"Kau yang atur jadwal latihanmu sendiri, oke?" Soo Hyun membetulkan ikat rambutnya. "Aku tipe cewek yang hanya berputar-putar di sekitar kelas, ruang organisasi, café, dan asrama."
"Sama denganku." Aku mengangkat bahu.
Soo Hyun melebarkan matanya yang berkelopak tipis. "Belum punya cowok?"
Aku hanya tertawa.
"Tenanglah, kau baru memulai tahun pertamamu. Lihatlah diriku." Soo Hyun memajang tampang mengenaskan sekali lagi. "Tahun ini aku akan lulus dan segera keluar dari Roxalen High. Harapanku makin tipis. Bagiku kini berhubungan dengan orang asing yang sama anehnya denganku lebih baik daripada dengan cowok Korea yang normal."
"Oh, ayolah. Akan ada yang mau mengerti dirimu," hiburku. "Bagaimana dengan Lee Kyu Jin? Bukankah dia sangat sama denganmu?" Aku teringat pada cowok Korea yang menjadi pembimbing Clark.
"Aku tidak yakin dia mau punya cewek yang lebih tua." Soo Hyun merengut. "Tapi kami sangat akrab di perkumpulan."
"Perkumpulan?"
"Kami membentuknya sendiri, khusus bagi murid yang berasal dari Korea. Hanya sekedar untuk menjalin keakraban."
"Oh, kalian punya solidaritas yang tinggi," pujiku. "Bicara soal kumpul-kumpul, kudengar tadi Xavier menyebut soal pesta penyambutan murid baru."
Soo Hyun berjengit antusias. "Yeah, itu acara tahunan." Ia bertepuk pelan. "Akan diselenggarakan hari Minggu ini. Kau harus tampil cantik, pesta penyambutan selalu menjadi kesan pertama."
"Oh, serius." Aku tertawa. "Itu nomor sekian. Target nomor satuku sekarang adalah kompetisi," kataku berapi-api.
"Ada yang serius rupanya," goda Soo Hyun. "Tapi tak ada salahnya kau turuti saranku tadi. Kau tahu bukan, kau bisa mendapatkan keduanya sekaligus."
Aku menatap Soo Hyun lekat-lekat. "Kau sungguh jenius."
***
Hampir seminggu ini aku benar-benar hanya menjalankan jadwal reguler. Belajar di kelas, makan di Roxy Café, berkunjung ke ruang organisasi, dan tidur di kamar. Soo Hyun belum bisa memulai latihan denganku karena ia terserang flu pergantian musim. Sebenarnya ia memaksakan diri, tapi aku tak mau melihatnya semakin mengenaskan sehingga kuputuskan untuk menunda latihan sampai ia benar-benar pulih.
Hari ini hari Sabtu, sekolah libur. Sampai hari ini aku tidak pernah lagi melihat Huddwake. Mungkin ia sibuk dengan kuliahnya. Aku juga tidak pernah lagi berbicara dengan Sergei. Aku hanya melihatnya di Roxy Café. Sesekali kami saling menyapa jika kebetulan bertemu, tapi tidak ada lagi obrolan panjang.
Aku merasa ada sedikit bagian diriku yang merindukannya, tapi segera aku ingatkan diriku bahwa aku hanya fans biasa nomor kesekian dari sekian banyak fans Sergei Ivanov. Jadi tidak ada yang perlu aku khawatirkan.
"Kau tak keluar?" Martha menanyaiku sambil menyemprotkan parfumnya ke arahku. Aku terbatuk-batuk, selera parfum Martha sangat menyengat. "Ayolah, ini malam minggu dan kau bahkan belum mandi."
"Ini belum malam, masih jam lima sore dan aku tidak punya rencana keluar," balasku ogah-ogahan. Aku mengibas-ngibaskan baju—kesal dengan aroma parfum Martha, kemudian kembali fokus ke laptop.
"Jangan begitu. Kau kelihatan sangat menyedihkan, serius. Apa kau akan membusuk di kamar dengan lalat mengerubungimu?"
"Mungkin," desisku sekenanya.
Martha memutar bola mata. "Terserahlah, aku mau keluar dengan Qizra. Jangan lupa mandi dan jaga kebersihan kamar," omelnya.
"Yaaaaa," aku berkata sambil mencibirkan bibirku.
Yang benar saja, kenapa Martha begitu ribut? Aku bukan satu-satunya orang yang tinggal di asrama karena tidak punya acara malam minggu. Lagipula seharusnya dia bersyukur karena aku mengurangi kuota manusia yang akan memadati jalanan kota Birmingham.
Pukul enam sore.
