Kalantha tersenyum seraya memandangi langit. Padahal hari ini langit tak cerah. Tak ada bintang atau bulan. Sepi dan kosong. Namun Kalantha tetap saja tersenyum. Ini sudah hari kelima ia tersenyum selayaknya orang gila. Warna rambut emas itu cukup menjadi bukti betapa senangnya hati gadis itu sekarang.
Insiden di air terjun itu terus saja terngiang di kepalanya. Bagaimana bisa satu perlakuan manis Leandro menutupi seribu sikap kasar pria itu. Kalantha masih dapat merasakan dengan jelas bagaimana rasa dari bibir raja iblis itu. Entah kenapa ia menginginkannya lagi dan lagi. Seolah itu adalah candu bagi Kalantha.
Tanpa Kalantha sadari, sedari tadi sosok yang tengah ia pikirkan sedang berdiri di depan pintu. Menatapnya dengan alis yang terangkat sebelah. Heran dengan senyum Kalantha yang tampak begitu lebar. Ada hari baik apa sampai Kalantha mau tersenyum seperti itu?
"Apa kau ingin menjemur gigimu?"
Kalantha tersentak kaget dari posisi duduknya di jendela. Untunglah Leandro dengan sigap menangkap tubuh Kalantha sebelum jatuh mencium lantai.
"Apa karena saking senangnya orang bisa menjadi bodoh?" sindir Leandro.
Kalantha bersemu merah karena menahan malu akan sikap konyolnya. Ia menggigit bibir bawahnya. Kebiasaan saat ia sedang merasa tak nyaman. Namun ia tak tahu dampak yang disebabkan oleh bibirnya itu.
"Jangan gigit bibirmu."Perintah Leandro.
"kenapa?" Tanya Kalantha kebingungan.
"Aku tak suka melihat itu." Jawab Leandro enteng.
"Kenapa kau tak suka?"
"Sekali lagi kau bertanya, aku akan menghukummu." Ancam Leandro.
Kalantha langsung menutup mulutnya, takut kalau ia akan bertanya secara spontan dan menerima hukuman dari iblis satu ini. Leandro yang tak menyangka akan mendapat respon berlebihan seperti itu tertawa. Wajah Kalantha begitu menggemaskan pikirnya.
Namun tak tahu kah dia bahwa wajahnya kini begitu menawan? Kalantha tak dapat menyembunyikan keterkejutannya akibat suara tawa dari mulut sang demon.
"Kau tertawa?"
Tawa Leandro mendadak terhenti. Ia kini menatap Kalantha begitu intens. "Apa kau lupa dengan perintahku barusan?"
Mata Kalantha melotot lebar. Astaga, ia baru saja bertanya.
"Kau harus dihukum." Tekan Leandro.
Suara pekikan Kalantha langsung terdengar begitu Leandro melempar tubuh Kalantha dengan cukup Kasar ke atas tempat tidur. "KYA!"
***
Sudah seminggu terlewati setelah insiden Kalantha bersama Leandro. Namun, Leandro tak pernah menampakkan batang hidungnya lagi di depan Kalantha. Kalantha merasa seperti kehilangan. Entah kenapa, ia merindukan Leandro walau pria itu terkadang bersikap begitu kasar kepadanya.
Kalantha melipat kakinya lalu menunpukan dagunya pada lutut. Matanya menatap pada langit sore yang berawan. Biasanya Kalantha akan tersenyum dan menutup matanya, meresapi kenikmatan dari hangatnya atmosfir sore.
Namun kali ini beda. Matanya setia terbuka. Ia tak mau lagi menikmati udara dari sang surya. Tidak, sebelum ia memusnahkan dewa biadab itu. Tapi dari itu semua, alasan dia membuka matanya adalah karena ingin melihat kedatangan Leandro.
Tapi tampaknya pria itu tak akan mengunjunginya lagi. Padahal Kalantha ingin menagih janji sang iblis untuk mengajaknya keluar. Sebenarnya Kalantha ingin keluar untuk menemui pria itu, tapi di depan sana ada Cerberus yang menjaganya.
Cerberus adalah iblis menyerupai anjing dengan tiga kepala. Mereka memang ditugaskan untuk menjaga pintu. Tidak ada yang bisa Kalantha lakukan karena penjagaan yang begitu ketat.
"Hufft.." Kalantha menghembuskan nafasnya kasar. Ia benar-benar bosan. Dia ingin keluar sekedar melihat-lihat. Tidak bolehkah?
