webnovel

REWRITE THE STAR'S

"Kamu adalah kata semu, yang tak jua menemukan titik temu." Arunika Nayanika, gadis cantik pemilik netra hitam legam dan pipi bolong disebelah kiri. Terkenal tidak bisa diam juga asal ceplas-ceplos saat berbicara, membuat gadis itu banyak memiliki teman, meski hanya teman bukan sosok yang benar-benar berarti dalam hidupnya yang disebut sahabat. Gadis yang sering menguncir kuda rambutnya itu adalah gadis yang rapuh. Dibalik sifat bar-bar dan asal ceplosnya, ia memiliki trauma berat dengan segala hal yang disebut 'rumah'. 'Rumah' yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk kembali, saat dunia menyakiti. Namun tidak, untuk sosok Arunika. Sekolah, menjadi tempatnya melepaskan luka dan trauma pada 'rumah'. Hingga, Tuhan mengirimkan sosok luar biasa bernama Sandyakala Lazuardi. Sosok dingin, ketus, pedas dan misterius. Yang mampu membuat Arunika menemukan arti 'rumah' sebenarnya. Namun, berbanding terbaik. Menurut Sandyakala bertemu Arunika adalah kesialan dalam hidupnya, yang tak seharusnya tertulis dalam lembar cerita.

Mitha_14 · Teen
Not enough ratings
214 Chs

Perhatiaan Alterio

Goresan 18; Perhatiaan Alterio

Terima kasih, Alterio.

- Arunika

----

Motor sport hitam kesayangan Alterio, berhenti tepat dipelataran parkiran rumah sakit terbesar di Jakarta. Beberapa pasang mata menatap laki-laki itu tanpa berkedip atau bahkan ada juga yang mangap tanpa berniat mingkem.

Alterio yang baru saja melepaskan helm full face nya, tersenyum sinis melihat perempuan-perempuan itu. Seperti melihat daging segar saja, yang siap diterkam kapan saja. Ah sayang sekali, Alterio bukan laki-laki yang seperti itu.

Fokusnya hanya satu, melihat bagaimana keadaan Arunika sekarang. Apakah sakit gadis itu cukup parah atau tidak. Bersamaan kecemasan yang Alterio bawa, langkahnya terus masuk kedalam rumah sakit dan melewati tiap lorong dengan raut wajah khawatirnya.

Setengah jam yang lalu Mamanya mengirimi pesan, bahwa Arunika dan sang Mama sudah sampai dirumah sakit dan akan melakukan pengobatan dibangsal Melati nomor 133 dan disinilah laki-laki itu berada, didepan ruangan yang sudah lima menit yang lalu Mamanya kirimkan lewat pesan.

Ketukan pintu dan pintu yang mulai dibuka, membuat penghuni didalam ruangan menatap keambang pintu, dimana sosok Alterio yang sudah merubah raut wajahnya menjadi datar.

"Alterio.. sini sayang," Mama tiri Alterio menyuruh laki-laki itu mendekat.

"Jadi, saya harapkan Arunika untuk dirawat dirumah sakit selama lima hari ya, sambil kita tunggu perkembangan selanjutnya."

Tiba-tiba saja Arunika menggeleng, membuat Mama dan Alterio menatap kearah Arunika.

"Saya rawat jalan aja, Dok." Arunika kekeh pada pendiriannya.

Alterio menghela nafas. "Dok, tolong dibuat aja surat rawat jalannya."

"Tapi, saya harap Anda selalu memantau keadaan Arunika." Alterio mengangguk mantap.

Arunika tersenyum dan memberikan jempolnya pada Alterio, laki-laki itu hanya bisa mendengus sebal dan memutar bola matanya. Ingatkan satu hal, jika ini semua demi sosok Arunika yang selalu ada dalam hatinya, sosok yang sangat teramat berjasa dalam hidup Alterio.

°°°

Sandyakala menghela nafas kala sejak tadi ia tak bisa fokus dengan buku yang ada ditangannya, bukan karena beberapa teriakan yang berhasil masuk kedalam perpustakaan atau suara hantaman buku dengan meja yang sesekali mengurangi kesunyian tempat ini. Bukan, itu semua karena sosok Arunika yang tidak tahu kemana hilangnya, bahkan gelagat Alterio seakan menandakan jika Arunika bersamanya, tapi apakah benar adanya?

Laki-laki itu menghela nafas kasar, entahlah sudah kesekian berapa kalinya helaan nafas itu terdengar begitu melelahkan dipendengaran Sandyakala sendiri, mengapa juga pikirannya jadi bercabang memikirkan Arunika? Gadis yang bahkan tidak seharusnya ada dalam hatinya.

Bunyi kursi yang ditarik didepannya, membuat Sandyakala melihat sosok yang baru saja duduk disana. Senyum gadis itu, membuat raut wajah Sandyakala semakin datar, bahkan diam-diam ia mengumpat karena semua ini karena sosok didepannya ini.

Anna Pertiwi.

"Hallo Sandyakala, maaf ya kemarin aku tiba-tiba peluk kamu gitu aja, tapi makasih ya karena kamu masalah aku setidaknya terselesaikan." Sandyakala hanya mengangguk singkat, sebelum akhirnya ia memilih berdiri.