Aku mulai merasa kesepian. Dara pergi dengan teman-teman Kanada-nya. Sebenarnya ia menawariku untuk ikut, tapi aku menolak karena merasa sangat malas untuk bepergian tadi.
Aku sedang membaca artikel tentang lomba makan kecoa ketika tiba-tiba notifikasi e-mailku berbunyi. Hatiku bersorak riang, mungkin Jake yang mengirim. Aku akan memaksanya untuk saling berbalas e-mail malam ini. Apa boleh buat, tidak ada satupun jejaring sosial dan chat yang bisa diakses di Roxalen High.
Aku mengklik tombol inbox. SergeiIvanov@roxalen.xx.
Aku langsung spot jantung mendadak. Oh, wow. Baru saja tadi aku sedikit memikirkannya. Dengan penuh rasa penasaran aku membuka e-mail dari Sergei.
ADA WAKTU? BAGAIMANA KALAU JALAN-JALAN KELUAR? KITA BERTEMU DI DEPAN ASRAMA KALAU JAWABANMU OKE.
-SERGEI-
Aku mendelik tidak percaya, Sergei mengajak pengangguran malam minggu ini keluar. Sejenak benakku melayang kemana-mana, mencoba mencari-cari bagaimana bisa aku jadi seperti pemenang undian berhadiah. Agak tidak masuk akal, tapi akhirnya aku mengiyakan ajakan Sergei dan segera bersiap-siap. Aku tidak mau membusuk di kamar dan dikerubungi lalat seperti kata Martha.
***
Entah kenapa langkahku yang semula terburu-buru menjadi lambat ketika Sergei melihatku berjalan ke arahnya. Ia tersenyum. Rasanya aku kehilangan separuh kekuatan kakiku. Oh, ini sungguh konyol.
"Kau sakit?" Sergei menatapku khawatir. "Cara berjalanmu agak aneh."
"Err... kakiku terbentur tadi," kataku mengarang.
"Oh, serius. Kau tak perlu terburu-buru." Sergei tertawa.
Aku mengerang dalam hati, ternyata aku salah memilih jawaba yang makin menjatuhkanku. "Kau tak keluar dengan teman-temanmu?" aku mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku hampir selalu bersama mereka. Aku ingin orang lain di akhir pekan."
"Kau cari suasana baru?"
Sergei tertawa. "Kau kejam sekali."
Kami naik lift nomor satu dari ruang administrasi Roxalen High. Sepi, tidak ada pengguna lain. Aku menelan ludah, rasanya seperti enggan masuk ke dalamnya. Aku tidak ingin terlihat gugup di depan Sergei, tapi akhirnya aku masuk juga. Tiba-tiba aku berpikir, untungnya kekuatan Sergei tidak seperti Huddwake. Sungguh mengerikan, apalagi jika seandainya sifat Sergei suka mempermainkan orang, seperti Huddwake.
"Lama tidak bertemu." Sergei menyadarkanku dari lamunan sinting.
Ia menatap dengan mata birunya. Suaranya terdengar sangat jelas di dalam lift. Bahkan dia berbicara dengan suara sebagus ketika dia menyanyi, pikiran sintingku mulai lagi.
"Yah." Aku memaksakan untuk tersenyum.
Sergei masih menatapku fokus. "Kau aneh hari ini." Ia mengernyit.
"Err… aku cuma sedikit gugup," jawabku jujur.
Sergei tertawa. "Denganku?"
"Aku hanya kurang terbiasa dengan cowok," aku beralasan. "Kau tahu, kan? Aku selalu dijauhi sebelum masuk ke sekolah ini."
"Kau tak pernah berpikir aka nada cowok yang mengajakmu keluar di malam minggu?" Sergei mengerlingkan mata birunya.
Aku tertawa.
"Percayalah. Mulai sekarang kau akan terbiasa." Sergei menepuk pundakku.
"Tentu, aku tidak berencana menjomlo seumur hidup," jawabku sekenanya.
Sergei diam menatapku. Aku ikut terdiam.
"Ada apa?" tanyaku bingung.
"Kurasa aku harus mulai menggunakan bahasa Inggris." Sergei meringis. Ia melangkahkan kakinya keluar gerbang. "Betulkan jika ada pengucapanku yang salah, oke?"
Aku tertawa lagi. "Oh, oke. Kita akan pergi kemana?"
"Menurutmu?"
"Aku tidak berpengalaman." Aku angkat bahu. "Makan malam?"
Sergei tertawa sambil berpegangan pada pundakku. "Sungguh klasik. Baiklah, kita cari makan malam yang enak. Setelah itu kau harus menemaniku nonton film."