webnovel

Selamat Datang di Roxalen High School

"Oh, aku merasa bersemangat sekali!" teriakku di pangkalan taksi di mana aku dan Clark berada sekarang. Para supir taksi menatapku sambil tersenyum-senyum, entah apa yang mereka pikirkan. Sebenarnya aku tak terlalu peduli.

Yang kupikirkan saat ini hanyalah aku ingin segera sampai di sekolah baruku.

"Antusiasme yang sangat tinggi, huh?" Clark menghampiriku sambil tersenyum. "Aku juga sudah tak sabar. Ayo kita segera pilih satu taksi dan pergi dari sini." Clark berlari menuju salah satu taksi diantara kira-kira sepuluhan taksi yang berjajar. Aku mengejarnya sambil tertawa, sempoyongan berlari sambil menarik dua koperku.

"Tolong antar kami ke alamat ini, Sir." Aku menyodorkan secarik kertas bertuliskan alamat Roxalen High yang sudah kusalin dari buku panduan sekolah.

Si supir hanya ber-oke lalu mulai menginjak pedal gasnya.

"Menurutmu bakal seperti apa kira-kira?" Clark bertanya sambil memandang keluar jendela taksi, mengamati kesibukan warga kota Birmingham.

"Apa?" Aku bertanya, tidak mengerti. "Tolong persempit jangkauan topikmu."

"Ah, maaf. Kebiasaanku." Clark tertawa sambil menyisir rambut klimisnya dengan jari. "Maksudku Roxalen High."

"Aku belum bisa membayangkannya," jawabku polos. "Untuk membayangkan hari ini saja aku masih agak bias. Aku sudah bilang padamu, bukan?"

"Kita akan terbiasa nantinya, Serina," kata Clark mantap. "Yang kutakutkan nantinya aku malah tidak terbiasa dengan keseharian yang normal di luar sana."

Aku tertawa. "Oh, ayolah, Clark. Kita akan tetap membaur dengan orang normal. Keluargaku normal, dan aku tak mau mengambil teorimu yang tadi."

"Kau kelihatan sangat menyayangi mereka." Clark tersenyum kecil.

"Tentu," jawabku sambil mengangguk-angguk. "Bagaimana dengan keluargamu, Clark?"

Clark terdiam. Pandangannya tetap menerawang keluar jendela. Entah kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak karena menanyakan tentang hal itu tadi.

"Kedua orang tuaku sudah meninggal ketika aku berumur delapan tahun," kata Clark lirih.

Aku terkesiap. "Maaf, aku tidak tahu pertanyaanku akan memberatkanmu." Aku menunduk, menatap celana jeans pendek yang kupakai.

"Tak apa, Serina." Clark menoleh padaku sambil tersenyum. "Aku sudah merelakan mereka. Itu sudah lama sekali."

Aku terdiam, menunggu apakah Clark ingin meneruskan ceritanya atau tidak.

"Sejak lahir aku tinggal di New York, Amerika. Ayah dan Ibuku tewas ketika badai melanda. Ketika itu mereka sedang meninggalkan New York, tugas kerja di pinggir kota yang terlanda badai itu," Clark bercerita sambil mengetuk-ngetukkan kakinya. "Setelah itu aku dirawat oleh Nenek yang tinggal di Southampton. Dua tahun kemudian nenekku meninggal dunia. Kemudian aku pindah ke London, tinggal dengan Paman yang sebatang kara karena ditinggal pergi istrinya."

"Apakah Pamanmu bersikap baik padamu?" tanyaku penuh simpati.

"Ya, kami berdua kompak. Merasa senasib sebagai orang yang banyak menderita dalam hidup." Clark tertawa canggung. "Kami bahagia, walaupun dengan keuangan yang agak sulit."

"Bahagia yang paling penting," kataku menghiburnya. "Tuhan tidak akan memberikan apa yang tidak bisa kau tanggung. Kau tumbuh menjadi orang yang kuat, Clark."

"Terima kasih." Clark tersenyum lagi.

"Apa pamanmu tahu tentang keanehanmu?"

"Tidak," ekspresi Clark berubah. "Dia hanya mengetahui Clark Luvithor sebagai seorang yatim piatu—anak kakak lelakinya, yang mau menemaninya hidup sekaligus menjadi tanggung jawabnya."

Aku menelan ludah, membayangkan Clark yang harus menyembunyikan rahasia besar dari orang yang hidup satu atap dengannya. Bertemu tiap hari dengannya.

