Redd mengeluarkan erangan pelan dari mulutnya, wanita itu menggigit bibir bawahnya kuat saat ia mulai merasakan sakit di bagian bawah tubuhnya; tangannya meremas sprei kuat-kuat hingga kusut dan keringat membuat wajahnya mengkilap.Richard sendiri menatap wanita itu dalam diam, mengamati reaksinya lekat-lekat, tangan pria itu terus bergerak dengan lembut tapi kuat; berusaha mencari titik yang tepat dengan cepat. Redd menutup matanya erat, tidak kuat menahan rasa yang bergelombang; yang membuatnya tidak bisa menahan dirinya untuk berteriak pada akhirnya.
"Apa ini sakit?" bisik Richard.
"Ya tentu saja! Ini sakit sekali!!"
Berhenti. Stop. Pause. Tunggu dulu. Apa yang terjadi sini?
Mari kita lihat, jangan sampai berpikir negatif kepada orang lain. Pengantin baru kita bukan sedang melakukan sesuatu dalam tanda kutip, mereka hanya sedang berusaha untuk saling tolong menolong dalam kebaikan.
Redd tengah duduk di tepi ranjang, kaki gadis itu terjulur pada Richard yang duduk di bawahnya. Bagian bawah tubuhnya, yaitu kakinya. Tampak membiru; bengkak karena ia nyaris jatuh saat tengah berjalan menuju mobil sesaat setelah upacara pernikahan selesai. Richard tahu wanita itu menahannya seharian ini, jadi saat pada akhirnya mereka beristirahat dalam kamar yang kini mereka berdua tempati ia menawarkan wanita itu sedikit pijatan.
Awalnya Redd agak ragu, tapi karena rasa sakitnya yang ia yakin akan membuatnya tidak bisa tidur; maka akhirnya ia setuju. Ia hanya tidak tahu, jika Richard sungguhan bisa memijat; yang mana langsung membuatnya berkeringat parah. Tadinya ia mau menahan sakitnya saja, tapi saat Richard menemukan sumber rasa sakitnya. Ia tidak bisa menahan diri untuk berteriak.
"Apa ini sakit?" tanya Richard pelan.
"Tidak lagi."
"Kenapa," Raja itu menghela nafas. "Kita selalu berada berdua di kamar dalam keadaan konyol seperti ini? Dulu anting, sekarang ini."
"Apa kau tidak terima!?" Redd mengomel. "Ini sakit sekali! Kenapa pula harus ada penutup gorong-gorong itu disana? Kau tahu, saat kau memakai sepatu hak tinggi, benda itu akan membuatmu terperosok!"
"Maaf aku tidak tahu," ucap Richard cuek. "Aku tidak pernah pakai hak tinggi dan tidak punya cita-cita untuk melakukannya."
Redd menghantam kepalan tangannya dengan keras ke kepala Richard, sukses membuat raja itu mengaduh dan mendelik tidak terima kepada Redd.
"Apa yang kau lakukan Mansen?!"
"Apa yang kau lakukan Alexander?!"
Richard mendecak, "Kau berani memanggil namaku!?"
"Tentu saja aku berani," Redd bersedekap. "Aku kan ratu sekarang."
"Apa kau mencoba menyalah gunakan kekuasaanmu?"
"Aku tidak," jawab Redd sekenanya. "Memangnya memanggil nama suaminya sendiri itu penyalahgunaan kekuasaan?"
"Iya, karena aku adalah Raja."
"Kalau begitu kau juga tidak boleh memanggil namaku sekarang. Karena aku adalah Ratu."
Richard menghela nafas lelah dan bangkit berdiri, memutuskan bahwa berdebat dengan Redd sama sekali tidak akan membawa hasil. Sebagai informasi, bahkan Richard yang seorang Raja; tidak sanggup melawan wanita itu jika sudah bicara.Pria itu kemudian mencoba membuka jendela kamarnya, dan menghela nafas saat ia tidak bisa sama sekali melakukannya; bukan tidak kuat, tapi karena ia tengah berada dalam Evo Room. Kamar khusus yang terletak di barat Arcene, yang digunakan selama berabad-abad sebagai tempat dimana malam pertama dilakukan.
