webnovel

Know It

Satu tebasan, dua tebasan, tiga tebasan. Gerakan memutar, melompat dan menendang. Baiklah, apa itu sudah cukup bagi seorang pemula untuk berlatih? Entahlah, Kalantha juga tak tahu. Ia sudah berlatih berjam-jam di sini. Di tempat kesukaan raja kegelapan. Taman rahasia istana.

Hari sudah mulai senja, tapi ia belum memiliki niat untuk pulang. Ia kembali mengayunkan pedangnya ke udara. Mengingat gerakan yang terlintas saat crysaor kesayangannya, Evander, sedang melatih pasukan daun di istananya.

Jika diingat-ingat, Evander tampak begitu mudah mengangkat pedang raksasa miliknya. Lalu kenapa ia mengangkat pedang yang lebih kecil saja kesulitan. Ini begitu, menyebalkan.

Kalantha melempar pedangnya asal. Ia marah. Ia sudah berlatih begitu lama, tapi gerakannya lebih mirip seperti dewi bodoh yang menyerang secara membabi buta. Tak ada teknik sama sekali. Tampaknya latihan hari ini begitu sia-sia. Kesialan baginya karena salah mencuri pedang.

Kalantha duduk termenung. Menatap lurus pada riak air yang sesekali terdengar akibat angin. Pikirannya melayang pada percakapannya dengan Selena kemarin malam.

"Harmaean," Kalantha mengucapkan nama itu begitu pelan. Malah ia sendiri tak bisa mendengar suaranya sendiri.

Matanya terpejam. Kembali pada setiap detail kalimat yang diucap Selena dan fakta yang akan terjadi pada Leandro. Kalantha mendongakkan wajahnya dengan mata yang masih terpejam. Hangat. Setelah sekian lama, ini pertama kalinya Kalantha merasakan nikmatnya udara sore hari. Atmosfer yang biasa ia dapat. Bahkan kenangan saat ia menaiki Zi bersama Aletha dan Alena melintas di kepala dia.

"Hiks..."

Satu isakan. Hanya satu isakan saja. Kalantha mengusap wajahnya. Ia berdiri dan menepuk-nepuk gaunnya. Lihat, orang bodoh mana yang berlatih memakai gaun? Ia berbalik hendak pulang. Namun sosok di belakang sana membuat ia terhenti.

"Leandro."

Leandro melangkah perlahan ke arah budaknya. Sampai disana, hal pertama yang dilakukan raja itu adalah mengambil benda tajam dari tangan dewi itu dan menghancurkannya menjadi berkeping-keping.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Kalantha.

"Harusnya aku yang menanyakan pertanyaan itu. Apa yang kau lakukan?"

"Seperti yang kau lihat. Aku berlatih." Ya semesta, Kalantha bahkan terdengar gugup saat menjawab itu.

"Untuk apa kau berlatih?"

Kalantha menelan ludahnya. Ini saatnya ia mengatakan hal sebenarnya pada dewa itu.

"Leandro, aku rasa kita tak perlu menyerang dunia putih."

"Apa?"

"Aku pikir, aku sebaiknya menyudahi ini semua."

"Ya kau benar. Kau harus menyudahi sumpahmu."

Kalantha memandangi wajah pria itu dengan raut tak percaya. "Kau serius?"

"Ya. Untuk itu aku sudah memerintah prajurit bayanganku untuk mengambil informasi mengenai dunia putih."

"Apa." Kalantha menggeleng. "Bukan itu maksudku."

"Lalu apa maksudmu?"

Wajah Kalantha menunduk. "Leandro, aku akan melupakan sumpahku. Jadi, kau tak perlu meratakan negri putih."

Leandro meremas tangan Kalantha. "Apa kau ragu akan kekuatanku?"

"Tidak. Aku tak ragu." Kalantha langsung mengangkat kepalanya. Ia kembali menatap tangan pria itu.

"Sudah cukup aku kehilangan orang-orang yang aku sayangi. Jangan kau lagi."

