webnovel

Episode 1: Sebuah Janji

05.30 

"Selamat pagi Ella. Selamat pagi cintaku," ucap Deri sambil mengelus marmer putih berukuran 20 cm x 25 cm yang terukir nama Ella Rahmawati. Dia satu-satunya wanita yang sangat dicintai selain ibunya.

Dinginnya angin yang menyusup di sela-sela lengan, leher, dan wajah tak membuatnya beringsut dari gundukan tanah berselimut hijaunya rumput manila yang terpotong rapi. Masih dalam posisi jongkok, Deri memunguti bunga kamboja kuning yang berjatuhan di atas gundukan. Dengan satu tangan diraihnya botol air mineral dari dalam ransel. Ia tuang isinya ke tangan yang lain. Ia kibas-kibaskan tangannya di atas hamparan rumput agar basah merata. 

Di kanan kiri ukiran nama ada dua pot putih lumayan besar. Di dalamnya tumbuh bunga melati dengan subur. Harumnya semerbak ke segala penjuru mengikuti ke mana hembusan sejuk angin fajar membelai. Sementara sang mentari masih terlihat malu-malu di ufuk timur.

Perpaduan semilir angin beraroma melati dan kicauan burung memberi warna tersendiri pagi ini. Yang mau tidak mau menghantarkan Deri pada sosok yang selalu dirindukkan. Sosok yang sangat menyukai aroma melati. 

Di manapun ia berada selalu membawa bunga melati, entah segar maupun kering. Bahkan di dalam tasnya ada wadah khusus untuk menyimpan bunga melati.

Tak heran kalau di sekeliling rumahnya dipenuhi tanaman melati, dan hanya tanaman melati yang ia tanam. Tidak ada yang lain. Tak heran jika aroma melati juga ditemukan di dalam rumahnya, terutama kamarnya. 

Setiap ruangan pasti ada setumpuk bunga melati di atas piring dari anyaman lidi dengan beralas daun pisang. Dulu, "kesayangannya" ini setiap pagi rajin mengganti dengan yang baru.  Sementara yang kering disimpan di tempat tersendiri. 

Memandang putihnya bunga melati yang bergoyang-goyang malu-malu diterpa hembusan angin seperti memandang senyuman Ella yang khas, hanya membentuk sedikit lengkungan di bibir. Namun bagi Deri, ini sangat menggemaskan. Ini salah satu kenangan yang terindah dari Ella. Senyum di mata Deri semakin membuncah. 

Namun, ketenangan pagi ini pelan-pelan berubah. Lama-kelamaan, tatapan kedua mata itu berubah jadi dingin. Wajahnya yang teduh perlahan mengeras. Kedua tangannya mengepal. Dadanya bergemuruh. Nafasnya tersengal-sengal. Tekanan demi tekanan memburu seiring munculnya rentetan peristiwa demi peristiwa, hadir dihadapan layaknya menonton pemutaran sebuah film.  Nafasnya semakin memburu. Dadanya terasa tercekat dalam himpitan. Semakin lama, semakin nyeri. Tiba-tiba Deri terhenyak berdiri dan berbalik. 

"BRAKKK ….BUUGG ….BRAKKK …. BUUGG … BRAKKK ..." Bunyi dahan kamboja yang patah dihantam berulang-ulang. Tampak daun, bunga, dan patahan dahan berserakan di atas gundukan tanah. Darah bercampur getah menetes dari buku-buku tangannya. 

"BRUUUKKK … . Tubuh Deri melorot ke bawah. Air matanya mengalir tak terbendung. Kedua tangannya memeluk makam Ella. Tumpahlah tangisnya. Disusul suara isakan yang tertahan. Masih dalam posisi menelungkup, Deri memukulkan tangannya berulang kali di atas gundukan rumput tanpa tenaga sedikit pun.

Mengapa kenangan indah selalu hadir bersama kenangan yang menyakitkan? Tak bisakah keduanya hadir secara terpisah?  Berulang-ulang batinnya menjerit. Untuk sesaat suasana menjadi sunyi. Lebih sunyi dari yang pernah ia rasakan. 