Di tengah kebosanannya, Kalantha mendengar pintu kamar yang dibuka. Ia tersenyum kala ia pikir kalau itu adalah Leandro. Namun salah, itu bukan Leandro. Melainkan perempuan nan cantik yang kini tengah memandanginya dengan mata tajam.
"Kau siapa?" Tanya Kalantha pada sosok perempuan di depannya.
"Ternyata kau jalang barunya Leandro?" Tanya wanita itu seperti mengejek.
Kalantha bingung dengan yang barusan wanita itu katakana. "Maaf, aku bukan jalang."
"Kau benar. Kau memang bukan jalang. Tapi kastamu lebih rendah daripada jalang. Kau adalah budak Leandro, bukan? Astaga, aku bahkan tahu kalau kau pernah menghabiskan malam dengan Leandro."
Kalantha sedikit heran dengan perempuan itu. Kenapa dia berani memanggil Leandro tanpa gelar. Apa wanita ini adalah saudara Leandro.
"Maaf, tapi." Namun ucapan Kalantha segera dipotong oleh wanita itu.
"Apa? Kau pikir aku tak tahu dengan malam yang kau lewati dengan kekasihku? Astaga, aku tak akan heran jika dia bermain kasar denganmu. Dia hanya akan melakukanitu denganku. Mungkin karena terbawa emosi, dia tanpa sengaja melakukan hal seperti itu padamu." Ejek wanita itu lagi.
Kekasih? Jadi Leandro telah memiliki kekasih, namun ia malah melakukan itu dengan orang lain? Pikir Kalantha.
"Hei, ada apa dengan ekspresi menjijikan itu? apa kau mulai menyukai kekasihku? Astaga, lihatlah. Betapa jalang dirimu. Kau hanya seorang budak jika kau tak lupa itu." Cemooh wanita itu.
"Dengar, Leandro bukan hanya sekali melakukan itu dengan seorang perempuan. Sudah ribuan kali malah. Tapi aku tak keberatan, karena aku yakin kalau mereka hanya dijadikan pelampiasan olehnya. Jadi, dewi pembawa aib sepertimu seharusnya berhenti mengharap. Itu sia-sia."
Kalantha membeku di tempatnya. Tubuhnya terasa sulit digerakkan. Seolah ada akar yang membelit dirinya. Bahkan lidahnya terasa begitu kelu sampai tak bisa mengeluarkan satu patah katapun. Rasanya, perkataan wanita yang mengaku sebagai kekasih Leandro begitu tajam.
***
Kalantha berlari melewati lorong yang ia sendiri tak tahu kemana ujungnya. Yang terpenting ia keluar sekarang. Langkahnya teredam oleh karpet berwarna merah yang terletak di sepanjang lorong. Napasnya terdengar sedikit tersengal-sengal karena ketakutan. Akhirnya ia bisa mengelabui para ceberus yang berada di depan pintu kamarnya. Kalantha menelan payah salivianya. Kepalanya melirik ke kanan dan kiri. Memastikan tidak ada orang yang mengikuti ia dari belakang. Ia perlu berjaga-jaga manakala para iblis itu tengah mengawasi ia dari jauh.
Namun Kalantha sendiri merasa ada yang aneh dengan lorong ini. Kenapa tidak ada yang berjaga di lorong ini? Biasanya Kalantha akan mendapati setiap penjaga di setiap sudut istana. Tapi tidak kali ini.
Kakinya berjalan perlahan, melewati remang-remang cahaya bulan yang masuk melalui setiap kaca jendela yang buram. Sebenarnya, Kalantha sudah merasakan kalau jantungnya berpacu begitu cepat akibat rasa takut yang menyerangnya. Namun ia begitu bosan berada di kamar dan mungkin ia bisa kabur dari iblis keparat yang ternyata telah memiliki kekasih itu. Belum lagi sebenarnya penasaran dengan ujung dari lorong yang ia jelajahi ini. Ia tak mau mengambil resiko kembai dengan menjadi santapan para iblis itu.
Tangan mungil Kalantha meraba dinding batu di sebelahnya sambil terus berjalan. Ia terus memegang dinding itu agar menjaga keseimbangan tubuhnya dalam cahaya remang. Berulang kali ia menelan ludah akibat rasa takut yang terus saja merayap di pikirannya. Pasalnya, ia sudah berjalan cukup jauh, tapi kenapa ia belum juga sampai pada ujung lorong sialan ini.