"Aku tak akan mati karena mereka."

Bahu kalantha bergetar. Sial, kenapa air matanya harus jatuh lagi. Ia menangis. Kalantha menangis. Ia sudah kehilangan banyak orang yang disayanginya. Apa ia harus kehilangan iblis ini juga.

Leandro keheranan dengan sikap Kalantha yang sedikit emosional hari ini. Ia tadi bermaksud untuk mengatakan rencananya pada dewi alam ini, namun sosoknya tidak ada dimanapun. Ia sudah mencari kemana-mana, namun hasilnya nihil.

Entah itu perasaannya atau apa, ia seperti mendengar sebuah suara memanggil namanya bersama dengan hembusan angin. Itulah kenapa Leandro terpikir untuk mengunjungi tamannya dan menemukan Kalantha sedang duduk seraya menikmati udara sore.

"Kau tak akan mati, tapi mungkin kutukanmu akan semakin berat kan, malaikat Harmaen."

***

Brak

Sergio dibuat terlonjak karena kaget. Ia melihat pintu ruangannya terbelah menjadi dua. Padahal pintu kamarnya terbuat dari kayu yang begitu keras dan tebal. Bahkan pedang tak mudah menghancurkan kayu itu. Tapi siapa yang berani melakukan hal ini pada pintu ruangannya.

Dan pertanyaan Sergio terjawab ketika sosok kegelapan itu mencekiknya dengan begitu kuat.

"Leandro, ap-apa yang kau lakukan?"

Mata Leandro terlihat begitu tenang, padahal yang hendak ia bunuh adalah gurunya, orang kepercayaannya.

"Leandro, lepaskan. Aku tak bisa bernapas. Kau akan membunuhku." Sergio sudah tak bisa berbicara dengab mudah. Setiap kalimatnya tercekat.

"Kau memang sudah tak perlu bernapas lagi, Sergio. Aku rasa sudah waktunya untukmu pensiun dari dunia ini."

Brak

Leandro melempar tubuh Sergio pada meja kayu yang berada di ruangan itu. Sergio merasakan kalau tulang-tulangnya pasti sudah ada yang patah. Belum sempat ia merasa lega, sosok Leandro sudah berada di atasnya dan menginjak dadanya begitu kuat.

"Ada apa ini, Leandro?"

Leandro menunduk dan mendekatkan wajahnya pada wajah Sergio. "Kenapa tak kau tanyakan pada dirimu sendiri apa kesalahanmu, guru?"

"Apa ini tentang Kalantha?"

Bruk

Pukulan keras melayang tepat pada meja kayu di sebelah wajah Sergio. Sergio yakin beratus ratus persen kalau mejanya sudah jebol akibat pukulan itu.

"Jelaskan sebelum aku membunuhmu!"

Sergio menarik nafas perlahan. Ia harus memilih kalimat dengan hati-hati atau jika tidak, nyawanya taruhannya.

"Leandro, dengarkan aku, Kalantha juga berhak tahu siapa orang yang akan menolong dia. Aku bukanlah orang yang datang kepadanya dan mengatakan hal itu secara tiba-tiba. Dialah yang datang sendiri ke ruanganku dan menanyakan tentangmu. Dia menanyakan dari mana aroma pinusmu berasal. Pinus hanya tumbuh di dunia manusia dan dia menemukan itu padamu. Wajar jika dia bertanya padaku."

"Lalu kenapa kau memberitahukan itu padanya?"

"Leandro, sudah kukatakan padamu, Kalantha bukan anak kecil lagi. Sebentar lagi dia akan membuka sejarah besar karena sumpahnya itu. Tapi apa dia akan senang setelah tahu kalau kau akan lenyap dari karena meratakan negri putih?"

Leandro membisu.

"Apa kau pikir dia tak akan gila karena harus kehilangan orang yang dia sayang?"

Leandro melepaskan cekalan tangannya. Sergio bangkit duduk dan terbatuk. Ia melihat darah hitam keluar dari mulutnya. Sial.

