webnovel

Romantic Scandal

Hidup Lareina Pramudita dan Leander Arsenio berubah sejak kemunculan gosip yang mereka timbulkan sendiri. Hidup keduanya seolah tak berhenti disorot media, hingga membuat Mama mereka yang bermusuhan mulai jengah. Mama mereka mulai sibuk mencarikan calon agar gosip Rein dan Lean menghilang. Akankah gosip yang ditimbulkan hilang kala mereka sama-sama mendapat pasangan? Atau sebuah gosip baru akan bermunculan? This is Romantic Scandal.

DyahAnita · Urban
Not enough ratings
277 Chs

Dua Puluh Lima-Tali Penghalang

"Tidak ada setting-an. Tidak ada selingkuh-selingkuhan. Rein dan Miko putus karena keputusan mereka berdua."

Rein hanya diam di samping mamanya. Pagi ini dia baru saja syuting di acara talkshow. Dia telah menebak jika sepulang dari talkshow ada reporter yang mencegatnya. Akibat gosip yang beredar itu, dia kebanjiran job untuk mengisi acara talkshow. Jujur Rein senang, karena begitu dia sering muncul di tv. Tapi di sisi lain dia enggan mengulang jawaban yang sama saat di acara talkshow.

"Permisi ya, saya dan Rein buru-buru," ucap Sarah sambil menarik Rein yang berdiam diri di sebelahnya itu lantas masuk mobil.

"Huh...." Saat di dalam mobil, Rein menghela napas lega. Dia tidak nyaman dikerubungi banyak orang seperti tadi, membuatnya sesak bernapas dan tidak tenang.

"Rein. Harusnya kamu tadi jawab pertanyaan mereka. Bukan malah diam." Sarah menoleh ke anaknya yang akhir-akhir ini lebih banyak diam itu. Dia memahami jika Rein enggan menanggapi gosip itu. Namun, sebagai public figure mereka dituntut berprilaku baik agar disukai masyarakat.

"Rein bosen, Ma, jawab pertanyaan kayak gitu," jawab Rein kesekian kalinya.

Bibir Rein terbuka saat melihat mamanya hendak melayangkan bantahan itu. Bertepatan dengan itu, ponselnya berbunyi. Rein buru-buru membuka tasnya dan melihat nama Dava muncul di layar.

"Huh...." Rein menghela napas lelah. Sejak dua hari yang lalu Dava gencar mendekatinya. Bahkan lelaki itu meminta bertemu seminggu lagi, tapi Rein tidak mengiyakan ataupun menolak. Dia lebih banyak diam.

"Angkat dong, Rein."

Sarah melihat keengganan dari raut anaknya itu. Dia sering mendengar cerita dari Dava jika Rein sering acuh tak acuh. Hal itu membuat Sarah gencar mendekatkan Rein dengan Dava. Baginya Dava kandidat terbaik dan paling tepat untuk Rein.

Belum sempat Rein mengangkat, ponsel itu berhenti berbunyi, membuatnya langsung tersenyum. Dia lalu mengaktifkan mode senyap agar dia tidak tahu jika Dava menelepon.

"Rein. Mama tanya, kenapa kamu sering cuekin ke Dava?" Sarah memutar tubuh hingga menatap Rein dari samping. Dia mendapati Rein memijit pelipis dengan bibir tertekuk ke bawah.

"Rein nggak suka sama Dava, Ma. Dava cuma masa lalu Rein," jawab Rein tanpa menatap mamanya itu.

Rein menatap ke depan dengan pandangan menerawang. Dia ingat dengan Lean. Lelaki yang sering mengirimkan pesan untuknya. Sejak kejadian kepergok mamanya, Rein tidak pernah lagi bertemu dengan lelaki itu. Mereka hanya bertukar kabar via telepon.

Berjauhan dengan Lean membuat Rein merindukan lelaki itu. Merindukan lelaki menyebalkan tapi selalu membuatnya tenang. Mendadak dadanya seolah terhimpit oleh perasaan yang sekarang dia rasakan.

"Dava yang terbaik, Rein. Kamu tahu, kan, kenapa mama nggak setuju kamu sama Lean?"

