau membunuh kita."
"Ohio tidak akan membunuh siapapun. Astaga."
"Bisa saja," ucap Redd jengkel. "Jika pemiliknya psikopat tidak menutup kemungkinan peliharaannya juga."
"Jadi kau bilang aku ini psikopat?" tanya Richard tidak percaya.
"Kapan aku bilang begitu?"
Raja itu memandang jengkel pada Redd, dengan mulut terkantup rapat ia meremat kekang kuda dan menyentaknya. Membuat kuda itu mengikik dan langsung berlari.
"Apa yang kau lakukan Alexander!!
"
Richard mengacuhkan Redd yang berteriak dan memacu kuda itu keluar dari gerbang istal. Dengan kecepatan yang bertambah Raja itu menerobos hutan di belakang istana, ia tertawa saat mendengar omelan teredam Redd, tanpa belas kasihan raja muda itu menambah kecepatan kudanya. Beberapa ranting dan dahan menabrak mereka, yang kemudian akan langsung direspon Redd dengan hataman keras di punggung Richard. Sesaat kemudian laju kuda itu mulai memelan, dan udara pagi mulai berhembus pelan ke arah mereka.
"Apa kau benar-benar tidak mau mendongak?" tanya Richard pelan.
Diam.
"Redd? Aku bertannya padamu."
Ratu itu menggerutu dan mendongak dengan enggan. Ia menatap Richard bertannya dan Richard menaikkan alis sebagai respon.
.
"Kenapa kau melihatku seperti itu?"
"Kenapa kau melihatku seperti itu juga?" balas Redd sengit.
"Apa kau akan bersikap menyebalkan lagi?" tanya Richard datar.
"Kapan aku bersikap menyebalkan?" Redd menjawab sewot. "Ini semua adalah ulahmu coba kau tidak memulai maka aku pasti akan-,"
"Akan apa?" Richard bertannya pada Redd yang tiba-tiba terdiam.
Ratu itu memilih untuk mengacuhkan pertanyaan Richard saat kakinya merasakan gesekan halus yang bergerigi, dan secara spontan ia melihat ke bawah.
Bunga Lavender.
Redd nyaris meloncat saat menyadari melihat hamparan bunga lavender ungu disekitarnya. Bunga-bunga itu tengah mekar dan bunga itu terus bergerak mengikuti arah angin; membuat gelombang raksasa ke kanan dan kiri. Redd tidak tahu dimana batas dari lahan lavender ini, yang jelas ia seratus koma seratus persen melupakan bahwa beberapa saat yang lalu ia tengah marah dan nyaris membunuh orang.
"Ada taman lavender di sini?" pekik wanita itu kagum.
"Ya," Richard diam dan untuk sesaat ekspresinya berubah, sebelum ia kemudian menghela nafas. "Milik ibuku."
Redd terdiam begitu mendengar ucapan Richard, ia kemudian menoleh untuk meraih rahang pria itu dan mengecupnya pelan. "Tidak apa, kita bisa putar balik. Aku pikir ada taman bunga lain bukan di hutan ini?"
Richard menelengkan kepala, "Kenapa harus putar balik? Apa kau tidak mau turun?"
"Bukankah kau bilang taman ini milik ibumu?" ulang Redd. "Jika itu menganggumu ayo kita pergi saja."
Richard menghela nafas. "Astaga Redd, jangan membatasi kesenanganmu karena ibuku. Itu tidak penting."
Redd mengerutkan kening mendengar kalimat Richard, ia mengikuti gerakan raja itu saat turun dari kuda dan memekik pelan saat Richard meraih pinggangnya dan menurunkannya di tanah.
"Sekarang bersenang-senanglah, tempat ini sangat luas. Ada sebuah pondok di ujung taman lavender ini," Richard menunjuk ke le arah barat. "Kita akan menemukannya jika kita menerobos taman ini."
"Kau pernah ke sini?" tanya Redd antusias.