Richard harusnya bisa menolak; mengingat bahwa dirinya adalah seorang Raja. Tapi dengan keberadaan Charlotte; ia angkat tangan, kemampuan memaksa wanita itu bahkan lebih hebat dari Lord Valdemort. Richard kemudian berbalik, menatap Redd yang masih mengurut kakinya dengan wajah sakit. Bahkan dari sini ia masih bisa melihat kaki gadis itu bengkak serta memar, dan Richard menggerutu saat ia tidak bisa menghilangkan rasa kasihannya.
Pria itu kemudian meraih sebuah nampan kayu di nakas yang berisi mangkuk kecil putih dan membawanya mendekat, Redd mendongak saat Richard di hadapannya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya wanita itu.
"Mengobatimu," jawab Richard sambil meraih mangkuk kecil berisi cairan warna merah bata.
"Tapi itu kan obatmu?" tanyanya heran. "Kenapa tidak kau minum? Charlotte memintamu meminumnya kan?"
Richard menghela nafas sambil meraih pergelangan kaki Redd, dengan perlahan ia menuang cairan itu dan menggosoknya. Membuat Redd meringis lagi.
"Bagaimana rasanya?" tanya Richard. "Panas kan?"
Redd mengangguk, "Obat apa ini?Kenapa dia bisa sepanas ini?"
"Obat ini mengandung bisa ular, ekor belut dan bahan tradisional," ucap Richard.
"Aku tidak tanya itu, aku bertanya apa fungsinya dan kenapa rasanya pan-"
"Ini obat perangsang bodoh."
"... panas sekali. APA?"
Richard mendongak menatap Redd yang duduk di tepi ranjang, alisnya naik sebelah dengan tatapan aneh. "Ini obat peransang, ini bahan tradisional. Bahan obat ini banyak berada di kepulauan tempat Kastil Bevait, kau benar-benar tidak tahu? Padahal obat ini bahkan hanya dibuat di sana secara khusus."
"Mana aku tahu," Redd memalingkan wajah merahnya dengan cepat. "Aku tidak pernah ikut campur dalam urusan dapur."
Richard menaikkan alis. "Lalu apa yang kau lakukan selama ini di Bevait? Apa kau cuma makan gaji buta saja?"
"Gaji buta apanya?" tanya Redd jengkel. "Aku bahkan tidak dibayar di sana?"
"Tidak?"
"Tidak sama sekali," Redd menggeleng. "Yang penting aku tinggal di sana."
"Berarti kau makan tempat tinggal buta."
"Jangan konyol Alexander."
Richard mengerutkan kening karena Redd menyebut namanya lagi, namun ia mendiamkan saja pada akhirnya karena bagaimanpun wanita itu bisa memanggilnya begitu dengan posisinya sebagai ratu. Raja muda itu melanjutkan kegiatan memijatnya dengan perlahan, sebelum membuka mulut untuk bertannya.
"Jadi, bagaimana kehidupanmu?"
Redd menatap Richard bingung. "Kehidupan apa maksudmu, sir?"
Richard mengehela nafas. "Kehidupan yang aku maksud adalah seperti apa masa kecilmu, dan bagaimana kau tumbuh; kupikir sebagai suami-istri-bahkan walaupun itu hanya kontrak-kita harus mencoba mengenal satu sam lain."
"Aku tidak punya masa kecil," jawab Redd dengan tampang berpikir.
"Tidak punya?"
"Ya." Redd menjawab dengan nada dipanjangkan. "Aku dibuang orang tuaku di sebuah gereja di Vatikan."
"Wow." Richard berdecak tanpa sadar. "Kau, berasal dari Vatikan?"
"Entahlah ... " wanita itu mengangkat bahu. "Aku hanya ada di sana sejak usia lima tahun, yang aku tahu aku bersama dengan Leen yang waktu itu mungkin masih berusia enam bulan. Aku menghabiskan banyak watu di sana sampai usiaku cukup dewasa dan Leen kemudian salah seorang biarawati-yang aku lupa namanya-akan mendapat tugas mengabdi ke gereja di Chevailer, jadi dia membawa kami. Dia bilang kami berasal dari sana, dan dia bilang ini saatnya kami kembali; waktu itu aku hanya mengiyakan, tanpa tahu bahwa aku akan mengalami hal buruk dalam hidupku."
