webnovel

Apa Kau Vampir?

Setelah pertarungan epic di lapangan bulu tangkis, Leo memilih kembali ke kelas. Ia berjanji untuk menemui Fana setelah selesai kuliah pada sore hari. Di sepanjang jam kuliah, Fana terus dibuat penasaran dengan apa yang ingin Leo sampaikan. Begitu banyak teori hingga khayalan yang melambung tinggi tentang siapa sebenarnya Leo.

"Apa dia dewa? Werewolf? Penyihir? Atau mungkin alien!"

Kepala Fana terus dipenuhi oleh rasa penasaran, hingga ia tidak fokus pada kuliahnya.

"Akhirnya, selesai juga kuliah hari ini." Salah seorang teman Fana langsung bersantai menyandar di kursinya.

"Fana?" Ia melihat Fana langsung beres-beres dan pergi keluar kelas.

Fana segera mencari keberadaan Leo. ia mendapatkan pesan bila Leo akan menunggunya di halte bus di depan pintu gerbang kampus Politeknik. Ia berada di halte dekat dengan danau.

"Kenapa jauh sekali lokasi pertemuannya! Apa dia mau membunuhku!"

Fana sudah sangat lelah, mulai dari keluar dari kelas, ia sudah berjalan cepat dan berlari kecil. Dan saat melihat Leo sedang duduk di halte membelakangi dirinya yang berada di seberang jalan, Fana langsung merasa lega.

Ia segera menghampiri Leo dan menyapanya. Fana duduk di samping Leo sambil menenggak air mineral miliknya. Ia menghabiskan satu botol air mineral dengan sangat cepat.

"Jadi, kita mau makan di mana?" tanya Fana.

"Karena kita mau membicarakan hal yang sangat penting, aku akan mengajakmu untuk makan di restoran saja, tapi sebaiknya sekarang kita naik bus dahulu untuk ke stasiun."

Leo bangun dan segera menghampiri bus yang sedang berjalan ke arah halte. Fana mengikuti Leo dari belakang. Saat bus sudah tiba dan pintu terbuka, mereka berdua masuk. Keduanya duduk di bagian belakang bus.

Fana dimanjakan dengan embusan AC bus yang terus ke arahnya. Leo yang melihat betapa kampungnya Fana hanya bisa menggelengkan kepalanya. Untungnya saat itu bus jemputan para mahasiswa sedang sepi.

"Kau lebih baik bila tanpa topi, kenapa kau terus menggunakan topi itu?" pikir Fana.

"Aku punya masalah dalam bersosialisasi, lebih baik begini dan tidak terlihat, itu akan jauh lebih nyaman untukku," jawab Leo.

"Benarkah? Padahal dunia kuliah adalah dunia yang memungkinkanmu untuk bergaul dengan berbagai macam teman. Kuliah tanpa teman, itu seperti hidup lama dengan bergelimang harta namun tetap kesepian."

Tanpa sadar, ucapan Fana telah menyindir Leo. Mendengar ucapan Fana, Leo merasa itulah yang sedang ia rasakan. Sudah kurang lebih sekitar 500 tahun, ia selalu berganti masuk sekolah ataupun menjadi mahasiswa, namun semuanya berakhir dengan kesepian.

"Apa aku terlalu tertutup?" tanya Leo.

"Entahlah, setelah melihat dirimu di lapangan bulu tangkis, aku merasa kau memiliki penyakit psikis," sindir Fana.

"Kau mengira aku mengidap penyakit apa?" Leo merasa tersindir.

"Mungkin alter ego, kepribadian ganda, atau kau sedang kerasukan?" pikir Fana.

"Maaf, tapi semua yang kau sebutkan semuanya salah." Leo merasa jengkel.

"Lalu apa? Apa kau seorang introvert? Socially awkward?" tanya Fana.

"Itu bisa dikatakan benar, tapi dari mana bahasa socially awkward, aku baru mendengarnya?"

Bus berhenti di halte dekat stasiun, mereka berdua segera turun dan berjalan menuju ke stasiun.