"Ini milik ibuku," Richard menjawab dengan nada yang dipanjangkan. "Jadi, ya. Aku pernah ke sini, aku bermain bersama James di sini dan ibuku. Dia suka dengan bunga, dan ia mengajariku filosofi dari berbagai macam bunga." Richard mengerutkan kening. "Tapi aku melupakannya setelah aku tahu kebohongan ibuku. Aku tidak pernah kemari lagi setelah itu."
Redd berbalik menghadap Richard, "Lalu kenapa kau mengajak aku ke sini? Jika kau bahkan tidak mau kemari?"
Raja Chevailer itu mengalihkan pandang ketika mendengar pertanyaan Redd. "Aku pikir," ia berdeham. "Wanita menyukai hal ini."
Redd tersedak kecil dan mengulum bibir menahan tawa, lekas ia dengan cepat berbalik untuk mencegah dirinya terbahak. Redd memetik sekuntum bunga lavender dan menarik nafas. "Baiklah," wanita itu menarik nafas. "Kita bersenang-senang sekarang!"
Redd merentangkan tangannya lebar dan mulai berlari menerobos ladang lavender. Richard sendiri tersenyum tipis, ia menarik Ohio ke sebatang pohon dan mengikatnya; setelah itu ia melangkah di belakang Redd perlahan. Mengamati wanita itu lamat-lamat. Redd terlihat bercahaya dalam pandangan Richard, wanita itu hari ini memakai dress biru langit berlengan pendek. Rambutnya di ikat kuda berantaan dan sinar matahari pagi yang menimpanya entah bagaimana tampak menakjubkan.
Bagi orang lain itu mungkin biasa, tapi bagi Richard itu adalah keindahan. Luar biasa, itulah yang namanya dimabuk cinta.
"Kemari Alexander," Redd melambai dengan semangat pada Richard di belakangnya. "Lihat yang aku temukan di sini."
Raja itu melangkah mendekati Redd, dan wanita itu langsung membuka telapak tangannya begitu Richard tiba.
"Aku menemukan burung," bisik wanita itu sambil menunjukkan burung kecil berwarna merah dan hijau.
"Dia terluka?" tanya Richard saat menyadari bahwa sayap burung itu agak membengkok.
"Mungkin," Redd mengerucutkan bibir.
"Bagaimana cara kita menyembuhkannya?"
"Kita bisa ke pondok sekarang untuk mengobatinya."
Redd menelengkan kepala, "Apa pondoknya masih jauh?"
Richard berjinjit dan melihat jauh ke depan, "Tidak juga,-" Pria itu meraih bahu Redd dan memutarnya. "Kau lihat dua cemara raksasa itu?" tanyanya sambil menunjuk pucuk cemara yang menjulang di antara lebatnya ladang dan pohon. "Itu adalah pintu masuk pondok."
"Itu dekat," Redd berdecak antusias.
Wanita itu berlari melewati ladang sambil berteriak kepada Richard agar cepat mengikutinya dan Raja itu hanya menggeleng dan mulai melangkah dengan perlahan. Mereka sampai di pondok beberapa saat kemudian, dan Redd berhenti untuk terpana pada tempat itu sesaat.
Pondok itu terbuat dari kayu berwarna coklat muda yang dipelitur mengkilap. Bentuk pondok itu sederhana, atapnya segitiga dengan bentuk bangunan L. Ada teras sempit yang diberi pagar dan berisi sebuah kursi santai. Di depan teras itu ada tangga rendah yang di kanan kirinya di hias dengan batu yang ditumpuk ke atas.Bagian depan pondok itu terbuat dari kaca bening yang langsung menunjukkan bagian ruang tengah yang berisi sofa panjang beludru hitam dan perapian marmer.
"Ini sungguhan pondok terpencil di tengah hutan?" tanya Redd kagum.
"Sudah aku bilang ini milik ibuku," jawab Richard sekenanya. "Bahkan walaupun tak ada yang datang kemari, tempat ini akan selalu dibersihkan dua minggu sekali oleh pelayan khusus."