"Karena Lean anak musuh mama, kan?"

Sarah terdiam. "Mama udah ketemu Atika dan sempat bahas masa lalu"

Mata Rein membulat sempurna mendengar kalimat itu. Dia menatap mamanya dengan pandangan menyelidik. "Bahas masa lalu? Itu artinya mama udah baikan?"

"Nggak bisa dibilang baikan juga." Sarah duduk bersandar sambil melipat kedua tangan di depan dada. Bisa dibilang mereka hanya menuntaskan masalah di masa lalu. Setelah itu mereka sepakat untuk menjauh.

"Kok gitu?" tanya Rein tidak menutupi keingintahuannya.

Sarah membuang muka sejenak lalu mulai bercerita. "Awalnya mama minta supaya Atika jagain Lean. Biar Lean nggak deketin kamu."

Rein menggeleng, tidak percaya dengan tindakan mamanya yang seperti itu. "Terus apa yang terjadi?"

"Mama sama Atika mengakui kesalahan di masa lalu. Tapi kami sepakat, tetap menjauhkan kalian. Biarkan hubungan kami kayak gini. Nggak ada orang lain yang tahu. Nggak perlu terlalu dekat dan membuat perpecahan itu terjadi lagi."

Seketika Rein menunduk. Dia tidak tahu jalan pikiran kedua orang itu. Jika sudah baikan harusnya tidak mempermasalahkan kedekatan anak mereka. Rein memejamkan mata saat air matanya hendak keluar. Jika mamanya tetap seperti ini, Rein takut tidak bisa bersatu dengan Lean.

Tes.

Sebelum mamanya mengetahui Rein menangis, dia menghapus air mata itu dengan tangan. "Ma. Mama pernah mikir nggak, kalau sebenarnya yang paling rugi di sini itu Rein sama Lean?" tanyanya dengan napas tercekat.

Sarah menoleh dan menatap Rein bingung. "Maksud kamu apa? Nggak ada yang rugi."

Tanpa bisa dicegah air mata Rein turun dengan sendirinya. Di pikirannya sibuk membayangkan dirinya dan Lean yang tidak bisa bersama, membuatnya menjadi cengeng. "Rein sama Lean sama-sama punya perasaan. Perasaan yang seharusnya bisa memiliki satu sama lain. Tapi karena mama dan Tante Atika, kami kenapa imbasnya, Ma."

Rein mengangkat wajah sambil menghapus air mata yang membasahi pipi. "Rein ada rasa ke Lean. Apa mama dan Tante Atika tega memisahkan dan itu anak kalian sendiri?"

Sarah bungkam. Sebelumnya dia yakin jika bisa membuat Rein bersam Dava. Tapi mendengar ucapan anaknya barusan, hati Sarah sakit. Haruskah dia mengalah?

***

Jreng...

Lean memetik gitar dengan asal sambil pandangannya tertuju ke balkon sebelah. Ingatannya berkelana saat dia dan Rein sedang menjalankan misi menyatukan mama mereka. Jika diingat rasanya terlalu cepat. Tahu-tahu, sekarang mereka saling berjauhan, seperti sebelumnya.

Sekarang Lean sedang di Batu, di hotel tempatnya dan Rein menginap dulu. Lean memang sosok yang sentimental. Dia memasan kamar yang sama dengan kamar yang pernah dia tempati. Hal itu membuatnya semakin merindukan Rein.

Lean tertunduk saat dadanya tiba-tiba sesak. Dia rindu ke Rein dan hanya bisa menumpahkan kerinduaannya lewat ponsel. Jika Rein sibuk, Lean akan menonton video clipnya di mana ada Rein. Bahkan saat ada waktu luang, Lean menyempatkan menonton sinetron yang dibintangi Rein. Atau membicarakan situs gosip yang mengulas tentang Rein.

Beberapa hari lalu, Lean bahkan mangkir dari jadwal latihan, demi melihat Rein live di acara talkshow. Dia melihat bagaimana enggannya Rein saat menjawab pertanyaan host mengenai gosip yang beredar. Rasanya Lean ingin ada di sana, menenangkan Rein dan menariknya pulang. Setelah itu dia akan menghibur sampai gadis itu kembali bahagia. Dada Lean semakin sesak memikirkan rencananya, tapi hanya sebatas rencana itu.