Srek...srek...srek...
Kalantha merasakan dadanya naik turun begitu cepat. Jantungnya berpacu dengan kencang. Bukan hanya sekali dua kali suara itu ia dengar. Kalantha mengumpulkan keberaniannya dan berlari begitu cepat. Dengan hanya bermodalkan cahaya Selena dan sedikit keberanian, ia semakin mempercepat larinya tanpa tujuan arah. Mengikuti kemana lorong ini akan berakhir.
Bruk!
Kalantha menabrak sebuah kayu yang begitu keras. Ia meringis seraya mengusap kening dan dadanya. Tangannya memegang daerah tulang kelangkanya, seperti ada sebuah cairan. Pasti ia terluka karena tergores benda itu. Kalantha mempertajam penglihatannya, benda itu seperti pintu.
Kalantha langsung saja berdiri dan menarik gagang pintu yang berbentuk bundaran itu. Dugaannya benar, pintu ini berat dan ia tak kuat untuk menariknya.
"Sial, kenapa pintu ini berat sekali. Aku bahkan tak bisa membukanya barang sedikitpun." Gerutu Kalantha.
Srak...srak....srak...
Kalantha merasa jantungnya kembali berdegup cepat. Ia benar-benar takut sekali. Demi alam semesta, tidak bisakah mereka membantu ia sekarang. Tidak bisakah tiba-tiba saja ada angin yang bertiap begituu kencang sampai membuat pintu ini terbuka. Tapi tak ada gunanya hanya berangan-angan. Hal itu tak akan terjadi. Ia harus cepat membuka pintu ini sebelum iblis yang tak ia ketahui bentuknya itu memakan ia hidup-hidup.
"Ugh..."
Dan akhirnya pintu itu berhasil terbuka sedikit. Syukurlah tubuhnya tak terlalu besar sehingga mudah untuk menyelip keluar. Kalantha tersenyum bangga lalu segera berlari. Surai hitamnya melompat-lompat seirama dengan laju larinya.
Baiklah, Kalantha akui ia baru saja menyesal karena tak mengindahkan perintah Leandro yang menyuruhnya untuk diam di kamar. Namun nasi sudah menjadi bubur. Ia terlanjur keluar dan tak ada yang bisa menyelamatkannya kecuali dirinya sendiri. Ia sudah berlari sejauh ini dan ia tak berani untuk kembali sendiri. Ia takut pada makhluk yang berada di dalam lorong gelap itu.
Tapi dimana ia sekarang? Pohon-pohon di sini begitu tinggi dan besar. Kalantha sangat takut apalagi melihat hewan malam yang sedang bergantung di setiap dahan pepohonan. Nyalinya seakan menciut. Kakinya mendadak lemas seperti jelly.
Kalantha jatuh terduduk. Air matanya jatuh membasahi pipi. Ini sangat gelap dan ia sendirian di sini.
"Hiks...hiks... hiks... tolong aku. Aku takut hiks.."
Kalantha menangis sesegukan sambil membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya. Ia tak mau mati tapi ia sendiri yang mencari mati.
Namun kalantha seperti merasa ada yang menyentuk tangannya. Kalantha menjauhkan tangannya dari wajahnya untuk melihat siapa yang memegang ia. Matanya melebar penuh kegembirasaan saat ia melihat orang itu adalah Leandro. Ia langsung melompat masuk ke dalam dekapan hangat Leandro.
"hiks.. hiks.. hiks.. aku takut."
"Tenanglah, aku disini. Aku akan menjagamu."
***
"Kenapa kau bisa di sana?"
Kalantha menelan ludahnya. Leandro sudah menanyakan itu kedua kalinya. Ia tak berani menjawab sejujurnya pada raja iblis ini alasan ia kabur adalah bosan dan marah padanya.
"Jawab aku, Kalantha. Apa kau tidak punya mulut untuk menjawabku hah?" Leandro berteriak pada Kalantha.
Kalantha kaget mendengar suara menggema Leandro. Leandro baru menyadari kalau ia sudah membuat Kalantha bersedih. Ia melihat beberapa helai rambut gadis itu berubah menjadi biru. Ia tak bermaksud untuk membuat Kalantha menangis, tapi ia benar-benar khawatir pada gadis itu. Bagaimana jika ada makhluk yang berusaha melukai Kalantha walaupun Leandro yakin tak akan ada yanhg berani menyakiti Kalantha selama mereka masih ingin hidup.