Redd manggut-manggut dan mulai berjalan masuk ke pondok. "Astaga,"Redd mendongak ke atas sambil melangkah. "Langitnya tiba-tiba mendung." Lantas ia kemudian terdiam di depan pintu pondok dan menatap Richard. "Bagaimna kita masuk?"
Richard melangkah ke arah kursi santai dan meraih pot bunga di sisinya. Tangannya menarik bunga plastik yang ditanam di sana dan ia mengeluarkan kunci perak dengan gantungan tali coklat dari dalam pot. "Kunci darurat," ucapnya pelan.
Ia kemudian memasukkan kunci ke lubang kunci dan memutarnya. Terdengar suara nyaring sesaat dan tangan pria itu membuka kenop pintu pelan. Bau lemon dan bunga langsung menyerang begitu Redd masuk ke dalam rumah. Ia berdecak melihat ada sebuah rak raksasa di sisi tembok yang berisi bunga yang telah dikeringkan dan disimpan dalan kotak kaca. Ada post in di dalam kaca yang menunjukkan nama bunga dan filosofinya, selain itu juga ada keterangan mengenai asal dan macam-macam warna bunga itu sendiri.
"Apa ibumu yang membuat benda ini?" tanya Redd kagum.
Wanita itu sibuk mengamati sementara Richard melangkah ke ruangan lain untuk mencari obat. "Ya," jawab pria itu sambil masuk ke dalam dapur.
Tak lama kemudian ia berjalan mendekat dengan sebuah kotak P3K.Ia mengambil burung itu dari tangan Redd dan bersila di lantai. Ia meletakkan burung itu di kakinya dan mulai membuka sayap burung itu pelan.
"Apa itu parah?" tanya Redd khawatir
.
"Tidak," Richard mengguman. "Ini hanya luka biasa."
Dengan cekatan ia meraih betadine dan cairan yang tidak Redd tahu namanya. Ia meraih perban dan membebat sayap burung itu perlahan. Bibir Redd membulat, kagum dengan segala ketenangan Richard dalam mengobati.
"Kau pandai meyembuhkan binatang."
"Aku sering melakukannya dulu," ucap Richard tenang.
Wanita itu membeo dan tersenyum lebar saat Richard menyerahkan burung itu dan membereskan peralatannya. Ia bangkit dan mengelus burung itu pelan. Redd tersentak pelan saat tiba-tiba saja suara gemuruh air hujan terdengar dan tetesan air yang deras langsung menghantam dinding kaca pondok.
"Kenapa bisa hujan begini," Redd cemberut dan menangkup burung itu dalam tangannya. "Lihat, hujannya deras sekali. Untung tadi aku menemukanmu burung kecil," wanita itu tertawa gembira saat burung itu membuka paruhnya pelan. "Aku akan namai kau Rain, itu artinya hujan," ia terkikik. "Richard aku boleh bawa dia pulang ke istana kan?"
Hening.
"Richard?"
Redd mendongak saat Raja itu tidak menjawab pertanyaannya sama sekali dan ia melihat bahwa raja itu terdiam di tembok dekat ruang tengah. Tanganya masih membawa kotak P3K dan tangan lain tergenggam erat.
"Richard?"
Redd mendekat ragu, "Ada apa?"
"Beraninya dia?" bisik Richard geram.
"Apa?"
Raja muda itu mengacuhkan pertanyaan Redd dan menjatuhkan kotaknya ke lantai dengan keras, ia kemudian meraih pigura di tembok dan membantingnya kasar. Redd memekik dan meloncat mundur, matanya terbelangak dan ia mengkeret ketakukan ke sisi tembok.
Demi Dewa, bung. Apapun yang terjadi pada Richard, ia jelas tidak mau mati di sini.
"Richard?"
Seolah belum cukup pria itu kemudian menghantamkan tinjunya pada pigura yang lain; disusul bantingan pigura lain yang makin membuat Redd merasa tengah bermain film pembunuhan. Wanita itu tersedak saat melihat darah menetes ke lantai, tanpa pikir panjang ia menaruh burung itu di bufet sampingnya sebelum kemudian berlari ke arah Richard. Ia meraih tangan pria itu panik.