Kemudian, Deri menegakkan tubuhnya. Tatapan Deri tak lepas dari ukiran nama di batu nisan. Tangannya menggapai batu nisan. Dielus-elus dengan penuh kelembutan. Bayangan sosok Ella seolah hadir di depannya.

"Ella, sakitmu adalah sakitku. Aku pasti akan menepati janjiku. Aku mencintaimu La …." Deri mengelus-elus ukiran marmer dengan lembut. 

Sesaat kemudian Deri bangkit, dihapusnya sisa air mata yang masih menempel di wajah. Sejauh matanya memandang, hanya mengarah pada kekacauan pagi ini.  Dengan menenteng tas kresek hitam, ia mulai memungutinya satu-persatu. Bahkan, serpihan-serpihan di antara sela-sela rumput tak dibiarkan lepas begitu saja.  

(3 hari yang lalu)

Dengan mengendap-endap, Deri memasuki bekas gudang tebu yang sudah tidak terpakai. Berkat cahaya bulan yang menerobos masuk melalui atap dan dinding yang sebagian runtuh, ia bisa memindai kondisi dalam gudang yang berantakan dan berdebu. Ia berulang kali mengalihkan pandangan ke segala penjuru, mengintip di sela-sela reruntuhan.

Tiba-tiba pundaknya ditepuk pelan dari belakang. Ia menoleh dan orang yang berjaket hitam itu yang langsung memberi tanda dengan jarinya agar Deri mengikutinya. Orang itu melebarkan pandangan ke seluruh ruangan. Deri pun menirukan. Sepertinya, mereka berdua ingin memastikan benar-benar tidak ada orang lain selain mereka.  

"Mana uangnya," bisik orang berjaket hitam sambil menajamkan matanya memindai seluruh ruangan  

Deri mengeluarkan bungkusan kain hitam dari dalam tasnya. Pelan-pelan, ia buka bungkusan tersebut. Orang berjaket hitam mengangguk-anggukkan kepala. Keduanya saling menyerahkan bungkusan. Orang itu memastikan jumlah uang yang diterima. Sementara Deri mengamati sepucuk pistol dengan 3 peluru di tangannya. Kemudian orang berjaket hitam memasukkan bungkusan uang dalam tasnya. 

Orang itu meminta Deri mendekat. Ia ajari cara menggunakan pistol. Ia tatap Deri untuk memastikan semua instruksi dipahami olehnya. Deri hanya menganggukkan kepala.

"Ingat, apa pun yang nanti kamu lakukan, jangan pernah menghubungiku apalagi bawa-bawa namaku," ancam orang berjaket hitam. Deri kembali menganggukkan kepala.

"Tunggu 5 menit, baru keluar dari area ini. Kamu harus keluar dari arah yang berlawanan denganku dan arah yang berbeda saat kamu masuk." Deri mengedipkan matanya. Sambil mengedarkan pandangan, orang berjaket hitam keluar dari gedung tua. 

Deri membungkus pistol kembali dengan kain hitam dan memasukkan dalam tas. Ia mengawasi kepergian orang berjaket hitam yang sudah menghilang ditelan gelapnya malam. Matanya terus mengawasi sekeliling, sambil mengendap-endap ia perlahan-lahan meninggalkan tempat tersebut.

******

Sampai rumah, Deri langsung menuju kamarnya. Begitu pintu kamar dibuka, disambut dengan aroma melati. Satu-satunya aroma yang selama ini melekat dalam ingatan Deri. Aroma Ella.

Aroma itu tidak hanya berasal dari sekantong melati yang digantung di jendela. Aroma juga berasal dari semangkuk kecil melati di atas meja dan aroma dari taburan bunga melati di atas nakas ranjangnya. Beberapa masih segar, beberapa sudah mulai layu, dan beberapa sudah benar-benar mengering.

Deri segera membongkar isi tas. Ia ambil bungkusan hitam. Ia amati sekali lagi pistol di tangannya. Dari ranjang yang ia duduki, ia arahkan pistol itu ke gambar Devin Cho dan Dea Ca secara bergantian. 