Mata Redd menerawang jauh, mengenang sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh Richard.
"Kami tiba di bandara, dan kemudian mencari kendaraan di jalanan Chevailer. Biarawati itu bilang, kami akan segera menuju gereja dan istirahat. Tapi," dia berhenti untuk mengambil nafas. "Segerombol orang menghampiri kami dan menyeret kami ke gang sempit; merek merampok kami. Biarawati itu sempat menolak, dan orang-orang itu mengancamnya lalu menusuknya. Biarawati itu menyuruh kami lari, jadi aku meraih Leen dan lari menjauhi gang. Aku takut, asing dan tidak tahu apa-apa; aku bahkan masih anak-anak. Aku hidup di jalan untuk beberapa bulan dan kemudian pindah ke panti asuhan terdekat karena Leen mulai sakit; aku harus mengemis, tidur di tepi jalan. Bahkan mencuri makanan saat terpaksa; tapi hari itu pencurianku ketahuan, dan seorang pedagang memukulku hingga aku tersungkur. Untungnya Bibi May melihat itu. Dia menolongku dan membawaku ke Bevait, jadi aku tinggal di sana mulai saat itu dan bekerja sebagai pelayan disana."
"Lalu bagaimana keadaanmu? Dan biarawati itu?" tanya Richard setelah hening yang lama.
"Aku tidak tahu," Redd menggeleng sedih. "Aku tidak pernah bisa kembali ke gang itu. Karena aku tidak tahu lokasi tepatnya." Richard menghela nafas saat Redd mulai menunduk dalam dengan telinga memerah, nafasnya pendek dan ada isakan yang terdengar. "Dia menyelamatkanku, dan aku tidak bisa menemukannya, aku bahkan tidak tahu," Redd mulai menangis. "Apa dia masih hidup atau tidak, apa dia mati dan dimakamkan atau membusuk di gang itu. Aku menyesal, karena tidak kembali dan menyelamatkanya."
Richard bangkit untuk duduk di sisi Redd, pria itu menarik Redd; mendekapnya dalam pelukannya. "Tidak apa-apa, menangislah."
"Tidak ingin menangis," wanita itu menolak. Namun air mata yang mulai keluar dari matanya berkhianat.
Raja Muda itu sama sekali tidak mengerti mengapa ia terkekeh geli karena hal itu, Richard tidak punya kenangan menyenangkan dengan wanita. Ibunya, wanita yang selama bertahun-tahun ia banggakan dan ia hormati; pergi untuk pria lain. Meninggalkannya dan menghancurkan ayahnya. Sementara wanita lainnya, yang pernah ia anggap sebagai rumah, yang pernah ia sumpah sebagai hidunya; pergi. Meninggalkannya terpuruk sekali lagi, membuatnya meludah di atas hal yang disebut dengan cinta. Tapi wanita dihadapannya sekarang seakan membuat dia tidak mengenal dirinya, ia seperti melayang; merasa bingung dengan keadaannya sendiri.
Tidak. Seharusnya tidak begini.
Tapi ia tidak sanggup menolak. Harusnya setelah kejadian di lorong Bevait, ia berhenti dan pergi saja, atau bisa saja ia menjadikan Redd sekedar permainan. Richard mungkin benci wanita, tapi ia tidak munafik untuk mengabaikan kebutuhannya. Ia tidak bertingkah suci, saat ada wanita menarik dan tepat yang bersimpuh meminta satu malam hebat bersamanya.
Bahkan Raja sekalipun, tetaplah seorang bajingan.
Tapi Raja itu bisa membangun batas yang aman, ia kemudian akan membuang wanita manapun yang pernah ada diranjangnya untuk semalam; tapi ia tidak ingin melakukannya pada Redd. Walau faktanya wanita itu tidak menikmati malam panas bersamnya. Ini aneh; dan Richard merasa bingung. Ia tidak paham kenapa ia membawa Redd ke kamarnya malam itu, melepaskan antingnya dengan lembut, menjatuhkannya ke ranjangnya dan lebih lagi menikahinya.
Tolong. Wanita ini sudah membuat dunia Richard jungkir balik.
"Kenapa kau tertawa!?" Redd berteriak jengkel.
