"Apa pernah terjadi?
"Tentu. Marionette Hawkins, sekarang tahun ketiga. Aku pusing menanganinya selama dua tahun. Butuh waktu selama itu untuk menyembuhkan depresinya."
"Depresi?" tanyaku heran.
"Dia sempat mendekam di penjara semalaman karena berubah menjadi manusia serigala di toko CD & DVD Mr. Joaquin."
Aku menyengir keheranan.
"Dia berubah karena melihat gambar bulan purnama dan mendengar lolongan kawanan serigala. Itu hanya display TV di toko yang kebetulan sedang memutar film Werewolf. Waktu itu dia sangat payah dalam mengendalikan kekuatannya di tahun pertama," cerita Huddwake semakin membuatku terbelalak heran. "Untungnya, asal kau tahu, Mr. Joaquin juga orang berkemampuan spesial. Dia bersedia membantu pengawasan eksternal Roxalen High. Mr. Joaquin membatalkan kesaksian pelapor sehingga Hawkins bisa dibebaskan."
"Mendadak aku merasa menjadi seperti tokoh film," komentarku.
"Huh?"
"Aku hidup di dunia yang aneh." Aku tertawa.
"Namun kau menyukainya."
Aku menatap Huddwake. "Huh?"
"Kau terlihat menikmatinya."
Aku tertawa. "Tentu aku lebih menyukai hidup yang aneh ini daripada disebut abnormal seumur hidup."
"Mungkin kau benar." Tatapan Huddwake menerawang.
Aku menelengkan kepalaku, menatapnya.
Huddwake melirikku. "Kau lihat apa?"
"Barusan kau terlihat melankolis, Huddwake."
Huddwake tertawa mendengus. "Berhenti bermain-main menjadi psikolog. Kau bisa lihat toko Mr. Joaquin disana?" Jari Huddwake menunujuk ke seberang jalan.
"Yeah."
"Di sebelahnya ada minimarket, kau bisa beli kebutuhan sehari-hari disana. Sebenarnya terlalu besar untuk sebuah minimarket, mungkin itu swalayan. Ah, mini swalayan." Huddwake ribut dengan hipotesisnya sendiri. Aku memutar bola mata.
"Ayo kita menyeberang," ajak Huddwake, tepat ketika lampu merah menyala.
Aku dan Huddwake segera melintasi zebra cross. Kota Birmingham cukup padat kendaraan. Pejalan kaki hampir memenuhi trotoar. Beberapa murid baru Roxalen High yang mengenakan seragam terlihat sedang memilih-milih CD di dalam toko Mr. Joaquin.
"Kau ingin membeli sesuatu?" Huddwake ternyata memperhatikan arah tatapanku.
"Err.. tidak untuk hari ini." Aku mulai memotret jalanan dengan kamera pemberian Jake.
"Pastikan kau bilang padaku jika menginginkan sesuatu."
Aku membulatkan bibirku. "Oh, kau terdengar seperti sedang berbicara dengan pacarmu. Apa kau akan mentraktiku juga?"
"Aku tidak pernah berbicara begitu pada Megan dan aku tak akan mentraktirmu, nona sok tahu." Huddwake tersenyum kecut.
Oh, wow. Sungguh menyebalkan. Aku hanya merengut sendirian.
"Di belakang toko Mr. Joaquin ada toko bunga Mrs. Warner." Huddwake membimbingku berjalan ke blok di belakang rental CD.
"From Garden with Love?" Aku membaca nama toko bunga yang dimaksud Huddwake. "Nama yang cukup menarik."
"Yeah. Putri Mrs. Warner, kau bisa melihatnya di meja kasir?" Huddwake menunujuk seorang gadis berambut pirang yang sedang melayani pembeli yang akan membayar.
"Oh, yeah. Dia cantik sekali," komentarku hampir tak berkedip.
"Incaran banyak siswa Roxalen High." Huddwake mengangguk-angguk. "Ironisnya dia hanya tahu kita sebagai murid International High of Birmingham."
"Uh…" Aku memasang tampang prihatin. "Semoga nasib percintaannya beruntung."
Huddwake tertawa terbahak.
"Apa?" tanyaku.
"Daripada mendoakan orang lain sebaiknya kau berdoa untuk dirimu sendiri."
Aku mendelik, "Apa yang kau permasalahkan? Aku masih tahun pertama SMA."
"Oh, yeah," tanggap Huddwake terdengar mengejek. "Lalu ini kios smoothie dan bubble."
Aku menelan ludah. "Mendadak aku haus. Aku beli smoothie dulu." Aku mendekat ke antrian pembeli yang cukup panjang.
"Smoothie atau bubble, Serina?"
Aku mengangkat kepalaku dan mendapati senyum manis Sergei.
"Ayo, katakan. Temanku sudah hampir di depan pelayan, kau bisa menitipkan pesananmu padanya."
Aku tertegun sebentar menatap Sergei yang berbicara menggunakan bahasa Inggris dengan sedikit logat Rusianya. Aku mengerjapkan mata. "Smoothie stroberi."