"Kau tidak tahu bahasa gaul yang sedang tren saat ini? Dasar, udik …."

Fana menahan tawanya. Ia jalan lebih dulu meninggalkan Leo di belakang.

"Hah? Udik?"

Leo merasa dirinya seperti kakek tua yang sudah hampir hidup selama satu abad.

Mereka berdua langsung menuju ke peron tujuan Jakarta. Leo terus jalan hingga ke peron ujung yang diikuti oleh Fana dibelakangnya. Fana mengingat waktu pertama kali ia naik kereta bersama Leo. Mereka berdua memilih untuk duduk di bangku besi, tanpa disadari Leo, Fana terus mencuri pandang ke arah wajah Leo.

Tanpa sadar, Leo melirik balik Fana. Keduanya berhenti dengan saling tatap. Fana melihat jelas bagaimana bentuk alis tebal milik Leo, lekukan hidung yang sangat indah, bibir merah muda yang begitu lembut, serta pipi yang merona.

"Kenapa?" tanya Leo.

"Hah? Nggak!"

Fana langsung membuang wajahnya.

Kereta tujuan Jakarta-kota tiba, mereka berdua segera masuk ke dalam gerbong. Sayangnya di hari itu begitu penuh, mereka berdua memilih untuk berdiri dan saling berhadapan satu sama lain.

Fana terus melihat wajah Leo, tingginya memang berada di bawah Leo, namun Fana merasa ia begitu nyaman saat berdiri di dekat Leo. Fana juga merasakan aroma parfum yang bercampur dengan keringat yang membuatnya sangat terhipnotis.

"Ada apa?"

"Kenapa dari tadi kau terus melihatku?"

"Apa kau suka denganku?"

Tiga pertanyaan Leo membuat Fana malu sendiri. Fana langsung menundukkan kepalanya. Ia memegang erat jaket bomber Leo.

"A-aku hanya penasaran, sebenarnya kau itu makhluk apa?"

Fana nampak malu saat melontarkan pertanyaan itu.

"Menurutmu, aku ini apa?" tanya Leo.

"Aku tidak tahu, tapi ada beberapa jawaban yang kukira bisa jadi itu benar," pikir Fana.

"Apa itu?" Leo penasaran.

"Apa kau dewa?" Tebakan pertama Fana.

Leo tersenyum, ia merasa ingin tertawa. "Aku bukanlah dewa, memang penampilanku seperti dewa apa?"

"Goblin! Itu yang aku pikirkan!" Fana merasa malu.

Leo tertawa kecil, "Kau terlalu banyak menonton drama Korea. Goblin itu bukan dewa, melainkan siluman."

"Lalu, apa? Malaikat maut?" tanya Fana.

"Kau masih menebak dari drama Korea yang sama?" sindir Leo.

"Aha! Apa mungkin kau itu rubah berekor sembilan? Si gumiho?" pikir Fana.

"Apa aku punya sembilan ekor? Itu juga salah!" Leo merasa jengkel bila dirinya harus disandingkan dengan rubah.

"Lalu apa! Aku tidak bisa berpikir lagi …." Fana mulai menyerah.

"Hmmm, clue pertama, aku tidak tahan dengan matahari." Leo coba membuat Fana kembali bersemangat.

"Hah? Kau tidak suka matahari? Harusnya gunakan sunblock," pikir Fana.

"Bukan, bodoh …." Leo merasa seperti sedang berhadapan dengan anak bocah generasi micin.

"Lalu apa! Kau itu siluman? Ogre? Setan? Iblis? Malaikat? Werewolf? Atau vampir?"

Semua makhluk aneh disebutkan oleh Fana.

"Yang terakhir, itu benar." Leo mengambil ponselnya. Ia mengirim pesan ke Alfred untuk menjemputnya.

"Vampir?" Fana merasa ragu.

"Em, vampir, kenapa memangnya?" Leo melihat wajah Fana.

