webnovel

REwind

Bagaimana rasanya jika tiba-tiba sahabatmu ditemukan bunuh diri di rumahnya? Bagaimana kau menjalani hidupmu setelahnya? Banyak sekali hal yang tidak kau ketahui tentangnya, karena ia begitu tertutup terhadapmu. Lalu apakah artinya dirimu baginya? Kemudian setelah kematianya, fakta-fakta tentangnya mulai terungkap. Setelah kau mengetahuinya.. Lantas apa yang akan kau lakukan? Mengulang kembali waktu?

Shi_lunaticblue · Realistic
Not enough ratings
20 Chs

Clean Up

"Sudahlah!" Tsukasa mendecak lalu pergi meninggalkan aku, yang masih mematung memikirkan apa yang baru saja ia bicarakan.

Apa mungkin hal sepenting 'masalah Tsukasa' bisa aku lupakan?

"Tunggu! Tsukasa, kumohon maafkan aku!" Aku berusaha mengejar Tsukasa yang berjalan cepat sekali, hampir berlari. "Aku benar-benar tidak ingat!" Begitu mendengarku mengatakan hal itu, ia berhenti lalu berbalik padaku.

"Kau sungguh tidak ingat?" Wajahnya sedih. Tuhan! aku sangat frustasi dengan pemuda satu ini!

"Sungguh, aku benar-benar tidak bisa mengingat apa pun. Kalau kau mau aku akan mendengarkan sekali lagi keluhanmu. Makannya jangan langsung merajuk begitu!"

"Aku ingin pulang. Jika kau ingin ikut, ayo!"

Apa?! ini pertama kalinya ia mengajakku bermain ke rumahnya! meski pun aku sudah tahu bagaimana keadaan rumah Tsukasa, tetap saja berbeda. Kali ini Tsukasa sendiri yang mengundangku. Bukan karena panggilan dari kepolisian.

"Tentu saja!" Tunggu! aku ingat bahwa di rumahnya banyak sekali bungkus mie cup. Ia tak makan dengan baik. Aku harus menyiapkan untuknya sesuatu. "Sebelumnya aku ingin ke foodmart."

"Baiklah." Tsukasa mengikuti langkahku yang mendahuluinya.

Dari tempatku, aku bisa mendengar suara langkah Tsukasa yang terkadang menginjak kerikil di atas aspal. Ia selangkah di belakangku. Lalu ketika aku berhenti karena foodmart sudah ada di hadapan kami, Tsukasa menabrak punggungku.

"Aduh!" keluhnya. Aku hanya maju sedikit karena tenaga yang ia hasilkan benar-benar tak ada apa-apanya untukku.

Dia melamun sepanjang jalan. Tsukasa memperlihatkan gelagat yang tak benar. Terlihat jelas bahwa dia tak baik-baik saja, apa benar aku tak menyadarinya kemarin-kemarin?!

Di dalam foodmart, Tsukasa hanya mengikuti kemana pun, beberapa kali aku bertanya dan dia hanya menjawab seperlunya.

Dia itu kalau sedang marah memang gelagatnya seperti seorang gadis yang sedang mengalami pra menstruasi syndrom. Bibirnya mengerucut sepanjang hari, diam seribu bahasa, dan kalau di tanya jawabannya akan sangat ketus. Kalau orang lain mungkin akan merasa orang seperti ini akan sangat merepotkan.

Itukah sebabnya dia hanya punya aku sebagai teman?

Setelah semua makanan yang ada di dalam trolliku di scan di hitung oleh kasir. Aku dan Tsukasa berjalan pulang dengan sekantong besar belanjaan di tanganku.

"Mau aku bantu?" Tsukasa akhirnya bertanya, setelah setengah perjalanan diam saja.

"Tidak usah. Kau akan membutuhkan banyak energi untuk bekerja sambilan pukul 3 sore kan?"

Eh?! aku kelepasan bicara!

"Darimana kau tahu aku bekerja sambilan?" Tsukasa terlihat terkejut.

Nah kan?! "Aku, tak sengaja melihatmu saat kau bekerja di cafe dekat sekolah." untungnya Tsukasa mudah sekali percaya.

"Oh begitu!" Ia mengangguk pelan, kami kembali saling diam. Hingga akhirnya langkah Tsukasa berhenti di depan pagar rumah yang catnya sudah sedikit mengelupas.

Tampak sangat tak terawat, persis seperti yang aku lihat ketika Tsukasa di temukan.

"Ayo!" Tsukasa mendorong pagar besi itu dan membuka pintu depannya, mempersilahkan aku masuk. Tak ada sandal ruangan di rumah ini, Aku hanya bertelanjang kaki. Debu yang mengendap di lantai hampir setebal 1 centimeter. Telapak kakiku langsung kotor karenanya.

"Maaf ya, rumahku benar-benar kotor. Aku tak punya waktu dan juga aku tinggal sendirian. Jadi.. Yah ..." Tsukasa menggaruk belakang kepalanya.

"Tak apa, ayo!" Aku meletakkan belanjaanku di atas meja makan. Dan mencoba mencari alat-alat kebersihan di dalam rumah ini. Sedangkan Tsukasa aku yakin sedang berada di kamarnya, entah sedang apa.

Di bawah tangga ada sebuah pintu, aku membukanya dan benar saja alat-alat kebersihan semuanya ada di situ.

Aku meraih kemoceng, lap serta semprotan pembersih. Mulai membersihkan bagian-bagian yang berdebu. Karena terbiasa membantu ibuku membersihkan rumah. Aku jadi mengerti bagaimana cara yang seharusnya.

pertama mulai dari lantai atas seharusnya, tapi karena lantai atas adalah kamar Tsukasa dan juga saat aku melihat kamarnya sudah rapih dan bersih jadi aku melewatkannya.