"Karena kau konyol."
"Kau memang pria jahat Alexander!"
"Aku tahu," ucap Richard. "Terimakasih."
"Brengsek."
"Terimakasih," ucap Richard lagi. "Jadi Yang Mulia Ratu. Kau bisa tidur nyenyak sekarang."
"Aku tidak mau. Di sini panas sekali," Redd berkata sambil mengipasi lehernya. "Aku tidak tahu kenapa mereka harus menutup pintunya serapat itu. Charlotte bilang kau akan terbakar di sini, apa maksudnya itu? Lagipula apa kau tidak kepanasan?"
Richard menghela nafas. "Lelaki lain mungkin akan terbakar habis sekarang Mansen."
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu kenapa kau begitu lugu," Richard mengeluh frustasi.
"Apa aku salah? Aku kan hanya bertannya."
Redd bersedekap erat dan memalingkam wajah. Membuat Richard mendesah frustasi. Biar ia jelaskan, pertama, Richard itu lelaki normal. Lantas dalam situasi seperti ini, bagaimana bisa ia menahan diri? Diperjelas, dalam satu ruangan. Dengan seorang wanita, dan parahnya wanita itu tidak memakai jenis pakaian yang aman. Redd hanya memakai sebuah gaun tidur warna lemon tipis, yang hanya ditutupi oleh jubah warna nila. Bahkan dari jauh pun, Richard bisa melihat dalaman hitam yang dipakai Redd.
Ia sudah beruntung bisa mengabaikannya dengan kegiatan memijat kaki terkilir Redd, tapi ketika wanita itu tanpa sengaja mulai memancing ke arah pembicaraan yang berbahaya. Semua pikiran penuh dosa itu mulai kembali. Sial. Kadang ia benci dengan hormon laki-lakinya.
"Kenapa kau melamun?" tanya Redd sambil menepuk lengannya.
Richard tersentak sesaat, sebelum berdeham. "Aku pikir kau marah."
"Tidak jadi," Redd melengos. "Aku mau tidur di lantai saja, tolong tatakan selimut dan bantalnya."
"Kau memerintahku?" tanya Richard tidak percaya.
"Siapa lagi? Aku tidak mungkin minta tolong pada pelayan. Asal kau tahu Yang Mulia; jika bukan karena kakiku ini. Aku tidak akan minta tolong padamu."
Richard mendengus kesal, tapi ia meraih beberapa bantal serta selimut tebal di ranjang, untuk kemudian menggelar selimut itu di lantai, tepat di bawah jendela. "Sudah," Richard melambai. "Kemari."
Redd bangkit dengan perlahan dan meraih tiang ranjang sebagai pegangan, ia berjalan sebentar; tapi berhenti lagi karena rasa sakit langsung menyengat ke seluruh bagian kaki kananya. Raja muda itu mendesah lelah dan menghampiri Redd. Ia mengangkat wanita itu dan menggendongnya, membawa kedua kakinya melingkari pinggang kokohnya dan menahan pahanya agar tidak jatuh.
"Apa yang kau lakukan?!" pekik Redd pelan sambil memukul pundaknya.
"Menggendongmu."
"Turunkan aku dasar cabu-,"
Namun kalimat Redd terhenti dan ia diam tanpa suara. Ia merasa kosong, tidak sanggup memberi respon pada sapuan lembut bibir Richard di atas bibirnya. Richard sendiri acuh, tetap berjalan sambil melumat bibir Redd hingga mata wanita itu perlahan terpejam, saat sapuan lidah sang Raja terasa dingin di belahan bibirnya. Walau kemudian rasa panas yang menyenangkan menyerangnya, seolah menarik garis koordinat menuju pusat dari segala candu di tubuhnya.
Wanita itu menggerang pelan, saat ciuman itu terlepas; karena Richard mendudukkan diri di atas bentangan selimut di lantai. Redd pikir semua sudah selesai, tapi ia salah besar. Karena Richard meraih tekuknya dengan cepat dan meraih bibirnya lagi. Kali ini menuntut, meminta pembalasan penuh darinya. Tangan lebar pria itu menarik pinggangnya mendekat. Membuatnya menabrak dada Richard, dan terdesak pada bukti gairah pria itu. Redd menggerang sesaat; memutus ciuman mereka.