"Leandro, pikirkan ini baik-baik. Apa kau siap kehilangan Kalantha?"

"Aku tak peduli."

"Lalu apa kau siap kehilangan nyawamu sendiri?"

"AKU TAK PEDULI, KEPARAT! Aku sudah hidup terlalu lama dalam kutukan ini. Sudah saatnya ini berakhir. Tapi sebelum itu, aku harus membalaskan dendam Kalantha. Membalaskan kematian ibunya. Ini semua salahku, tapi aku tak memperkirakan kalau ini akan membuat Chleo kehilangan nyawanya. Helios harus menerima balasannya."

"Kau bukan malaikat lagi, Leandro. Bukan tugasmu menjaga keseimbangan semesta."

Leandro menatap tajam pada Sergio. "Tapi setidaknya aku tahu bagaimana cara kerja dari semesta."

"LEANDRO KAU GILA!" Teriak Sergio karena sudah tak tahan dengan kenekatan Leandro.

"Aku tidak gila. Kau hanya belum tahu rasanya jatuh pada pesona satu sosok."

***

Helios tampak begitu gelisah pagi ini. Ia bahkan sampai melempar cawan anggurnya yang tak ia minum setetespun. ia tak menduga, salah, ia tak menyangka kalau mantan tunangannya akan menjadi sekuat itu. Apa semesta ingin mengutuk ia lewat dewi pembawa aib sialan itu?

Semalam ia menemui Bacilio. Memaksa budaknya itu menceritakan laporannya setelah pergi menemui Kalantha. Dan hasilnya, ia malah dikagetkan karena ternyata Kalantha mendapat bantuan dari raja kegelapan dunia bawah. Dia yang hilang. Tapi bagaimana bisa?

Dia tahu betul bahwa iblis satu itu sudah hampir beratus tahun tidak naik kepermukaan. Dia selalu diam di bawah sana, negri bawah. Bahkan saat ia melanggar aturan semesta dengan membunuh Cleo, iblis satu itu tak naik ke atas atau sekedar menonton.

Satu hal yang membuat Helios berani membunuh Cleo adalah kosongnya kekuasaan tertinggi semesta. Malaikat yang entah kemana keberadaannya yang Helios sendiri curiga kalau ia adalah satu dengan sosok kegelapan itu. Namun Helios tak punya bukti yang kuat untuk itu. Sial baginya.

"Sialan. Seberapa istimewa sebenarnya Kalantha sampai iblispun rela melawanku?"

***

"Leandro, Leandro."

Mungkin itu bukan menjadi hal yang mengejutkan lagi di kerajaan bawah kalau satu-satunya orang yang berani memanggil raja mereka tanpa gelarnya hanyalah Kalantha seorang. Leandro sebenarnya ingin menghilang saja supaya tidak menghadapi keras kepalanya Kalantha, namun ia sendiri juga tidak ingin membuat dewi itu sedih karena merasa tak dihargai olehnya.

"Apa, Apa, Apa?" Tiga kali Leandro bertanya. Ia menunjukkan dengan jelas kejengkelannya pada Kalantha. Namun tampaknya itu tak membuat dewi alam itu takut padanya.

"Kumohon hentikan ini. Aku tak ingin kehilanganmu."

Leandro mengulum bibirnya dengan emosi. Menahan amarahnya yang hendak meledak karena sikap Kalantha.

"Sudah berapa kali ku katakana kalau kau tidak akan kehilangan aku?"

"Kau berbohong!"

Kalantha mengatakan kalimat itu dengan sangat tegas. "Kau bahkan tidak bisa menjamin keselamatanmu saat peperangan nanti. Lalu bagaimana kau bisa menjamin keselamatanmu sehabis perang nanti?"

"Kalantha, aku tidak selemah yang kau pikirkan." Leandro meninggikan suaranya.