"Kau baik-baik saja?"
"Menjauh," desis Richard marah.
"Tapi tanganmu terluka," ucap Redd.
Pria itu mengibaskan tangannya saat tangan Redd meraihnya. "Aku bilang menjauh!" bentak Richard.
"Aku tidak mau!" Redd balas membentak.
Richard menatap Redd tajam dan berlalu pergi namun dengan cepat wanita itu mengikutinya. Richard masuk ke dalam kamar mandi kemudian dan menghidupkan keran di wastafel untuk membasuh tangannya. Redd berdiri sejenak di pintu kamar mandi, lantas ia berjalan cepat dan meraih lengan Richard lagi.
Tanpa bicara Richard mengibaskan tangannya, menolak Redd.
"Jangan," ucap Redd sambil meraih tangan Richard lagi.
Richard mengibaskan tangannya lagi.
"Richard!!"
Seolah tuli raja itu terus menolak tangan Redd yang mencoba membatunya. Ia memandang wanita itu tajam. "Aku bilang menjauh!"
"Aku tidak mau."
"Menjauh brengsek!"
"Tapi tanganmu terlukaa!!"
Teriakan keras Redd membuat keadaan hening, hanya terdengar helaan nafas marah yang bersahutan; dan Redd memanfaatkan keheningan ini dengan mencoba sekali lagi menyentuh lengan Richard. Yang sekali lagi langsung dikibas pria itu dengan keras.
"Menjauh," Richard berbisik lagi.
Redd mendengus dan mengacuhkannya. Ia mencengkeram lengan Richard tanpa takut. Seperti yang awal, Richard menolak kembali.
"Aduh,-"
Wanita itu berjengit saat kibasan tangan Richard kali ini tanpa sengaja mengenai pipinya, ia mengelus pipinya yang terasa perih dan menggigit bibir. Rasanya sakit ia bersumpah, tapi tangan Richard adalah prioritasnya. Jadi ia meraih lengan Richard sekali lagi, kali ini ia menggengamnya erat-erat.
"Aku tidak menerima penolakan kali ini."
Richard tertegun, berdiri kaku di tempatnya. Ia terkejut karena telah mengenai wajah Redd, pria bahkan masih termanggu saat tangannya di bawa lagi ke bawah kucuran air. Kali ini oleh tangan lain yang tidak bisa ia tolak. Ia melirik ke arah Redd, melihat ke pipi wanita itu yang kini tampak memerah. Raja itu menunduk dalam, ia mengerutkan kening dan mengatupkan bibirnya.
"Apa ini masih sakit?" tanya Redd pelan.
"Maaf," bisik Richard.
"Aku tidak bertannya tentang itu."
"Maaf."
"Aku tidak butuh permintaan maafmu."
"Maaf."
"Richard!" Redd menghela nafas dan menoleh.
Richard masih menunduk dalam dengan wajah menyesal. Redd kemudian meraih handuk putih yang terlipat di dekat bathup kamar mandi, ia meraih tangan Richard dan membebatnya.
"Aku pikir kau akan pingsan kehabisan darah jika kita memaksa kembali ke istana."
Redd menoleh ke kanan dan kiri sebelum menyeret Richard ke ruang tengah, ia kemudian mendudukkan pria itu di sofa hitam dan berlari ke lorong untuk meraih kotak P3K yang tadi dibanting oleh Richard ke lantai. Redd menaruh kotaknya di meja dan membukanya, ia terdiam selama beberapa saat memandangi isi kotak. Lalu dengan sigap ia meraih pinset dan alkohol. Redd berhati-hati membuka balutan tangan Richard, ia melirik Richard yang masih menunduk dan menarik nafas.Ia menyiram pinset dengan alkohol sebentar, lalu meraih tangan pria itu.
"Aku akan mengambil pecahan kacanya oke," ucap Redd. "Katakan jika kau kesakitan."