"Kau, itu. Kau sedang-,"
"Ya," potong Richard. "Kau merasakannya? Kau terus memancingku, dengan lugunya bertannya tentang hal yang seharusnya tidak kau tanyakan demi keselamatanmu."-pria itu mendengus, menyusuri rahang dan leher Redd. "Aku adalah lelaki normal Mansen dan seperti lelaki normal lainnya. Aku adalah bajingan."
"Sudah aku duga. Kau memang cabul."
"Ya. Untukmu."
"Tidak bisa aku percaya," jengkel Redd, mundur dengan lekas dan dengan sengaja menghancurkan suasana intim mereka. "Apa kau berbaik hati memijat kakiku untuk ini?"
"Tidak,aku memijat kakimu tulus karena aku kasihan. Walaupun harus aku akui aku juga mencoba untuk menahan diriku dengan itu."
"Dasar bajingan."
"Terimakasih."
Redd menghela nafas kesal, menatap marah pada Richard yang juga menatapnya.
"Aku mau kita mengenal lebih dekat."
"Soal apa?" tanya Raja Muda itu.
"Semuanya."
"Kalau begitu kita mulai dari yang ini," ucap Richard sambil menarik Redd lebih dekat. Membuat tekanan keras pada satu titik yang membawa geleyar gairah tak tertahankan.
"Tidak," Redd menolak sambil terengah. Bohong kalau dia bilang ia tidak suka, ia suka. Sangat suka, tapi harus tetap mempertahankan kewarasannya; atau ia akan kalah telak dari pria menyebalkan dihadapannya ini.
"Lalu?"
"Aku ingin kita mulai mengenal dari hal yang terkecil dulu. Apa makanan kesukaanmu, warna faforitmu atau mungkin cerita masa kecilmu."
"Masa kecilku biasa saja," ucap Richard. "Belajar, jamuan makan dengan mitra asing dan tata krama."
"Bukan itu maksudku!" protes Redd. "Maksudku adalah seperti apa masa kecilmu bersama James dulu, bersama ayahmu atau ibumu."
Richard menelengkan kepala tanpa ekspresi dan Redd memandang bingung.
"Apa? Aku salah bertannya?"
"Tidak. Aku hanya tidak tahu harus cerita apa jika soal itu. Aku ibuku mati saat usiaku sekitar delapan tahun?"
Redd mengerutkan kening, "Apa kau bercanda? Ibumu baru meninggal saat kau remaja. Saat itu," Redd menghitung dengan tangannya. "Seingatku kau bahkan belum mencapai usia tujuh belas."
"Ibuku mati saat aku kecil."
"Kau sakit ya? Tidak bisa berhitung?"
Richard menghela nafas lelah, ia kemudian membalik posisi Redd yanh sebelumnya duduk di atas pangkuaanya menghadap dirinya menjadi menghadap depan. Ia menaruh wanita itu diantara kakinya yang terjulur dan memeluknya; membuat wanita itu menyandar dan tenggelam dalam rengkuhannya.
"Ibuku meninggal saat aku kecil," ulangnya sambil membenamkan wajahnya pada leher Redd.
Redd hendak protes, namun ia langsung diam saat menyadari badan Richard mulai bergetar. Nafas pria itu menyentuh lehernya panas, tapi Redd tahu nafas itu memburu. Seolah-olah Raja Muda itu tengah kesakitan.
"Alexander," bisik Redd. "Kau baik?"
Tak ada jawaban, hanya suara nafas dan pelukan yang semakin erat terasa.
"Aku," Richard memulai. "Aku lahir dari seorang wanita hebat, dia cantik dan cerdas. Bagiku ibuku adalah wanita terhebat yang pernah aku tahu, aku berharap saat aku menikah nanti aku akan mendapat pengantin seperti ibuku." Richard kemudian tertawa sinis di atas kulitnya, sebelum menghela nafas berat. "Aku hanya tidak tahu jika ternyata wanita itu adalah iblis. Dia jahat, sangat jahat. Aku sering melihat ibuku pergi keluar saat sore, aku pikir itu hal biasa; aku pikir dia mengunjungi teman. Sampai kemudian aku mengikutinya dan melihat bahwa ibuku pergi untuk selingkuhannya. Lebih parah lagi, dia juga di sana untuk anaknya; bersama selingkuhannya."