"Aku tak mau dia mengetahui tentangku. Dia satu-satunya keluargaku saat ini. Satu-satunya orang yang mau menerimaku di rumahnya. Aku terlalu takut untuk memberitahu Paman tentang diriku yang sebenarnya. Aku tidak ingin ia takut padaku, seperti teman-temanku yang menjauhiku karena keanehanku," suara Clark terdengar bergetar. Aku bisa merasakan emosinya.

"Aku mengerti, Clark," ujarku menenangkannya. "Tapi kupikir suatu saat kau akan memberitahu Pamanmu. Setelah kau siap."

Clark menatapku dingin. "Kenapa?"

"Kau tak ingin membohongi orang yang kau sayangi bukan?" aku berusaha meyakinkan Clark. "Kurasa pamanmu akan mengerti, seperti keluargaku. Awalnya mereka memang terkejut, tapi akhirnya bisa mengerti. Karena itu adalah aku."

Clark termenung.

"Pamanmu orang baik, bukan?" tambahku lagi. "Beliau akan bisa mengerti dirimu."

Clark mengangkat wajahnya. "Aku akan mencobanya ketika aku siap."

"Sempurna," pujiku.

"Kau orang baik, Serina. Aku menyukaimu."

"Oh, kau belum tahu seluruhnya tentang diriku, jadi jangan berkata begitu."

"Jawaban yang bagus."

Kami berdua tertawa. Si supir tampak tidak terganggu dengan keramaian yang kami buat karena ia mengenakan earphone. Kepalanya terus mengangguk-angguk sedari awal ia mengemudikan taksi. Entah lagu jenis apa yang ia dengarkan, terkadang mulutnya menirukan suara semacam suara perkusi. Ia terlihat sangat menikmati harinya. Tentu dia takkan pernah berpikir jika dua penumpang di belakangnya bisa menembus dinding dan berlari sangat cepat tanpa sempat tertangkap mata.

Oh, sumpah. Aku bahkan berani bertaruh dengan seluruh harta keluargaku, si supir tak akan pernah—bahkan tidak akan sempat terlintas di pikirannya walaupun hanya sedetik.

"Kita sudah sampai." Si supir mengurangi kecepatan taksi dan berhenti perlahan. Ia mengerem taksinya dengan sangat halus. Aku suka itu. "Ini alamat yang kalian tuju."

Aku dan Clark segera mengecek keluar jendela dengan penuh semangat.

Terlihat sebuah gedung sekolah yang normal. Cukup besar. Dan terlihat banyak orang, yang kelihatannya adalah para siswa, berseliweran di halaman gedung sekolah. Mereka sama seperti kami, tidak memakai seragam dan membawa tas-tas atau koper. Terlihat beberapa orang yang memakai seragam, namun tidak sama dengan seragam Roxalen High yang dikirim padaku.

Serempak aku dan Clark segera keluar dari taksi, kemudian terburu-buru mengeluarkan barang-barang kami dari bagasi taksi. Hampir saja kami lupa membayar taksi karena terlalu antusias dengan Roxalen High yang sudah ada di depan mata.

"Akhirnya…" bisikku penuh semangat. Clark mengangguk-angguk di sampingku.

Kami beringsut mendekati gerbang sekolah yang megah dan tinggi dengan gaya klasik berwarna hitam. Di atas gerbang tertulis nama sekolah yang terbuat dari ukiran besi.

INTERNATIONAL HIGH SCHOOL OF BIRMINGHAM.

Aku terpaku menatap ukiran besar itu. "International High of Birmingham..?"

"Kau bilang apa?" Clark menoleh padaku, kemudian menelusuri arah kemana pandanganku tertumpu. Mata Clark membelalak.

"Ini bukan Roxalen High…?" Clark mendesis. "Apa kita salah alamat? Supir taksi tadi sudah pergi." Wajah Clark mulai terlihat agak panik.

Buru-buru aku mengecek buku catatanku. Kuhampiri seorang cewek yang berdiri di depan gerbang tak jauh dari tempat kami.

"Permisi. Aku ingin bertanya apa alamat ini benar disini?" Aku menyodorkan catatanku pada cewek itu. Sama paniknya dengan Clark, jantungku berdebar-debar. Pikiran tentang keberadaan Roxalen High yang tidak pasti kembali menghantuiku. Aku dan Clark sama-sama berharap bahwa supir taksi tadi mengantar kami ke alamat yang salah.

Cewek berpotongan rambut bob itu mengamati tulisanku. Aku menunggu jawaban darinya, berharap-harap cemas.

"Ya, ini benar. Alamatnya benar."

Jawaban itu berasa seperti petir di siang bolong bagiku. Clark juga berdiri kaku di sebelahku. Kami berdua saling berpandangan, dengan tatapan yang sama. Pupus harapan. Kenapa bukan Roxalen High yang berdiri di tempat ini? Oh, apa kami berdua hanya abnormal bodoh yang dengan sukses termakan tipuan orang?

