webnovel

Rosangela: The Half-Blood Princess

Rosangela adalah seorang gadis yatim piatu yang tinggal bersama dengan keluarga angkatnya di London. Suatu malam, ketika hendak menghadiri pesta ulang tahun teman sekolahnya, Rosanne, begitu ia biasa dipanggil, diculik oleh sekelompok vampire dan dibawa ke kerajaan mereka. Rosangela pun menemukan fakta mengejutkan bahwa dia sebenarnya adalah cucu dari sang raja vampire yang telah lama menghilang.

Daoist479723 · Fantasy
Not enough ratings
83 Chs

Bab 1

17 tahun kemudian

"Rosanne!" aku mendengar Rosetta, ibu angkatku berteriak dari lantai bawah, "Makan malam sudah siap. Turun ke bawah sekarang!"

"Oke Bu, aku akan segera ke sana," pekikku .

"Jadi, apakah kamu akan datang ke pesta malam ini?" Valerie, sahabatku, mengulangi pertanyaannya melalui telepon.

Ya, aku sedang berbicara di telepon dengan Valerie di kamarku ketika ibuku menyela percakapan kami.

"Aku tidak tahu, Val," aku mengakui, "Kau tahu bagaimana orang tuaku. Mereka tidak akan pernah membiarkan aku pergi ke pesta."

"Ayolah, Rosanne! Mereka bahkan bukan orang tua kandungmu. Mereka tidak memiliki hak untuk mengatur apa yang harus kau lakukan," dia memprovokasi aku.

"Aku tahu," ucapku, "tapi aku mengerti mengapa mereka merasa khawatir. Kamu sudah mendengar tentang gadis-gadis yang menghilang secara misterius di berbagai belahan dunia, bukan?"

"Ya, ya, aku sudah mendengarnya. Memangnya kenapa?"

"Orang tuaku sangat ketakutan bahwa aku akan tiba-tiba menghilang juga. Itu sebabnya mereka tidak akan mengizinkan aku dan Marie untuk keluar rumah pada malam hari."

Marie yang aku sebutkan adalah saudara angkatku. Nama lengkapnya adalah Marirosa Sinclair. Dia adalah putri kandung orang tua angkatku dan setahun lebih muda dariku.

"Tapi kita hanya akan pergi ke pesta di rumah Josh, hanya beberapa blok jauhnya dari rumahmu, di mana salahnya dengan itu?"

Josh adalah teman sekolahku dan Valerie. Dia tinggal 5 blok jauhnya dari rumah orang tuaku. Besok adalah hari ulang tahun Josh. Malam ini, dia mengadakan pesta di rumahnya untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-17. Semua teman sekolahnya diundang ke pestanya, termasuk aku dan Valerie. Valerie terus berusaha membujukku untuk datang ke pesta Josh. Tetapi aku takut orang tua angkatku tidak mengizinkan aku pergi.

"Kamu benar. Tapi aku tidak berpikir orang tuaku akan setuju dengan kamu," aku menghela nafas.

"Kamu setidaknya harus mencoba berbicara dengan mereka. Mungkin mereka akan mengizinkan kamu pergi kali ini," saran Valerie.

"Aku pikir itu tidak berguna. Mereka—"

"Rosangela Sinclair," ibuku meneriakkan nama lengkapku, memotong kalimatku. Dia selalu melakukannya ketika dia sedang marah. Dan harus kuakui bahwa itu agak menakutkan.

"Ayo turun sekarang atau aku akan menjemputmu sendiri," beliau mengancam.

"Oke, aku datang. Aku datang," aku berteriak.

"Maaf aku harus pergi, Val," ucapku padanya.

"Tapi Rosanne—"

"Aku akan menghubungimu nanti," aku memotongnya sebelum menutup telepon.

Meletakkan ponselku di meja samping tempat tidur, aku berjalan keluar dari kamarku dan bergegas turun.

Ketika aku sampai di ruang tamu, aku menemukan ayah angkatku menonton beberapa berita tentang menghilangnya gadis-gadis muda secara misterius yang terjadi baru-baru ini di banyak bagian dunia.

Kabar itu sudah ada di berita selama berminggu-minggu. Gadis pertama yang menghilang adalah dari Bucharest, Romania. Itu terjadi beberapa minggu yang lalu. Dan kemudian, gadis terakhir yang dilaporkan hilang 2 hari lalu berasal dari Paris, Prancis.