Dengan tangan gemetar Redd menarik kaca yang tertancap di tangan Richard dengan pinset, pria itu memasang wajah datar. Berbanding terbalik dengan Redd yang menahan rasa mual dan gelenyar geli yang merambati punggungnya. Dengan kening bekerut dalam, wanita itu menarik pecahan kacanya satu per satu dan menaruhnya di atas lengan sofa. Ia kemudian meraih kapas untuk membersihkan darahnya dan mula menutupnya dengan perban.
"Ini sudah selesai," ucap Redd pelan.
"Maaf."
"Richard."
"Maaf, karena aku melukaimu."
Redd menghela nafas lelah, "Aku tidak butuh permintaan maafmu. Aku mau tahu apa kau baik-baik saja."
Raja itu diam.
"Richard?"
"Aku baik."
Wanita itu menghela nafas lagi, "Dimana letak kamarnya?"
"Kamar apa?"
"Kamar tidur."
"Tidak ada kamar tidur di sini," ucap Richard.
"Lalu bagaimana kau bisa istirahat?" tanya Redd bingung. "Kita tidak bisa kembali ke istana dengan tangamu dan hujan menyebalkan ini."
Ratu Chevailer itu mencebik saat Richard kembali diam tanpa suara, ia kemudian mulai membuka laci-laci bufet ruang tengah; dan ia bersorak saat melihat ada setumpuk selimut dan bantal kotak kecil yang di tata dalam almari dekat perapian. Dengan cepat Redd mengambil benda itu dan melemparnya ke karpet bulu di dekat sofa. Ia berbalik dan langsung berlari ke arah Richard, pria itu menatapnya heran tapi Redd hanya tersenyum dan mendorong bahu Richard untuk berbaring.
"Apa?"
"Berbaring dan istirahat sekarang," potong Redd cepat ."Aku sudah menemukan selimut."
"Ini masih pagi," tolak Richard.
"Jangan keras kepala," Redd mendengus.
"Dengan lukamu ini aku meresmikan saat ini sudah pukul malam hari."
Raja muda itu menaikkan seelah alis.
"Menurut saja padaku," rengek wanita itu.
Richard menghela nafas dan nenurut. Redd tertawa senang karenanya, dengan cepat Ratu itu meraih bantal dan selimut; ia menata bantal untuk dijadikan sandaran dan membentangkan selimut di atas tubuh Richard. Beruntunglah sofa itu panjang, sehingga Richard bisa meluruskan kakinya. Redd kemudian meraih pecahan kaca di lengan sofa dan menaruhnya ke dalam plastik yang ia temukan dalam kotak P3K.
"Aku akan membuang ini."
Wanita itu bangkit berdiri dan berjalan ke dapur kecil yang ada di dekat lorong. Ia melempar kaca ke cucian piring dan membuka semua lemari dan laci untuk mengecek apakah ada makanan. Tapi ia menyerah saat ia tak bisa menemukan apapun selain teh, gula dan biskuit yang sudah kadaluarsa.
Redd kemudian berjalan ke arah lorong tempat Richard membanting seluruh pigura di dinding tadi. Langkahnya menjinjit, berusaha menghindari pecahan kaca yang masih berserakan. Ia kemudian berjongkok dan melihat ada empat pigura yang sudah hancur di lantai. Pigura tadi ada yang hanya hancur kacanya dan ada yang hingga patah, mengacuhkannya; Redd memilih untuk memunguti foto yang tersebar di sekitar pecahan.
Ada lima foto.
Wanita itu berdiri dan menyandar ke dinding di belakangnya. Ia kemudian melihat foto pertama, itu adalah foto keluarga dan ia bisa menebak jika itu adalah foto keluarga Richard. Ada mendiang Raja terdahulu-ayah Richard-yang memakai baju militer yang mirip dengan milik Richard di pernikahan mereka, pria itu berdiri di kanan. Wajah pria itu tampak berwibawa dan rambut coklatnya di sisir kebelakang dengan rapi. Sebuah mahkota terpasang di atas kepalanya. Tepat di sebelahnya ada seorang wanita dengan rambut hitam dan mata abu-abu yang ceria. Walau dalam pandangan Redd, mata itu menyimpan suatu hal yang ditutupi.