Sungguh konyol. Aku ngeri membayangkan perjalanan kami yang penuh dengan harapan dan ekspektasi tadi. Dan harus dengan wajah seperti apa aku pulang ke rumahku.

"Hei," cewek itu menyadarkanku dari lamunan. "Tunggu sebentar, oke?" ia berbicara dengan logat bahasa Inggris yang aneh. Ah, tentu saja. Kelihatannya ia bukan orang Inggris. Ini sekolah internasional, wajar jika murid-muridnya berasal dari seluruh belahan dunia.

Aku tersenyum kecut sementara cewek itu meninggalkanku dan Clark di depan gerbang, menemui segerombolan siswa yang memakai seragam.

"Apa yang harus kita lakukan, Serina?" Clark bertanya dengan suara lemas.

Aku menggeleng lemah, tidak menjawabnya. Sumpah, rasanya ingin menangis. Terngiang-ngiang perkataan Jake di malam itu, seminggu yang lalu ketika aku ngotot padanya ingin masuk Roxalen High.

"Mereka di sini." Cewek itu membawa seorang yang berseragam ke arah kami. Seorang cewek berambut pirang berjalan mendekati kami. Pembawaannya dewasa. Kulit putihnya berbintik-bintik.

"Perkenalkan. Tamara Anderson, Amerika," cewek itu berbicara dengan bahasa Inggris logat Amerika. Ia mengulurkan tangannya untuk menyalami kami.

"Serina Gray, Inggris," balasku ikut-ikutan menyebut negara asal.

"Clark Luvithor. Aku dari kota yang sama dengannya, London." Clark menyalami Anderson. Wajahnya masih suram, terlihat tak bersemangat.

"Aku pergi mengurus yang lain, Tamara." Cewek berambut bob tadi melambaikan tangan ke arah Anderson, kemudian pergi bersama temannya. Anderson hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian berpaling kembali kearah kami.

"Itu tadi Fei Yang. Dia dari China," terang Anderson.

Oh, sumpah. Aku tak terlalu mendengarkan apa yang ia katakan dari tadi. Hanya sekedar mampir ke telinga, tidak masuk ke otak. Konsentrasiku sudah buyar.

"Baiklah, sekarang ada perlu apa kau dengan kami, Anderson?" aku mulai kesal. "Jangan salah sangka, kami bukan murid International High of Birmingham," tekanku.

"Kami harus segera pergi," tambah Clark sambil mengangkat tasnya. Ia mulai melangkah pergi.

"Selamat datang di Roxalen High School."

Aku terhenyak, bisa kurasakan jantungku berdetak keras satu kali tadi saat mendengar perkataan Anderson. Clark menghentikan langkahnya. Kami berdua terpaku, mata kami sama menatap ke arah Anderson.

"Tunggu, kau tadi bilang apa?" tanyaku sambil tertawa canggung. Mungkin saja aku berhalusinasi akibat shock.

"Kau ingin aku mengulanginya?" Anderson membelalakkan matanya penuh semangat. Selamat datang di Roxalen High School. Kalian orang-orang spesial yang kami tunggu."

"Spesial?" Aku merasa aneh mendengarnya, karena sudah terbiasa dengan sebutan abnormal. "Kau tidak bergurau, kan? Lalu bagaimana dengan International High ini?"

"Ayolah, mari kuberi tahu. Tidak mungkin nama Roxalen High School dipajang besar-besar disini bukan? Sementara kalian harus berusaha menyembunyikan kelebihan kalian. Dan kalian diberi peraturan untuk merahasiakan keberadaan Roxalen High selain pada keluarga kalian." Anderson berbicara dengan cepat. "Roxalen High akan menjadi tempat yang paling aman bagi kalian, Serina dan Clark—orang-orang spesial."

"Jadi ini hanya kamuflase nama?" Clark menyimpulkan.

"Yah." Anderson menjawab cepat. "Ehm, isi di dalamnya juga sedikit ada kamuflase. Agar tidak mencurigakan. Kita harus aman dari inspeksi Departemen Pendidikan Inggris."

Aku masih menatap Anderson tidak percaya. Bagaimana tidak, seharian ini perasaanku sudah diombang-ambingkan. Pertama terbang dengan harapan yang sangat tinggi, kemudian jatuh seketika ketika kami tidak melihat Roxalen High School, kemudian terangkat lagi berkat kata-kata Anderson.

"Apa aku tidak bermimpi?" Mataku berkaca-kaca menatap Anderson.

Anderson tertawa. "Itu bukan pertama kalinya kudengar dari murid baru." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku ingin kau percaya sekarang."