Kalantha meraup nafas banyak-banyak. Ia menyisir rambutnya ke belakang dan membuang pandangannya sebentar pada sekeliling. Sepi. Tampaknya para iblis di sana memilih menghindar karena takut dijadikan pelampiasan amarah dewa kegelapan itu.

"Kapan aku mengatakan kau lemah?"

"Lalu kenapa kau tidak bisa percaya padaku?"

"Di sisi mananya aku tak percaya padamu, Leandro. Aku begitu percaya padamu. Satu-satunya hal di dunia ini yang bisa ku percaya saat ini hanyalah kau."

"Lalu kenapa kau begitu takut kalau aku tak bisa memenuhi sumpahmu."

"LEANDRO!"

Lendro sedikit terkejut akan teriakan dewi tersebut. Ia juga tak lama melihat setetes benda cair turun dari mata kirinya.

"Bukan itu maksudku. Kenapa sulit bagimu memahamiku. Yang paling ku takutkan adalah aku akan kehilangan kau. Aku takut kalau semesta akan menghilangkanmu."

"Tidak masalah. Kau sendiri juga sudah tahu kalau aku memiliki setengah tubuh ibuku. Kenapa? Apa karena itu kau takut aku akan kalah?"

Kalantha menghentakkan kaki kirinya dengan keras ke lantai. "Kenapa kau tidak paham juga dengan kalimat yang aku katakan barusan? Aku takut aku harus kehilanganmu, bodoh."

Leandro terkejut saat Kalantha mengatai dia bodoh. Ini pertama kali seumur hidupnya ia mendengar orang mengatai dia bodoh. Dewa itu mengepalkan tangannya menahan amarah.

"Aku sebenarnya ingin menarikmu ke kamar untuk memberimu pelajaran, tapi aku tahu kalau pertemuan pagi ini sangat penting sehingga aku tak bisa melewatkannya. Jadi persiapkan dirimu baik-baik."

Selesai mengatakan itu, Lendro memilih menghilang secepat mungkin dari hadapan Kalantha. Dewi itu menggeram pada udara. Sekarang bagaimana? Apa yang harus ia lakukan?

***

Leandro memasuki ruang pertemuan dengan aura yang berbeda. Memang pria itu selalu memancarkan aura dominan. Namun kali ini terasa lebih berbeda lagi. Lebih gelap dan membuat para iblis lainnya enggan menyapa raja mereka.

"Selamat datang, yang mulia." Thor menyapa duluan.

"Tidak usah basa-basi lagi. Di mana mereka?"

"Sebentar lagi akan sampai yang mulia." Jawab Thor.

"Dimana Sergio, yang mulia?" tanya Connie.

Leandro menatap Croni dengan mata tajamnya, namun siluman gagak itu tidak takut sama sekali. Ia sudah biasa mendapat tatapan seperti itu dari Leandro, lalu apa yang perlu ia takutkan lagi?"

"Dia sedang memulihkan dirinya."

Connie mengangguk. Ia sempat mendengar dari beberapa pelayan kalau kemarin malam Leandro menyerang Sergio. Bahkan pria yang notabenya adalah guru Leandro itu hampir mati di tangan raja kegelapan itu. Inikah yang dimaksud dengan jangan pernah memelihara seekor singa?

Dan di sisi lain, Shaila mengepal tangannya karena sudah mengetahui alasan pria yang dicintainya itu menghabisi Sergio. Ia terbakar cemburu. Bolehkah ia keluar sekarang untuk menemui Kalantha dan membunuh wanita itu?

Kedatangan seekor Harpies mengambil alih perhatian setiap sosok di sana. Harpies, wanita yang mirip dengan burung namun dengan wajah manusia. Makhluk yang dulu adalah roh angin, namun dikutuk oleh semesta karena suka membawa manusia pada jalan balas dendam. Sehingga ia dibuang pada dasar bumi. Ia mengabdikan dirinya pada Leandro sebagai pembawa kabar. Seperti saat ini.

"Raja Lux sudah sampai di gerbang utama, yang mulia."