Redd meraih tangan Richard di perutnya, ia menoleh sedikit. Berhadapan dengan wajah Richard yang tenggelam di lehernya. "Itu pasti menyakitkan sekali," bisik Redd.
"Aku tidak berpikir begitu," Richard tertawa sarkas. "Aku lega, karena akhirnya tahu kenapa ibuku pergi setiap hari. Mengabaikan ayaku, mengabaikan aku dan adikku. Aku tahu kenapa ia tidak pernah lagi makan malam bersama kami dan tahu kenapa ia sering membeli mainan anak-anak tapi tak pernah memberikannya padaku atau adikku. Aku tahu, dan aku bersyukur. Karena tidak lagi melihatnya sebagai orang baik."
Redd meraih tangan Richard, meremasnya pelan sebagai respon.
"Apa kau tahu," bisik pria itu kemudian. "Aku hanya merasa kasihan pada James, dia tidak pernah tahu hal yang sebenarnya sampai ia meninggal. Mungkin di atas sana sekarang ia marah padaku, tapi aku tetap memohon padanya untuk melemparkan wanita itu ke neraka. Aku membencinya, sampai rasanya tiap menginggatnya aku mau mati saja. Aku jijik karena harus lahir dari wanita sepertinya; aku mer-"
"Hei. Hei," potong Redd cepat saat ia mulai merasa pelukan Richard makin erat dan nafasnya makin memburu. Ia kemudian memutar setengah tubuhnya dan menangkup wajah Richard; dan ia tersentak kaget karenanya. Ia nyaris tidak percaya bahwa pria dibelakangnya adalah Richard. Wajah pria itu pucat, dan rahangnya mengencang. Mata hitam gelapnya seolah berpusar, berkilat oleh rasa amarah, kecewa dan dendam yang dalam. Amat sangat dalam. Bahkan Redd tidak mampu menyelami tatapan itu, karena ia sudah merasakan ada gelenyar dingin dari tekuk ke tulang ekornya.
Maka Redd mengambil nafas, dan menyentuh rahang Richard pelan. Mengelusnya lembut. "Tidak apa," bisik wanita itu. "Tarik nafasmu, tenangkan diri dulu."
Richard menatap Redd tajam, tapi secara perlahan matanya mulai tampak tenang. Ia kemudian mengambil nafas dan tersenyum lembut pada Redd. "Maaf."
"Tidak, aku yang minta maaf karena sudah bertannya padamu tentang itu. Pasti kau mengalami kehidupan yang menyakitkan karena itu, maaf karena harus membuatmu bercerita."
Richard tertawa parau, ia membuat Redd kembali terjebak di pelukkannya dan meraih selimut lain yang tergeletak di lantai. Ia menggelar selimut itu menutupi badan Redd, dan mengecup belakang kepalanya.
"Sudah cukup sesi tanya jawabnya hari ini," bisik Richard. "Ayo tidur Yang Mulia Ratu."
Redd cemberut mendengar panggilan itu, ia masih ingin bertannya. Tapi ia menahannya karena ia takut Richard akan marah lagi. Dalam hati ia berkata bahwa ia harus mengenal kerajaan ini, lebih lagi mengetahui masa lalu Richard juga.Ia kemudian menurut untuk segera tidur. Wanita itu berasandar pada dada Richard dan menutup mata; ia menguap sesaat sebelum berbisik pelan pada Richard.
"Selamat malam, Alexander"
"Selamat malam," Richard diam. "Redd."
Redd tersenyum mendengar panggilan itu, ia mendesakkan diri dalam pelukan Richard dan perlahan; ia terlelap.
Malam itu adalah saksi, dimana dua orang anak manusia mulai berjalan meniti takdir bersama. Mereka memulai dari garis awal menyusuri jalan yang akan penuh tantangan, mencari ujung dan akhirnya. Tanpa tahu apakah akhirnya akan menjadi indah atau buruk. Malam ini adalah saksi, saat untuk pertama kalinya dua anak manusia itu terlelap. Dengan degupan jantung yang terus seirama; hingga fajar tiba di tempatnya.