"Ini pasti ibunya," bisik Redd pelan.
Redd bertaruh wanita itu cantik, sangat cantik. Badannya mungil dan rambutnya dikepang dengan hiasan bunga dari pangkal kepang hingga ke ujung, ada sebuah tiara terselip di atas rambutnya. Wanita itu berfoto dalam posisi duduk dan ada seorang bayi lelaki yang mungkin baru berumur sekitar dua tahun, bayi itu memakai jas berwarna biru tua dan berambut coklat. Redd menebak itu adalah Mendiang Pangeran James.
Matanya kemudian bergulir untuk menemukan sosok anak lelaki lain, Richard kecil. Wajahnya sudah tampak dingin dan arogan, apalagi jas hitam yang dipakainya menambah kesan mewah yang tampak jelas pada dirinya. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Redd, melainkan ekspresi gembira dan bahagia yang terpancar jelas melalui senyumnya. Ekspresi yang tak pernah ia lihat ada pada Richard selama ini. Ia kamudian membaca catatan yang terletak di bawah foto itu.
Arsene, Chevailer. 1995. King Heinry. Queen Luna. Prince Richard. Prince James.
"Ah," Redd menghitung dalam hati ."Usiamu baru lima tahun difoto ini ternyata."
Wanita itu kemudian melihat foto lain. Kali ini adalah foto ibu Richard bersama seorang pria dan anak lelaki di pantai. Pria itu punya rambut pirang dan mata hijau cerah, pria itu merangkul ibu Richard dan anak lelaki yang sangat mirip dengan pria itu memeluk kaki ibu Richard dengan wajah gembira.
Redd mengerutkan kening, "Siapa ini?"
Ia kemudian melihat tiga foto lain, foto itu terdiri dari foto James dan Richard kecil di sebuah peternakan. Sementara dua foto lain adalah foto anak lelaki yang ada di pantai namun kali ini ia memakai seragam sekolah dan foto ibu Richard dengan anak itu di sebuah ruang makan.
"Apa ini selingkuhan ibu Richard dan anaknya?" bisik Redd pelan. "Pantas ia marah sekali."
Ratu itu memutuskan untuk menaruh foto itu di bufet sampingnya, tepat di sisi burung kecil yang tadi ia tinggalkan. Burung itu tampaknya tertidur jadi Redd mengelus bulunya pelan dan berjalan ke dapur lagi untuk mengambil sapu. Selama beberapa menit berikutnya wanita itu sibuk membersihkan lorong, ia kemudian mengumpulkan pecahan kaca dengan hati-hati ke dalam kantong plastik dan menaruhnya di sudut dapur. Dengan langkah perlahan Redd kemudian menuju ke ruang tengah lagi, dan menemukan bahwa Richard sudah tertidur di sofa dengan lengan yang menutupi mata.
Hujan masih menggila di luar, jadi Redd memilih duduk meringkuk di karpet. Ia meraih bantal dan selimut, melingkarkan lengan di sekitar tubuhnya.
"Apa kau kedinginan?"
Redd tersentak mendengar pertanyaan yang disuarakan dengan serak itu. Ia menoleh ke belakang, menemukan Richard berbaring dan menatap ke arahnya.
"Kenapa kau bangun?"
"Aku tidak tidur sedari tadi," jawab Richard tenang. "Apa kau kedinginan?"
"Tidak," ucap Redd tenang. "Aku hanya tidak suka," matanya menatap ke arah jendela, yang menampakkan pemandangan hutan yang gelap karena mendung dan hujan deras. "Hutannya jadi menakutkan."
"Kau bisa menutup tirai jendelanya," Richard berucap. "Ada saklar di samping perapian, itu digunakan untuk menutup tirainya. Lampu pondok akan otomatis menyala jika tirainya ditutup."