Banyak teori yang terbentuk untuk menjelaskan penyebab hilangnya gadis-gadis malang itu, seperti: mereka diculik oleh pembunuh berantai, mereka dijual dalam perdagangan manusia, mereka hanya melarikan diri dari rumah, sampai mereka diculik oleh alien.

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada mereka setelah mereka menghilang. Beberapa percaya mereka sudah meninggal. Tetapi polisi tidak pernah menemukan mayat mereka. Yang lain mengira mereka masih hidup dan disembunyikan di suatu tempat.

"Marlon, matikan televisi sekarang!" ibu angkatku memarahi suaminya dari ruang makan, "Sudah waktunya untuk makan malam."

"Oke, oke." Mengambil remote control dari meja kopi di depannya, ayahku mematikan televisi. Dia kemudian bangkit dan berjalan ke ruang makan.

Aku mengikuti ayah dari belakang.

Ibuku sedang mengatur piring dan gelas di atas meja ketika kami tiba di ruang makan. Adik perempuanku, Marirosa, yang sudah berada di ruang makan, membantu ibu.

Ayahku duduk di ujung meja. Ujung lainnya adalah untuk ibuku. Marirosa duduk di sisi kanan ayahku. Terakhir, aku duduk berhadapan dengan Marie.

"Hilangnya para gadis itu terus berlanjut. Seorang gadis dilaporkan hilang lagi dua hari lalu di Paris," ayahku memberitahu kami.

"Sayang, ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan soal itu," Ibu mengingatkan Ayah.

"Maaf," kata Ayah.

Aku melihat makanan yang disajikan di piringku. Menu untuk makan malam kali ini adalah salmon asap dengan keripik kentang dan salad

Aku mengambil garpu dan pisau yang diletakkan di sebelah piringku. Lalu aku memotong salmon menjadi irisan tipis, dan akhirnya memasukan sepotong salmon ke mulutku.

Ibu, ayah, dan Marie juga mulai makan. Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun saat makan malam.

"Ibu, Ayah," aku memecah kesunyian yang menyelimuti kami.

"Ya?" ayah dan ibu menatapku secara serempak.

"Aku... aku... aku ingin memberitahu sesuatu pada kalian," kataku ragu-ragu.

"Ada apa, Rosanne?" tanya ayahku.

"Valerie meneleponku beberapa menit yang lalu," ceritaku pada mereka.

"Jangan bilang dia memintamu untuk pergi ke pesta lagi dengannya!" ibuku menebak dengan kesal.

"Iya. Ini pesta ulang tahun Josh kali ini. Semua temanku akan datang ke pestanya malam ini. Dan aku mau pergi ke sana juga," aku menjelaskan.

"Tidak. Kamu tidak boleh pergi ke pesta itu," ujar ibuku dengan tegas.

"Aku setuju dengan ibumu," tambah ayahku, "Kau sendiri sudah menontonnya di berita, bukan? Hampir setiap malam seorang gadis hilang di banyak bagian dunia. Seorang penculik berantai sedang berkeliaran sekarang. Terlalu berbahaya bagi seorang gadis untuk keluar di malam hari. Itu sebabnya kami tidak ingin kamu pergi ke pesta."

"Tapi rumah Josh hanya beberapa blok jauhnya dari sini, di mana salahnya?" aku membantah.

"Kita tidak bisa mengambil risiko, Rosanne. Kita tidak pernah tahu kapan dan di mana bahaya akan datang. Kami hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu," tutur ayahku.

"Tapi Ibu, Ayah—"

"Kamu tidak boleh pergi — kamu dengar itu?" Ibu membentakku.

Aku meletakkan pisau dan garpuku dan mendorong piringku menjauh. "Aku sudah kenyang."

Aku minum dari gelas dan kemudian meletakkannya. Setelah itu, aku mendorong kursiku ke belakang dan berdiri.

"Permisi." Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berjalan keluar dari ruang makan.

"Rosanne?" Ibuku memanggilku.

Aku mengabaikannya dan terus berjalan menjauh.

"Biarkan saja," aku mendengar ayahku berkata, "Dia perlu waktu untuk berpikir."

Aku berlari ke lantai atas dan pergi ke kamarku. Ketika aku memasuki kamarku, aku mendengar ponselku berdering. Aku mengambil ponselku dan mengangkatnya.

"Apakah kamu sudah bicara dengan orang tuamu?" tanya Valerie.

"Ya," jawabku, "aku telah meminta izin kepada mereka untuk pergi ke pesta denganmu, tetapi mereka tidak mau mendengarkannya."

