webnovel

Anak SMA

<p>Satu minggu pun berlalu, gue ikut ospek siswa baru di SMA Anjiman ini. Jalan-jalan keliling gedung sekolah, kenalan sama orang-orang baru, para kakak kelas yang bertugas jadi senior, dilatih mental hampir seharian, dan waktu penutupan juga gak ada yang aneh-aneh. Pokoknya saat itu, pikiran gue gak kemana-mana. Fokus aja sama tugas nyeleneh para senior kalau dah tebak-tebakan barang bawaan per harinya. Penutupan orientasi juga cukup meriah, ada acara adu bakat untuk para siswa dan siswi baru yang diundang karena bakatnya, lomba-lomba kecil kek adu kekompakan, ditambah suguhan luar biasa dari kelas sebelas dan dua belas. Ramai pokoknya, seenggaknya gue gak naruh curiga apa-apa sampai saat itu. <br/> <br/><br/>Namun, pas pulang ke rumah ada hal yang baru gue sadari. Gak ada acara musik, ataupun nyanyi di sana. Pantesan aja kalau gue pikir-pikir lagi, tu kegiatan kayak nasi tanpa garam alias hambar. Belum lagi, bangunan yang nampak gak diapa-apain sama sekali. Meski memang ada beberapa yang sedikit dipugar sih. Menurut rumor sekitar yang pernah gue denger sebelumnya, sekolah ini adalah saksi bisu sejarah kelam masa penjajahan dimana sampai sekarang masih berada di tengah-tengah hutan kota. Katanya lagi nih, tempat idaman para pelajar di sini itu memiliki cerita mistis tentang anak-anak hilang atau mati dengan diselimuti misteri. Entahlah, terlepas dari bener apa enggaknya gue lebih penasaran soal ketiadaan hal yang seharusnya lumrah bahkan bikin suasana makin menggugah anak-anak muda yaitu seni musik. Dilihat dari demo ekstrakurikuler pun, gak ada yang namanya paduan suara, apalagi sampai kelompok drama. Ya pokoknya, yang gak ada musik-musiknya. Sampai sekarang gue juga gak paham, padahal gue cukup tertarik sama yang namanya ekskul drama gitu. Emang sih, gak ada keahlian khusus tapi gue dah suka sejak awal sama yang kayak gini. Kali-kali, mungkin gue harus nanya ke nyokap ataupun bokap soal masalah ini. Siapa tahu ada yang lebih paham kenapa semua kejanggalan ini bisa terjadi. <br/> <br/><br/>Gak kerasa udah satu bulan aja sekolah di sini. Oh iya, gue masuk kelas IPA tiga. Gue sebenernya pingin masuk kelas IBB (Ilmu Bahasa dan Budaya) sih cuman sayang, seperti yang gue bilang sebelumnya soal kesenian emang cukup payah secara praktek cuman ahli teori doang. Jadi, ya udahlah pasrah aja sama keputusan sekolah. Lagian ini juga dah sesuai bakat alami gue, pintar matematika. Gak banyak yang mau diceritain soal kisah di kelas, ataupun pas pembagian kelas. Semua tampak normal dan sesuai pada tempatnya. Sampai tiba di mana anak kelas IBB ngobrolin soal larangan bawa alat musik atau kegiatan nyanyi meskipun cuma humming. Emang aneh sih, gue gak terlalu kenal sama mereka tapi sering denger curhatan mereka kalau di kantin. Ada yang nyesel, sedih, heran, bahkan sampai kecewa karena bakat dia gak tersalurkan dengan adanya peraturan kek begini. Mereka gak happy banget kelihatannya. Oh iya, bukan hanya di kelas sebelah. Kelas gue pun cuma belajar teori doang kalau dah bahas soal musik jadi, sempat berpikir buat pindah ke kelas itu soalnya sasaran empuk buat nuangin ekspresi dan kesukaan gue yaitu melukis. Untungnya ekstrakurikulernya ada sih, sehingga gak nyesel juga masuk ke kelas ini. Ngomong-ngomong soal materi seni budaya, selain adanya pembatasan di SMA Anjiman ini, ada juga sanksi tegas yaitu dikeluarin dari sekolah buat siapapun yang ngelanggar peraturan itu tanpa pandang bulu. Ngeri emang tapi, itu gak terlalu berpengaruh buat gue sih.