Redd menoleh sesaat pada Richard, lalu bangkit dan menekan saklarnya cepat. Redd sudah akan duduk lagi, saat tangan Richard yang tidak terluka terulur padanya.
"Apa?" tanya Redd heran.
"Kemarilah," jawab Richard. "Tidur bersamaku."
Redd memandang tidak yakin pada Richard yang menepuk ruang kosong sempit di sisi sofa. "Aku tidak akan jadi maniak," ucap pria itu saat menangkap pandangan Redd.
"Aku tidak yakin."
"Aku tidak mau berbuat aneh-aneh saat terluka. Aku jadi agak lemah asal kau tahu." Pria itu tersenyum tipis. "Aku lebih suka melakukannya saat sehat, jadi bisa mendominasi."
"Dasar Cabul."
"Terserah," ia mengedikkan kepala. "Kemari, aku mau menayakan sesuatu padamu."
Wanita itu akhirnya dengan enggan menurut untuk tidur di sisi Richard. Sofanya agak sempit jika dipakai berdua, membuat Redd harus berbaring ke samping; dan ia memilih untuk berbaring membelakangi Richard.
Ia memandang jendela yang tertutup oleh tirai warna kulit. Ia bisa merasakan lengan Richard memeluk pinggangnya dan nafas pria itu di kepalanya. Sekali lagi untuk alasan yang tidak ia tahu, Redd merasa begitu nyaman.
"Apa aku boleh memelukmu seperti ini?" bisik pria itu.
"Kenapa tidak?"
"Karena kau akan marah."
"Jika aku marah karena suamiku memelukku, namanya aku gila."
Richard tertawa mendengar ucapan itu dan mengecup kepala Redd lembut.
"Kau hangat," Richard mendengkur layaknya kucing. "Aku menyukainya."
"Aku tahu."
"Dan aku minta maaf."
"Alexander, sekali lagi kau mengatakan maaf aku aka mengusirmu keluar," Redd berucap jengkel. "Tadi kau sedang marah, dan itu tidak disengaja."
"Tetap saja itu salahku."
"Richard?"
"Baikalah, baik. Tapi aku akan tetap minta maaf karena sudah menghancurkan hari ini," pria itu diam. "Harusnya hari ini akan jadi menyenangkan. Tapi aku merusaknya."
"Bukan salahmu, ini salah hujan." ucap Redd cuek.
Richard tertawa parau. "Aku marah dengan foto itu."
"Foto ibumu?"
"Ya. Dengan selingkuhan dan putranya."
"Aku melihatnya tadi saat membersihkan, apa kau keberatan?"
"Tidak," Raja itu menggeleng. "Akan bagus kalau kau melihatnya, jadi kau tahu jika ia sebenarnya sangat menjijikan."
"Dia ibumu."
"Aku tidak punya ibu," bisik pria itu.
Redd menghela nafas, ia lalu berbalik menghadap Richard.
"Kau bisa tersenyum bahagia di foto keluargamu saat usiamu lima tahun," bisik Redd sambil membelai wajah Richard. "Tapi sekarang senyum itu hilang dari wajahmu."
"Waktu itu aku masih bodoh. Aku tersenyum karena aku pikir semuanya baik-baik saja, tapi setelah segala hal yang terjadi senyum itu memang harus lenyap."
"Kau harus mengembalikan senyum itu Alexander."
"Aku tidak yakin," pria itu menunduk dan menatap Redd dalam.
Bibirnya kemudian mencari milik Redd, dan ia memberikan pangutan lembut yang dibalas Redd dengan sukarela. Tanganya menarik Redd lebih dekat, sebelum melepas kecupannya dan menyembunyikan wajanya di leher Redd.
"Aku terlalu mati rasa untuk tersenyum bahagia," bisiknya.