"Itu mustahil, kau itu tidak memiliki kharisma, dan wajahmu memang tampan, tapi tidak pucat putih layaknya si Robert Pattinson." Fana menatap wajah Leo.

"Memangnya gambaran tentang vampir harus disandingkan dengan dia? Kau itu terlalu banyak menonton fantasi." Leo merasa diremehkan.

"Lalu bagaimana kau bisa membuktikan bila kau vampir?" tanya Fana.

"Bukankah pertempuran tadi pagi di lapangan bulu tangkis hingga ada vampir menjadi abu sudah cukup membuktikannya? pikir Leo dalam hati.

"Menurutmu vampir harus seperti apa?" tanya Leo.

"Hmmm, dia harus berkulit putih terang layaknya berlian, lalu tatapan matanya tajam dan berwarna biru, dan memiliki taring di giginya." Fana hanya bisa menjelaskan hal yang ia tahu saja.

"Referensi dari film, kah?" tanya Leo.

"Iya," jawab Fana.

Kereta mereka akhirnya berhenti di stasiun tujuan. Leo memandu Fana untuk keluar dari stasiun. Ia melihat layar ponsel, ada pesan chat masuk dari Alfred.

Leo segera bergegas untuk menemui Alfred yang sudah berada di depan pintu masuk stasiun.

"Tuan muda, apa kau yang mengirim Ares ke rumah? Ia datang seperti paket online shop, hanya saja tanpa struk dan bukti ongkos kirim," sindir Alfred.

"Kau sudah periksa cincinnya?" Leo melirik Fana yang bersembunyi di belakang dirinya.

"Sedang diperiksa. Lalu, dia siapa?" Alfred melirik Fana.

Fana bergeser dan menunjukkan dirinya, "Halo, salam kenal, aku, Fana."

Alfred langsung menoleh ke arah Leo. Tatapannya seakan-akan menjurus ke Leo dan mengatakan, "apa yang sudah kau perbuat?"

"Apa kau hamil?" tanya Alfred.

"Hah!" Leo langsung berteriak.

"Ti-tidak!" Fana langsung membantah.

"Lalu, apa kau ingin dinikahi olehnya? Sudah lamaran?" tanya Alfred lagi.

"Alfred hentikan! Dia tidak hamil, atau akan menikah denganku! Aku akan menjelaskannya di mobil." Leo menggenggam tangan kanan Fana.

Ia menarik Fana dan membawanya menyeberang jalan menuju ke mobil. Alfred yang melihat tingkah aneh Leo hanya bisa menerka saja.

"Ini mobilmu!"

Fana tidak percaya. Dihadapannya terpampang secara nyata sebuah mobil mewah keluaran Inggris yang harganya bisa milyaran rupiah.

"Masuklah …."

Leo membukakan pintu. Ia membiarkan Fana masuk terlebih dahulu. Lalu setelah Fana masuk, ia juga ikut masuk dari pintu lainnya.

Fana begitu takjub dengan interior mobil Leo, di hadapannya bahkan ada monitor TV.

"Kita mau ke mana, tuan muda?" tanya Alfred.

"Tu-tuan muda! Dia ini supirmu?" Fana merasa takjub.

"Iya, memang kenapa?" Leo nampak bingung.

"Sebenarnya seberapa kaya dirimu?" Fana merasa penasaran.

"Percayalah, Nona. Dengan uangnya, tuan muda bisa hidup tanpa bekerja selama 300 tahun." Alfred menjalankan mobilnya.

"Apa! Kau sekaya itu!" Fana benar-benar dibuat tidak habis pikir.

"Kau lebih kaya dari Bruce Wayne!" Fana bahkan bertepuk tangan karena kagum.

"Bruce Wayne hanya tokoh fiktif, dan aku, mungkin juga?" Leo malah berpikir ia adalah tokoh dalam dunia film atau buku.

"Jadi, kita pergi ke mana?" tanya Alfred.

"Mansion mewah keluarga Constantine, alias pulang ke rumah, Alfred." Leo tersenyum.

Next chapter