<br/> <br/><br/>Sampai pada suatu hari ketika petang pukul empat sebab full day school, gue pergi ke perpustakaan. Karena bosan banget, nungguin guru pada rapat. Emang sih ada tugas cuman, karena kebetulan persoalan matematika jadi gue selesai lebih awal. "Eh lo, mau kemana?" kata Randi. "Gue mau ke perpus, lo mau ikut?" gue balik nanya. "Bukan gak mau santai tapi, ini masih banyak. Bantuin dong, lihat jawabannya. Please...," dia ngerengek, geli banget sama pemandangan kek gini. "Ogah, kalau bantu ngasih tahu rumus sih boleh aja," membereskan meja yang berceceran buku-buku. "Ya, trik dong. Atau sinilah bukunya," dia hendak merampas. "Eh, apaan sih? Kerjain sendiri. Gila aja minta trik atau gak langsung jawaban, makanya belajar dong...," mengamankan buku tugas itu. "Lo gak friend. Lo, pelit. Lo mau kuburan lo sempit?" dia mengancam. "Biarlah, gue gak peduli. Itu urusan nanti Bro, orang kayak lo kalau terus diturutin bisa ngelunjak. Nanti, lo manfaatin gue. Dan lebih parah lagi, lo nanti kalau bodoh siapa yang tanggung jawab?" mendekat wajahnya. "Oh iya, nilai bagus gak ada apa-apanya ketimbang masa depan lo. Camkan Sob," gue tulis rumus di kertas coretan miliknya. "Tetep jadi ke perpus?" dia nanya lagi. "Iya lah.... Tapi tenang, gue gak niat santai-santai kok. Cuma mau ngulas materi bimbel, gak usah iri!" menepuk bahunya. "Kalau gue jadi lo, ke kantin aja padahal," menengok sebelum menulis lagi. Setelah sempat menoleh gue jalan terus keluar, lagian kalau ke gep juga udah jelas baca buku. <br/><br/><br/>Sesampainya di sana, gak ada tuh penjaga perpustakaan. Mungkin lagi sholat kali ya ke mesjid. Emang sih, perpustakaan sore-sore di sekolah ini suka sepi. Tapi, entah kenapa gue malah happy soalnya gue bisa tenang baca buku tanpa keganggu orang yang cuma numpang Wi-Fi sama ngobrol di dalam. Harusnya sih gue takut sih tapi, gue juga bisa berpikir cukup rasional kalau siang atau sore hari mana ada hantu hehe. Nah kalau malam, pikiran gue pasti gak akan tenang tuh, apalagi kalau sendirian. Emang aneh tapi itulah gue, dalam mindset pribadi udah melekat kalau hantu atau arwah keluarnya malam. So, gue pikir selama masih ada matahari mah aman.<br/><br/><br/>Udah hampir jam setengah lima, gue udah selesai ngulas materi bimbel kemarin. Gue bosen, gak ada yang ngejemput atau ngehubungin kalau guru udah pada balik ngajar lagi. Iseng gue jalan-jalan ke perpustakaan di lantai tiga. Tempatnya emang jarang terjamah sih keliatannya, buku-buku pun nampak berdebu dan sudut ruangan penuh dengan sarang laba-laba. Meskipun begitu, gak ada tanda larangan buat orang ataupun para siswa buat mampir kalau mau. Antara sayang dan gak peduli juga ruangan ini rasanya asing banget bahkan seakan-akan punya suasana tersendiri. Di mana kecurigaan gue semakin kuat waktu nyium aroma tembok lembab dan ngeliat lantai yang agak sedikit kotor. Padahal gue tahunya, seseorang selalu ngebersihin tempat ini setiap pagi tapi keknya sama sekali gak ada perubahan. Gue perhatiin masih banyak buku yang tertata dengan rapi di dalem lemari tua yang juga masih keliatan sangat kokoh. Kalau diperhatiin kayaknya ruangan ini mirip sama gudang yang isinya buku-buku lama yang sering gue temuin di pasar loak. Buku-buku usang dengan kurikulum pendidikan lama. Di pojok dekat pohon besar di balik sisi samping jendelanya ada lemari yang menghimpun data-data para alumni sekolah ini. Terkadang gue takut tapi penasaran dan, disinilah semua petaka itu berawal.</p>

Notes:

Humming (b. Inggris) artinya deruman

Happy (b. Inggris) artinya senang

Please (b. Inggris) artinya tolong

Friend (b. Inggris) artinya teman

PenMancreators' thoughts