Redd tersenyum tipis, ia membelai rambut kelam Richard dan menarik pria itu dalam pelukannya. Ia tahu jelas, bahwa pria dipelukannya ini akan menjadi pria yang sulit baginya. Dalam benaknya, pemikiran bahwa mereka menikah atas dasar kontrak telah lama sirna. Sejak awal ia bersumpah di altar, ia berhenti berfikir bahwa pria dipelukannya ini bukanlah orang asing atau suami kontraknya. Sejak awal ia lebih memilih untuk menjadikan pria ini suaminya yang sesungguhnya.
Untuk dirinya.
Walau ia tahu akan sulit, ia ingin berusaha. Menjadi dunia baru bagi pria ini dan sekarang ia juga ingin menjadi hal yang akan membawa pria ini bahagia lagi. Ia bersungguh-sungguh.
"Aku akan membuatmu tersenyum lagi Richard, tersenyum seperti waktu itu." Redd menarik nafas. "Aku akan membawamu kepada kebahagiaanmu, aku akan melakukannya. Apapun caranya, aku akan memberikannya untukmu."
"Aku berjanji padamu."
Keadaan menjadi hening sesaat kemudian. Sampai Richard memecah kesunyian itu.
"Kau berjanji terlalu besar," ia berbisik sambil tetap tenggelam di leher Redd. Berusaha menyembunyikan senyumnya yang merekah. "Tapi, ya. Aku percaya padamu."
°°°
di suatu tempat.....
Seorang pria dengan rambut pirang duduk di sebuah kursi beludru merah yang berada di tengah ruangan. Pria itu duduk dengan sebatang rokok di tangannya dan dua orang wanita di pangkuannya. Dua wanita itu memakai gaun minim yang menonjolkan bentuk tubuh mereka, dan dengan cara murahan mereka memainkan tangan di badan pria itu.
Tak lama pintu ruangan itu terbuka, kali ini seorang wanita lain masuk bersama dua orang pria. Wanita itu punya tubuh tinggi semapai, ia memakai gaun cocktail berwarna hitam dan rambutnya yang keemasan tergerai lembut dan ia mengkerutkan kening saat bau tembakau dan alkohol menyerang hidungnya.
"Apa yang aku katakan tentang minuman dan rokok brengsek?" ucap wanita itu kesal.
"Banyak," ucap pria itu sambil merentangkan tangan. "Keluarlah ladies," bisik pria itu dengan senyum menggoda. "Kita lanjutkan ini sebentar lagi."
Dua wanita di pelukannya bertukar pandang, dan bersama-sama mereka berjalan keluar ruangan.
Kali ini ruangan itu hening dan hanya terdengar petik rokok yang dipadamkan di asbak. Wanita tadi duduk di sofa tepi ruangan, seorang pria yang wajahnya tampak kekanakan mengikutinya untuk duduk. Sementara pria lain mendekati lelaki di kursi beluru.
"Tuan," pria itu berucap. "Semua rencana kita akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat."
Pria yang dipanggil tuan itu menelengkan kepalanya, "Begitukah?"
"Ya." pria itu menjawab lagi.
"Kita bisa mulai dalam waktu dekat," wanita berambut keemasan berucap. "Aku dan anak ini," ia melirik pria dengan wajah kekanakan.
"Akan memulai langkah pertamanya."
Pria di kursi tersenyum timpang. "Kalau begitu ini adalah kabar gembira yang menyenangkan. Kita akan segera mengucapkan apa kabar pada Raja Richard kita setelah ini. Aku harap ia menyambut kita dengan antusias."
....
©Galaxypuss2020
Aku baca ulang beberapa ch dan sejujurnya merasa lucu. Book ini aku tulis jaman aku masih SMA dan gaya penulisanku masih aneh banget, kalau kalian baca karyaku di wp pasti bisa lihat perbedaan antara ini dan cerita2 ku yg lain.
But since cerita ini udah begitu lama dan legend, aku memutuskan untuk buat ini apa adanya. Ada bagian2 yang emang aku ganti, cuma sedikit tapi karena aku ingin mempertahankan ciri khas cerita ini. Walau buat aku aneh dan memalukan wkwk, tapi kita biarkan aja kaya gini.