"Apa pedulimu padaku?" Tanya Kalantha datar.
Apa Leandro salah dengar sekarang? Dewi itu berani sekali berbicara seperti itu padanya. Apa ia lupa bahwa ia hanyalah seorang budak sekarang.
"Apa kau bilang?"
"Apa urusanmu jika aku keluar hah?" Kalantha membentak Leandro.
Leandro menggertakkan giginya. "Berani sekali kau membentakku? Kau hanyalah budak di sini. Kau harus diberi pelajaran tentang tata karma, Kalantha."
Leandro maju dan mendorong Kalantha untuk berbaring di kasur. Kalantha berteriak. Ia memberontak dalam kungkungan tubuh Leandro. Ia merasa begitu jijik akan sentuhan Leandro, membayangkan Leandro bersetubuh dengan beribu wanita membuat hatinya kacau.
"Lepaskan aku, kau menjijikkan."
"Menjijikan kau bilang? Kalau begitu kau lebih menjijikan karena menikmati sentuhanku." Ejek Leandro sambil menjilat leher Kalantha.
"Setidaknya aku bisa menjaga kehormatanku." Desis Kalantha.
Leandro menatap Kalantha yang menatapnya penuh dengan kebencian. Surai Kalantha berubah menjadi merah, memperkuat isi hatinya yang tengah marah. Leandro tersenyum mengejek.
"Kehormatan seperti apa yang kau bicarakan, Kalantha?"
"Keperawananku." Jawab Kalantha tegas.
Leandro membisu. Ia paham sekarang kemana arah pembicaraan Kalantha.
***
Seorang duyung sedang berenang dengan anggunnya di sebuah kolam seluas sepuluh meter persegi. Dengan beralaskan kerikil dan pasir, dapat menampung air yang jumlahnya bepuluh-puluh ton itu. Jika kalian pikir itu adalah air biasa, maka kalian telah salah paham.
Shaila membuat sendiri baginya kolam yang berisikan darah para hewan penghuni kerajaan putih. Darah kaum atas itu selalu bisa memberikan dia tenaga yang begitu kuat setiap ia menceburkan dirinya ke dalam kolam itu.
Jika ia tak bisa mendapatkan darah itu, maka ia akan meminta pada pengawal lainnya untuk memburu di atas. Tidak peduli apakah nyawa pengawalnya yang menjadi taruhannya. Shaila menepi ke pinggi kolam. Saat ini ia tidak mengenakan apa-apa. Hanya kakinya yang sedang berubah menjadi ekor.
Shaila duduk menatap ke atas. Cih, dia benci pada bulan. Kenapa bisa bulan itu terlihat begitu bersinar. Padahal tadi tampaknya benda langit satu itu sedang menutup dirinya. Shaila membuang tatapannya pada dirinya sendiri. Saat ini dia sedang basah kuyup. Dilumuri dengan cairan berwarna biru cerah dan sedikit kental.
Sedang menikmati duduknya, Shaila mendengar suara langkah kaki yang mendekat padanya. Tangannya buru-buru menarik pelan sisik gelapnya. Sisik miliknya memiliki racun yang begitu kuat. Sekali dia menggores kulitmu, jangan berharap kau bisa melihat hari esok.
"Kau yakin sisikmu bisa melukaiku?"
Shaila langsung berbalik. Ternyata Leandro. Astaga, kenapa dia bisa lupa kalau hanya Leandrolah yang tahu tempat favoritnya ini. Bahkan Shaila sudah menaruh pelindung supaya hanya ia yang dapat melihat tempat ini. Jadi jika Leandro bisa melihat tempat ini, itu wajar karena kekuatan pria itu ada di atas segalanya.
"Kau mengejutkan ku."
"Benarkah? Aku kira iblis sejenismu tak mungkin terkejut."
Shaila tertawa. Entah apa yang lucu, ia merasa kalau saat ini ia ingin tertawa pada pria itu. Tapi kenapa pria ini menemui dirinya. Apa ada hal penting yang ingin Leandro katakana padanya.
"Ada apa kau ke mari?" tanya Shaila.