"Eh, kamu mau kemana? Aku baru aja sampai." Anna menatap Sandyakala dengan tatapan memelasnya.

"Kelas."

Anna menghela nafas kala Sandyakala yang sudah berlalu dan meninggalkan perpustakaan, hingga tiba-tiba sebuah ide muncul membuat perempuan itu berlari dan menarik pergelangan tangan Sandyakala, sampai membuat laki-laki itu berhenti dan berbalik.

Sebelah alisnya terangkat, menandakan ia bertanya 'kenapa'

"Pulang sekolah aku boleh minta ajarin soal matematika gak Sandyakala? Ada beberapa soal yang nggak aku faham." Sandyakala hanya mengangguk dan kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Anna yang diam-diam tersenyum ditempatnya.

Sandyakala sengaja mengangguk, karena ia tidak mau lebih lama lagi dekat dengan Anna entah mengapa. Padahal, seharusnya ia sadar jika semua ini berawal karena dirinya.

°°°

Arunika menuruni mobil dan menatap Alterio yang juga baru saja turun dari motor sport miliknya.

"Gue berasa pejabat.." Arunika tertawa pelan membuat Alterio memutar bola matanya malas.

"Ngarep lo." Sarkas Alterio, membuat Arunika tertawa.

Keduanya sama-sama berjalan masuk. Jika kalian bertanya mengapa hanya berdua kemana perginya Mama tiri Alterio? Beliau pergi untuk memberi beberapa keperluan didapur, jadi disaat keluar dari rumah sakit mereka berpisah.

Arunika duduk disofa.

"Mbak, tolong buatin Arunika susu hangat ya. Putih jangan lupa," Pembantu dengan pakaian khas keluarga Baswara mengangguk patuh dan mulai mengambilkan apa yang Tuan mudanya inginkan.

"Loh, kok lo tau sih gue suka sama susu putih?" Arunika menarik sebelah alisnya bingung.

"Nebak aja sih, emang bener?" Pertanyaan Alterio membuat Arunika mengerutkan dahi, sebelum akhirnya ia mengangguk.

"Gue nggak nyangka lo cenayang yang berbakat." Arunika tertawa pelan.

Tanpa gadis itu sadari, jika Arunika sudah membuat jantung Alterio berdetak tak karuan karena ulah gadis itu. Bahkan, hampir saja jantungnya copot atas tuduhan Arunika untuk otak pintarnya ini bisa membantunya dalam keadaan susah dan wajah datarnya menambah semua jadi mudah.

Pembantu yang tadi Alterio suruh kembali datang keruang tamu, membawa nampan dengan gelas diatasnya yang berisi susu juga camilan.

"Makasih ya, Mbak." Arunika tersenyum sopan, membuat Mbak pembantu Alterio mengangguk sopan.

Setelah kepergian pembantu Alterio, keduanya diliputi keheningan. Arunika yang mulai fokus memakan camilan didepannya.

"Gue kira kalau sakit, nafsu makan lo bakal berkurang dan ternyata gue salah."

"Gue nggak bisa makan setenang ini sih, jadi nggak usah banyak komen." Arunika memutar bola matanya.

"Anjir, jadi yang Tuan rumah disini siapa sih? Lo apa gue?" Pertanyaan Alterio membuat Arunika menatap laki-laki didepannya itu.

"Gue..." Setelah jawaban Arunika tawa menyembul keluar, memenuhi ruangan.

"Sebahagia lo deh." Alterio memutar bola matanya malas.

"Thanks ya, dah mau bantu gue." Arunika menatap Alterio sambil tersenyum begitu manis dan begitu tulus, membuat Alterio terdiam sejenak dunianya berhenti sejenak. Ya, hanya dunianya.

Cukup lama Alterio terdiam, hingga akhirnya ia kembali kealam sadarnya, bukan karena sesuatu yang mengusiknya. Tapi, karena entah akan sampai kapan Arunika tidak menyadarinya jika disini Alterio begitu menyukai gadis itu.

"Ya."

Alterio berdiri dari duduknya dan berbalik, matanya bersitatap dengan Papa dan Mamanya yang entah sejak kapan sudah berdiri diambang pintu dengan tatapan dan raut wajah masing-masing.

Sial!

°°°

"Oh, jadi ini tuh dikurang ya? Kalau misal ditambah dulu nggak bisa gitu?" Anna bertanya pada Sandyakala yang duduk disebrang mejanya, dengan tangan yang sejak tadi mencoret kertas didepannya hingga menjadi angka. Ah, lebih tepatnya laki-laki itu tak henti menghela nafas.

"Iya."

Sandyakala melihat jam dinding di perpustakaan yang sudah menunjuk keangka empat sore, sudah satu jam semenjak mereka duduk didalam ruangan ini dan ini sudah waktunya berakhir.

"Gue pulang duluan." Sandyakala berdiri dari duduknya.

"Eh, Sandyakala aku boleh bareng gak?" Pertanyaan Anna sama sekali tidak laki-laki itu gubris, ia lebih memilih berjalan tanpa memperdulikan Anna dibelakangnya yang terus memanggil namanya.

••••