"Kenapa kamu tidak menyelinap keluar dari rumah saja?" usulnya.

"Apa?!" Aku terkejut dengan idenya. "Apa kau gila? Orang tuaku akan menguliti aku hidup-hidup jika mereka tahu."

"Jadi jangan biarkan mereka sampai tahu!" Valerie berkata, "Kamu tidak akan dihukum jika kamu tidak tertangkap."

"Itu ide yang bagus! Aku akan mencoba menyelinap keluar malam ini," jawabku.

"Baik! Sampai jumpa di pesta itu." Valerie menutup telepon.

Aku menunggu sampai orang tua dan saudara perempuanku kembali ke kamar mereka dan semuanya tertidur lelap. Ketika jam menunjukkan pukul sepuluh, aku menyelinap keluar dari tempat tidur, pergi ke pintu, dan keluar dari kamarku.

Aku berjingkat-jingkat menuruni tangga dengan hati-hati. Aku berusaha untuk tidak membuat suara sehingga aku tidak akan membangunkan siapapun.

Ketika mencapai lantai dasar, aku tidak menyalakan lampu, tetapi meraba-raba jalanku melintasi ruangan menuju pintu depan.

Dengan hati-hati, aku membuka kunci pintu depan. Aku baru saja akan keluar rumah ketika tiba-tiba lampunya menyala.

"Kamu pikir mau pergi ke mana, Rosanne?" tanya seseorang.

Aku menelan ludah. Membalikan badan, aku mendapati ibuku berdiri di depanku sambil berkacak pinggang.

"Ibu?"

"Aku bertanya padamu. Kamu mau pergi kemana, Rosanne?" Ibu mengulangi pertanyaannya dengan marah.

"Aku ... aku ..." aku tergagap.

"Kamu akan pergi ke pesta, bukan?" tanyanya menuduh.

Aku menundukkan kepala dan mengakui, "Iya."

"Rosangela, berapa kali aku harus memberitahumu bahwa kamu tidak boleh pergi ke pesta itu?" Ibu memarahiku.

"Semua orang boleh pergi, mengapa aku tidak?" protesku.

"Kamu tidak mengerti, Rosanne. Berbahaya keluar di malam hari saat ini," ibuku beralasan.

"Berhenti berpura-pura peduli! Aku tahu kau tidak peduli dengan keselamatanku, tetapi kau hanya ingin mengendalikanku," aku menuduhnya.

"Apa yang kamu bicarakan, Rosanne? Kamu tahu aku tidak seperti itu. Aku peduli padamu," kata ibuku.

"Berhenti bicara omong kosong! Aku tahu kau tidak peduli tentang aku. Kau hanya peduli pada dirimu sendiri," aku berkomentar dengan sengit.

"Rosanne, kau—"

"Dengar!" aku menyela, "Aku akan pergi ke pesta itu baik kau suka atau tidak, dan kau tidak bisa menghentikanku."

Aku bermaksud pergi, tetapi ibuku meraih lenganku, menahanku.

"Tidak, kamu tidak boleh pergi ke mana-mana. Apakah kamu mengerti?" tegasnya.

Aku mengibaskan tangannya dan berteriak kepadanya, "Kamu bukan ibuku. Kamu tidak berhak mengatur apa yang harus aku lakukan."

Wajah ibuku terlihat sedih. Pancaran matanya menunjukkan bahwa ia terluka mendengar ucapanku. Aku merasakan sedikit rasa bersalah tentang caraku berbicara dengannya. Tapi aku menyingkirkan perasaan itu. Tanpa melihat ke belakang, aku buru-buru keluar rumah, membanting pintu di belakangku.

Ketika aku sedang berlari menuruni tangga di teras, aku mendengar suara derit pintu yang terbuka. Aku tidak perlu menoleh ke belakang untuk mengetahui bahwa ibuku adalah orang yang membukanya dan kemudian dia mengejar aku.

Ibuku berteriak, "Rosanne, kembali ke sini kalau tidak—"

Aku berbalik dengan marah dan menukas, "Atau apa? Apa yang akan kau lakukan? Apakah kau akan mengirim aku kembali ke panti asuhan? Lakukan saja! Aku akan sangat senang jika aku bisa pergi dari keluarga yang sangat overprotektif ini."

Kata-kataku berhasil membungkam ibu angkatku.

Aku berbalik lagi dan mulai berjalan pergi.

"Rosanne, tunggu!" Ibuku memanggilku. Tapi aku mengabaikannya dan terus berlari menerobos kegelapan malam.