Leandro hanya diam dan menatap tajam pada Shaila. Shaila merasa panas karena ditatap seperti itu. ia merasa kalau Leandro terpana pada tubuh moleknya. Ia menyeringai. Perlahan ekor itu berubah menjadi kaki. Sekarang ia benar-benar terlihat seperti perempuan pada umumnya. Shaila tak memakai apapun. Kakinya melangkah mendekati Leandro. Gaya jalannya yang dibuat semenarik mungkin. Tangan lentiknya meraba wajah dan tubuh Leandro. Ia lalu memeluk tubuh itu. Menempelkan dadanya yang tak tertutup apapun. Mencoba menggoda Leandro seraya mengatakan sesuatu dengan nada sensualnya.
"Aku tahu kau tak mungkin bisa menolakku, Leandro. Tubuhku terlalu berharga untuk kau sia-siakan. Aku yakin kau tak puas dengan pelayanan dewi sialan itu."
Leandro bergeming.Tak berapa lama, ia menurunkan tangan siren itu. Tangan Leandro merayap dari perut mulut Shaila menuju leher jenjang nan mulus itu. Shaila menutup matanya. Ia merasa begitu terangsang dengan sentuhan tangan kokoh itu. Tangan Leandro satunya juga mengelus lembut pipi miliknya.
"Kau benar, aku memang lebih puas denganmu, Shaila." Desis Leandro.
Siren itu tersenyum bangga karena mengira kalau Leandro telah jatuh dalam pesonanya. Ditengah asiknya menikmati sentuhan Leandro, Shaila merasakan sakit pada lehernya. Ia membuka matanya dan kaget saat melihat mata itu berubah merah terang. Aroma dupa dari tubuh Leandro juga keluar menguap ke udara. Begitu menyengat.
"Leandro, Apa yang kau lakukan?" tanya Shaila dengan suara putus-putus akibat cekikan Leandro.
Leandro tersenyum mengejek. "Aku hanya sedang memuaskan diriku, Shaila. Bukankah kau bilang hanya kau yang bisa memuaskanku?"
Shaila menggeleng kuat. Bukan, bukan ini maksudnya. Ia ingin bermain dengan oanas dengan raja satu itu. ia ingin Leandro memasukinya dengan begitu keras dan membuat dia mendesah dengan begitu kuatnya. Bukannya dengan sebuah cekikan yang serasa ingin mematahkan dirinya.
"Ada apa, Shaila? Kenapa wajahmu begitu pucat?"
Shaila menggeleng. Tangannya memukul kuat tangan Leandro yang mencekik lehernya. Tapi itu sama sekali tak mengurangi apapun. Pria itu masih terus mencekiknya.
"Lepaskan, Leandro." Shaila mengatakan itu dengan napas yang tersengal-sengal.
"Bukankah kau yang memintaku melakukan ini. Jadi mari kita selesaikan ini."
"Leandro, lepaskan aku. Apa salahku padamu?"
"Kenapa kau menanyakan itu padaku, jalang. Seharusnya kau yang memberitahuku apa salah yang telah kau perbuat padaku." Leandro mengencangkan cekikannya.
Wajah Shaila semakin pucat. Dia akan benar-benar mati jika terus seperti ini. Shaila mencengkram kuat tangan leandro dengan cakarnya yang tajam. Sebuah cairan kental berwarna hitam mengalir keluar dari tangan Leandro. Ia tertawa mengejek paa kebodohan Shaila. Astaga, apa yang ada di pikiran siren tolol ini? apa dia pikir cakarnya itu bisa melukai dirinya?
"Apa kau sedang bermain denganku. Cakaranmu bahkan tak akan melukai diriku."
Shaila menangis. Ia tak mau mati. Ia tak mau mati sekarang apalagi dalam keadaan seperti ini. "Kumohon, Leandro. Lepaskan."
Leandro melemparkan tubuh Shaila begitu keras. Untunglah ada sebuah kayu yang menahan tubuhnya. Walaupun itu semakin membuat tubuhnya sakit. Bahkan dari mulutnya keluar cairan berwarna sama seperti Leandro begitu banyak. Shaila terus terbatuk-batuk. Ia meraup banyak-banyak oksigen untuk, mengisi kantung udaranya.
"Ini peringatan pertama dan terakhir untukmu. Sekali lagi kau mengurus apa yang menjadi urusanku, akan ku patahkan lehermu." Peringat Leandro lali kembali berbalik.
"Apa salahku, Leandro. Aku merasa tak membuat kesalahan apapun." Pekik Shaila begitu kuat. Ia tak terima karena Leandro melukainya seperti ini. Sudah beratus tahun ia mengabdi pada kerajaan ini dan tak pernah sekalipun Leandro memperlakukannya seperti ini. bahkan untuk kesalahan besar. Lalu kesalahan apa yang dimaksud Leandro sehingga membuat ia harus mendapat perlakuan seperti ini.