"Lean!! Kamu ngapain?"

Lean mengangkat wajah, menoleh ke belakang dan melihat maminya berdiri di penghubung balkon. Dia tersenyum tipis lalu kembali memetik sentar gitar. "Nggak ngapa-ngapain kok, Mi."

Atika melihat anaknya yang sangat berbeda dengan sebelumnya itu. Lean lebih banyak diam. Saat ditanya hanya dijawab seperlunya, bahkan terkadang Lean memilih bungkam. Kemarin sore, Atika mengajak Lean pergi, tapi anaknya itu menolak. Hal yang sangat jarang Lean lakukan, kecuali lelaki itu sedang sibuk.

Tanpa bertanya Atika tahu sumber permasalahannya. Tentu soal hati dan gadis bernama Rein. Sejak pertemuannya dengan Sarah, Atika memang selalu ikut ke manapun Lean pergi. Dia tidak ingin Lean menemui Rein dan berimbas dengan gosip yang tidak-tidak itu. Sayangnya, apa yang dia takutkan tidak dimengerti anaknya. Atika tahu kalau diam-diam Lean menghubungi Rein.

Perlahan Atika mendekat dan berdiri di belakang Lean. "Le. Kamu masih memikirkan Rein?" tanyanya seraya mengusap pundak anaknya itu.

Lean menghentikan bermain gitar. Dia meletakkan benda itu di sebelah kaki lalu mengusap wajahnya lelah. "Kalau iya memang kenapa? Mami mau ngelarang, kan? Nggak bisa, Mi. Mami nggak bisa nyangkal perasaan Lean. Sama sekali nggak bisa."

Atika memeluk Lean erat. Dia merasa ini yang terbaik, tapi melihat anaknya berubah membuatnya bimbang. Dia sepakat dengan Sarah untuk tidak kembali berurusan. Itu adalah cara terbaik menurut mereka.

Cara yang mereka anggap baik itu ternyata tidak menjadi cara terbaik bagi anaknya. Atika bimbang. Apakah dia harus mengalah dan membiarkan Rein dan Lean bersatu? Lalu gimana sama gosip? pikirnya. Mereka sudah dewasa. Pasti bisa mengatasi masalah mereka sendiri.

"Kamu begitu mencintainya?"

Lean menatap maminya yang terlihat sendu itu. "Sangat, Mi," jawabnya mantap.

Rasa sesak itu kembali menghampiri Lean. Perasaan yang dia pendam beberapa kali membuatnya susah bernapas. Sakit memang memendam perasaan yang tidak kunjung diungkapkan.

"Apa mami harus mengalah lagi?"

"Maksud Mami?"

Atika tersenyum tipis. Dia melepas pelukannya lalu berjalan menuju pinggiran balkon. Dia menatap pemandangan hijau di depannya itu. "Mami sudah tuntasin masa lalu sama Sarah."

"Kapan, Mi?"

Lean seketika berdiri dan mendekati maminya. Entah kenapa dia merasa akan ada hal baik. Jika maminya dan mama Rein sudah baikan, maka Lean bisa bersatu dengan Rein. Memikirkan hal itu membuat Lean tersenyum.

"Beberapa waktu yang lalu. Mami juga sempat membahas tentang kalian. Mami dan Sarah memutuskan untuk tidak kembali dekat dan berimbas perpisahan. Itu juga berlaku buat kamu dan Rein."

Senyum Lean seketika pudar. Harapannya tidak terwujud, malah hal buruk yang dia dengar dari maminya. "Mi. Kenapa Lean sama Rein kena imbasnya? Ini nggak adil sama sekali! Lean mencintai Rein!!" Setelah mengucapkan itu Lean masuk kamar.

Atika menoleh sekila melihat anaknya yang kecewa itu. Dia masih diam di posisinya. Apa dia salah mengambil langkah?

Atika memejamkan mata. Dia merasa ucapan Lean ada benarnya. Ini tidak adil untuk Rein dan Lean yang saling mencintai. Atika perlahan membuka mata. Apa aku harus mengalah?