"Oke." Sergei maju mendekati temannya dan bercakap-cakap dengan bahasa Rusia, kemudian kembali padaku dan mengajakku keluar dari antrian. "Kau terkejut mendengarku berbicara bahasa Inggris?"
"Yah… begitulah."
"Pengucapanku tidak terlalu bagus."
"Tapi aku bisa mengerti," aku memaklumi. Sergei tertawa kecil. Tak lama kemudian teman Sergei membawa kotak minuman dan membagikannya pada kami. "Sisa satu?" tanyaku, menatap satu gelas yang tersisa.
"Ya, bubble teh hijau untuk Huddwake." Sergei memberikan satu gelas itu pada Huddwake. "Aku selalu tahu kesukaannya."
Huddwake berdecak kesal. "Kau berkata seperti aku istrimu."
Sergei tertawa sambil menepuk punggung Huddwake. Sergei berkata sesuatu pada teman Rusianya, kemudian mereka berpisah. Aku hanya bengong karena tidak bisa mengerti apa yang diucapkannya. Oh, aku sangat bersyukur ada sistem penerjemah di Roxalen High.
"Boleh aku mengganggu kalian?" Sergei masuk di tengah-tengahku dan Huddwake.
"Aku merasa kalian berdua akan bersekongkol sebagai 'orang yang pernah kubimbing'." Huddwake menyeruput bubblenya. Aku bisa melihat cairan hijau itu naik ke bibirnya, sedotannya bening.
"Tentu saja. Aku pengawal Serina selama ada kau." Sergei menepuk-nepuk pundakku dan Huddwake.
Aku menyengir, sebal juga melihat Sergei yang bisa bercanda dengan bebas. Dia bahkan tidak tahu kata-kata atau tingkahnya bisa menaikkan grafik denyut jantungku.
"Ah, angin musim gugur sudah mulai terasa." Sergei masih mengoceh, memejamkan matanya untuk menikmati angin.
Ia berjalan dengan mata tertutup, tangannya merangkul bahu Huddwake. Mereka bedua terlihat akrab. Lalu apa maksud perkataan Sergei kemarin? Sungguh konyol aku bermimpi sesuatu yang mengerikan dengan Huddwake dan Sergei sebagai objeknya. Aku menyembunyikan kegelisahanku, menggigiti ujung sedotan.
"Hei, Serina." Sergei menepuk pundakku. Aku berjengit kaget.
"Ya?"
"Jangan kau gigiti ujung sedotanmu." Sergei menarik sedotanku dari gelas smoothie yang kupegang. "Penyok begini sudah tidak bisa dipakai. Ini pakai milikku dan jangan lestarikan kebiasaan buruk tadi." Sergei mengganti sedotanku dengan miliknya.
Aku terbengong. "Lalu kau?"
"Pria sejati selalu menghabiskan makanannya dengan cepat." Hidung Sergei mengembang dengan bangga. Aku tertawa melihatnya. Sergei melempar gelasnya yang sudah kosong ke tempat sampah.
"Ada apa dengan pria sejati? Menurutku kau lebih mirip ibu-ibu yang mengomeli anaknya." Huddwake tertawa mendengus. "Dan…"
Huddwake mencabut dan membalik sedotan pemberian Sergei dari gelas smoothieku.
"Ini perlu dibalik, dasar jorok."
"Apa yang salah? Aku tidak mengidap rabies," omel Sergei sambil tertawa.
Huddwake benar juga. Ya ampun. Aku terlalu terpesona pada Sergei, sampai bahagia hanya dengan sedotan pemberiannya. Huddwake menatapku tajam. Buru-buru aku mengalihkan mata darinya dan berusaha mengusir pikiran barusan. Ah, benar-benar menakutkan jika ada Huddwake saat aku sedang bersama Sergei.
"Ah, besok sudah mulai belajar lagi." Sergei melengos. "Aku tidak begitu suka belajar."
"Tak usah merendah. Jadi peringkat satu kemarin kau juga tidak belajar?" Huddwake berkata datar.
"Eh?" Aku refleks mengangkat alis.
"Setahun kemarin dia dapat peringkat pertama dua kali, tiap semester di angkatannya," jelas Huddwake.
"Apa aku salah? Aku hanya bilang aku tidak suka belajar." Sergei mengangkat bahu.
"Banyak yang bilang itu menyebalkan. Sergei," balas Huddwake.
Sergei meringis. "Apa kau sebal, Serina?"
"Err… sedikit."
Sergei meraung. "Baiklah, aku tidak akan… err… aku berusaha untuk tidak mengatakannya lagi. Kau tahu? Ini semacam sudah mengakar, aku benar-benar tidak suka belajar." Ia mengernyit serius. Aku tertawa, tampangnya konyol.
Sedetik kemudian tampangku yang berubah menjadi konyol. Karena aku menyadai bahwa aku dikelilingi orang-orang yang luar biasa.