Leandro menatap lurus ke depan. Pada keturunan raja neraka ke dua. Siapa lagi kalau bukan Lux II. Putra yang dihadiahkan semesta pada Lucifer karena sudah dihabisi oleh malaikat agung. Dan Lux sendiri tahu kalau malaikat agung itu adalah sosok yang sama dengan yang duduk dengan angkuhnya di depan dia.

"Senang bertemu denganmu, yang mulia Leandro."

Lux membungkukkan tubuhnya. Memberikan salam hormatnya pada raja kegelapan. Leandro mengangkat tangannya seperti memberi sebuah isyarat supaya pria di depannya berdiri.

"Silahkan duduk."

Thor menarik kursi yang sudah dipersiapkan khusus untuk raja neraka itu. Lux tidak memberikan senyuman pada Thor seperti yang ia lakukan pada Leandro. Tapi Thor tak ambil pusing untuk itu. Ia akan lebih ambil pusing jika raja Neraka itu berani bersikap tidak sopan pada pemimpinnya.

"Aku merasa tersanjung karena yang mulia Leandro mengajakku bergabung dalam pasukan penyerangan dunia putih ini." Lux memulai.

Leandro melipat kakinya. Sebelah tangannya ia jadikan sebagai penumpu dagunya. Mata merahnya menatap tajam pada sosok kegelapan nomor satu di neraka.

"Ya, tentu saja kau merasa tersanjung karena bisa merebut perhatianku." Ujar Leandro.

"Benarkah seperti itu yang mulia?" Tanya Lux dengan senyuman yang masih setia di wajahnya.

"Tentu saja. Sangat jarang sang pembunuh mengajak anak dari orang yang dibunuhnya untuk bekerja sama."

Leandro menampilkan seringai sinisnya. Tidak terlalu terlihat, namun bisa diketahui oleh Lux, raja neraka.

"Ah, benar sekali yang mulia. Hamba sendiri juga heran dengan ajakan anda. Saya berpikir apakah anda mulai kehilangan akal karena hal itu."

Thor berdiri dari kursinya. Ia berniat memberikan pukulan pada pria yang jauh lebih muda darinya itu. Shaila juga sudah mengeluarkan kuku-kuku panjangnya yang beracun. Ia tak suka ada orang yang berani menghina orang yang dicintainya. Berbeda dengan Croni yang tampak menikmati keadaan.

"Berhenti!" Satu kata dari Leandro membuat Thor mengurungkan niatnya tadi. Ia dengan berat hati kembali duduk. Namun tatapan tajamnya tak kunjung berhenti pada raja muda itu.

"Aku tidak kehilangan akal, raja Lux. Sebaiknya tanyakan pada dirimu sendiri, apa kau kehilangan akalmu karena sudah berani menerima tawaranku."

Sebelah alis Lux terangkat.

"Jika aku saja bisa menghabisi ayahmu karena sudah berani melanggar kekuasaanku, tidak akan sulit bagiku untuk menghabisimu."

Lux tertawa kecil. "Anda terlalu memandang rendah pada saya, yang mulia."

"Kau yang terlalu memandang tinggi pada dirimu, Lux."

Lux mengepalkan tangannya saat Leandro memanggilnya tanpa gelar. Bagi para makhluk abadi seperti ia, ini adalah penghinaan langsung padanya yang adalah seorang raja neraka.

"Jangan lupakan satu hal, kau ada saat ini, itu adalah karena izinku. Bukan karena kehebatanmu. Jadi perhatikan baik-baik langkahmu, atau kau akan jadi sama seperti ayahmu. Asal kau tahu, aku benci seorang pengkhianat."

Semua yang ada di situ tidak paham dengan perbincangan antara dua raja kegelapan itu. Hanya Thor sajalah yang paham, dan jika Sergio ada, pasti pria tua itu akan menjadi orang kedua yang paham akan situasi yang tengah terjadi.

"Tentu, Raja Leandro."

tbc