Aku memulainya dari ruang keluarga. Membersihkan debu-debu pada barang-barang dari yang paling atas. Mengelap permukaannya dengan semprotan dan lap. Lalu beralih dengan membersihkan lantai dengan vacuum cleaner. Suara vakum cleaner yang menderu tertahan membuat Tsukasa terkejut dan turun dari tangga dengan terburu-buru.

Ia lebih terkejut lagi ketika melihatku sudah menyelesaikan ruang keluarga dan beralih pada dapur.

"Apa yang sedang kau lakukan?!"

"Membantu membersihkan. Setidaknya agar tak ada lagi debu yang beterbangan." jawabku santai, Tsukasa mendekat dengan wajah tak enak.

"Aku memintamu ikut denganku bukan untuk menjadi tukang bersih-bersih. Setidaknya jika di rumahku aku bisa leluasa bicarakan masalahku denganmu." Ia mencoba meraih belalai vacuum cleaner yang aku pegang. Aku menghindari tangannya.

"Aku yang mau. Jadi tak apa kan?" menyanggahnya adalah kebiasaan ku, lalu ia akan mengalah sambil menghela nafas dan berkata 'baiklah'.

Saat membersihkan dapur, Tsukasa ikut membantu. Ia membuang semua bungkus mie cup di washtafel dan mengelap permukaan meja makan.

Setelah bagian lantainya beres aku mengeluarkan semua belanjaanku di atas meja. Ada 1 pack telur, 1 bungkus jamur Enoki, 4 bungkus mochi , 2 batang daun bawang dan lainnya.

Aku bangkit dan meraih cutting board serta pisau dapur. Mulai mengiris beberapa bahan, menyalakan kompor dan meletakan panci di atasnya.

"Kau mau membuat apa?" Tsukasa memandangiku dari kursi di sisi kanan meja makan, menghadap ke arahku.

"Entahlah, apa kau punya wortel? aku lupa membelinya." aku masih sibuk memotong kentang, jadi tak bisa menoleh pada Tsukasa.

"Sayangnya tidak. Maafkan aku." jawabnya cepat.

Aku tak menghiraukan lagi Tsukasa. kembali sibuk dengan masakanku. Awalnya aku ingin membuat rebusan. Tapi, aku lupa membeli dashi kemasan, jadi Karena ada kentang dan daging, maka aku akan membuat kare.

Aku bersyukur di dalam Rice cooker Tsukasa ada nasi. Uapnya mengepul ketika aku buka.

Tunggu! uapnya mengepul! itu artinya baru saja matang kan? jadi sebelum berangkat dia baru memasak nasi?! itu artinya dia belum sarapan? dan parahnya dia meninggalkan rumah ketika rice cooker dalam keadaan menyala. Itu sangat berbahaya kan.

Aku menghela nafas, sambil menoleh pada Tsukasa. Si soft boy ini langsung mengerti apa yang sedang aku keluhkan tanpa mengucapkannya. Dia cengengesan sambil menggaruk belakang kepalanya.

Kare sudah matang, Tsukasa dengan tanpa di minta mengambil dua buah piring dan menyajikan nasi hangat di dalamnya, Aku membawa teflon berisikan kare matang dan menuangkannya di setia piring.

Makan siang kami siap! meski aku agak ragu dengan rasanya. Aku pikir bumbunya sudah sama seperti yang biasa ibuku buatkan. Jadi semoga Tsukasa bisa menikmatinya.

Makan siang sekaligus sarapannya.

***

Tsukasa mengunyah dengan lahap makanannya. Aku merasa bersyukur.

Kau tahu, pemandangan paling menyenangkan adalah ketika kita melihat orang lain makan dengan lahap. Rasa lapar mereka akan menular padamu.

Aku juga memulai dengan sesendok kare buatanku sendiri. Lumayan juga ternyata, meski sedikit keasinan. Hanya sedikit.

"Apa kau suka, Tsukasa?" aku iseng bertanya. Padahal jelas dari wajahnya yang kemerahan dan pipi yang menggembung bulat penuh makanan, aku bisa langsung tahu.

Tsukasa mengangguk lalu tersenyum dengan mulut penuh. Terdengar suara HM HM dari mulutnya, akumkhawatir dia akan menyembur karena memaksakan diri untuk bicara.

Aku refleks tertawa, dia juga tertawa. Hal remeh yang biasa, bisa membuatku dan Tsukasa tertawa.

Tapi satu hal yang aku bisa pelajari sekarang. Tsukasa tertawa karena aku tertawa. Bukan karena hal remeh lucu yang aku tertawakan.

Jadi mungkin saja. Jika aku tak tertawa dia akan tetap diam.

"Hei, Tsukasa." Aku memainkan makananku, tak berani menatap wajah Tsukasa.

"Hm?" Tsukasa sudah dengan suapan besar di mulutnya, menoleh padaku dengan semangat.

"Jangan sedih lagi ya. Aku kan ada di sisimu."

Aku ingin mengatakan lebih banyak kata-kata, tapi yang bisa terucap hanya itu. Aku tak ingin terlalu menjabarkan perasaanku. Karena secuil saja aku membuka hati dengan sepatah kata, Tsukasa akan mengerti. Karena dia cerdas, karena dia sahabatku.

Tsukasa tersenyum. Mengangguk dengan wajah memerah.

Semoga ini pertanda baik. Hatiku merasa lega.

***