"Aku rasa di samping bodoh, kau juga mulai pelupa, Shaila. Bukankah sudah kuperingatkan pada semua yang ada di istana untuk tidak mendekati Kalantha. Lalu kenapa kau malah melanggar perintahku."
Mata Shaila berubah tajam. Jadi apakah ini karena Kalantha? Ia hampir kehilangan nyawanya hanya karena dewi pembawa aib itu? Shaila tak sampai pikir.
"Kau ingin membunuhku karena dewi sialan itu?"
"Iya, aku ingin membunuhmu karena dewi sialan itu."
"Sial, Leandro. Apa yang ada padanya yang tak ku miliki? Bahkan aku lebih dari dia yang hanya membawa aib bagi kerajaannya."
Leandro menggeram tertahan. Ia tak boleh menunjukkan emosi yang berlebihan di depan siren bodoh ini. ia tak mau ada yang bisa membaca pikirannya dan malah melukai Kalantha.
"Setidaknya dia memiliki darah yang memberikanku kekuatan. Bukan kau yang hanya memamerkan tubuh jelekmu itu."
Mata Shaila melotot lebar. Teganya Leandro mengatakan tubuhnya jelek. Sial, hampir seluruh penghuni dunia bawah ingin tidur dengannya. Tapi dengan santainya Leandro mengatakan bahwa tubuhnya jelek. Apa mata raja itu buta?
"Apa kau bilang? Kau bilang tubuhku jelek. Bahkan dadaku lebih berisi daripada milik Kalantha." Pekik Shaila.
"Tentu saja dadamu besar. Bukankah hampir separuh penghuni kerajaan sudah tidur denganmu?"
Shaila menutup mulutnya. Memang benar apa yang telah dikatakan oleh Leandro. Ia sudah sering melewati malam-malam panas dengan hampir seluruh penghuni istana. Tapi walaupun ia melakukan itu, ia selalu membayangkan kalau pria itu adalah Leandro. Leandro tak pernah sekalipun ingin menyentuhnya.
Merasa tak ada yang perlu dibahas lagi, Leandro berbalik dan melangkah meninggalkan Shaila. Namun baru beberapa langkah, Leandro berhenti sebentar. Kepalanya menoleh pada Shaila.
"Sudah ribuan kali kukatakan padamu, Shaila. Jangan karena kita pernah dekat, kau berbuat sesukamu padaku. Aku adalah raja disini. Jadi tunjukkan sedikit rasa sopan santunmu sebelum ku patahkan kakimu. Aku tak akan mengulangi perkataanku yang satu ini lagi. Tapi jika kau kembali mengusik urusan pribadiku, aku tak segan-segan membunuhmu."
Setelah mengatakan itu Leandro kembali melangkah. Namun lagi-lagi Shaila melihat pria itu berhenti.
"Ah, aku lupa memberitahumu. Alasan aku tak pernah ingin tidur denganmu lagi, aku benci lendir dan sisik. Aku tak suka tidur dengan siren yang mandi dengan darah para hewan. Itu menjijikan."
"Tapi kita selalu melakukan itu dulu, Leandro. Kita tak pernah bersentuhan lagi tujuh belas tahun yang lalu. Kau menolakku. Kau yang tega meninggalkan aku saat aku sudah sangat mendamba padamu." Teriak Shaila tak terima.
"Kau benar. Dan sudah kuberitahu padamu, aku tak suka dengan lendir. Aku melakukan itu hanya karena aku menghargaimu. Aku sedikit merasa iba karena kau sudah rela lepas dari kawananmu yang sama berlendirnya sepertimu demi mengabdi pada istanaku."
Dan setelah itu, Leandro benar-benar pergi. Dan itu secepat mata. Shaila masih duduk di tempatnya. Luka di punggungnya bahkan tak ia rasakan untuk sementara. Tangannya mengepal begitu kuat. Sangat kuat. Perkataan Leandro barusan sangat menyakitkan untuknya. Pria itu mengatakan kalau ia menjijikan. Untuk pertama kali dari beratus-ratus tahun bekerja di sini Shaila mendapat makian seperti itu. Dan lagi itu karena dewi sialan seperti Kalantha.
"Aku bersumpah akan melenyapkanmu, Kalantha. Tak perduli apakah aku juga harus mati karena itu."
tbc.