Di sekeliling gambar itu, tertempel beberapa berita dari berbagai media yang mengulas keduanya dengan headline beragam. Semua tercetak di halaman depan, lengkap dengan foto. "Film Cup of Chocolate Caramel mengguncang Korea Selatan di Busan International Film Festival 2017" tulis Jawa Pos. Sementara Media Indonesia mengambil tajuk "Cup of Chocolate Caramel wins trophies at Several Asian Film Festivals". Tak ketinggalan Kompas menuliskan judul "Film Cup of Caramel Chocolate Siap Berlaga Merebut Oscar." 

Setiap gambar wajah Devin dan Dea Ca dilingkari dan disilang dengan spidol warna merah. Nama Devin Cho distabilo warna ungu muda dan nama Dea Ca distabilo warna orange. 

Deretan masa lalu tiba-tiba kembali menyeruak dalam ingatan. Secara berpindah-pindah peristiwa demi peristiwa berputar di depan mata. Berbagai macam ekspresi wajah Ella berganti-ganti melengkapi setiap kilatan peristiwa yang muncul, mulai dari kecewa, menangis, histeris, tatapan kosong, dan terakhir yang sangat melekat dalam ingatan Deri adalah wajah beku Ella. 

(Flashback)

"Ada yang kamu inginkan?" Ella menggeleng pelan. 

"Kamu mau minum? Atau kepingin ke toilet?" tawar Deri lagi. Ella tersenyum dan kembali menggeleng. Matanya tak bergeming, lurus mengikuti setiap gerakan di depannya. Kemudian Ella mengalihkan tatapan keluar jendela. Deri mencium tangan Ella yang ada di genggaman. 

"Atau mau kukupaskan apel?" tawarnya lagi sambil mengelus tangan Ella. 

Kembali Ella menggeleng. Manik matanya kembali mengunci manik Deri. "Deri … apakah kau benar-benar mencintaiku?" Mata sendu itu menembus lebih dalam sambil mengikuti gerakkan Deri yang berpindah di sebelahnya. 

"Tak perlu kau tanyakan. Kau sudah tahu jawabnya," jawab Deri menyelipkan sisa rambut Ella yang menutupi wajah ke belakang telinga. 

"Tapi aku belum bisa mencintaimu. Aku masih mencintai orang lain. Apakah kamu akan tetap mencintaiku?" desak Ella.

Deri tersenyum. "Sudah selama ini kita bersama kamu masih meragukanku?" Deri menarik kedua tangan Ella. Kini kedua pasang mata beradu dengan wajah yang hampir tak berjarak.  

"Kok jawabannya sekarang berbeda  …" 

"Berbeda apanya?"

"Kamu berubah ..." 

"Berubah bagaimana?"

"Aku tidak menemukan nada cemburu di matamu"

"Maksudmu?" Deri memicingkan matanya.

"Katamu, cemburu kan pasangannya cinta. Kalau tidak cemburu berarti tidak ada cinta"

"Jangan berasumsi sendiri"

"Tapi …"

"Sebetulnya tidak berubah tapi bertumbuh." Senyum merekah Deri membalas tatapan Ella. 

Belaian tangan Deri berusaha melunakkan tatapan Ella yang kembali nanar.  "Seperti halnya tubuh kita, bentuk tubuh kita ketika kanak-kanak pasti berbeda dengan bentuk tubuh kita sekarang. Secara berlahan tapi pasti tubuh kita tumbuh jadi dewasa. Demikian pula dengan karakter kita juga berkembang seiring dengan bertambahnya usia." 

" Tetap saja Itu namanya berubah" sela Ella dengan nada sedikit naik.

Deri kembali tersenyum. "Bukan berubah tapi bertumbuh." 

"Ah … sama saja. Berubah dan bertumbuh itu sama-sama menunjukkan adanya perbedaan dulu dengan sekarang," jawab Ella tidak mau kalah.

"Hahaha … ya sudah, keduanya sama" Spontan Deri mengacak kepala Ella. Senyum Deri semakin melebar melihat wajah Ella yang semula serius mempertahankan pendapatnya pecah menjadi senyuman setelah Deri mengiyakan.  

"Lalu seperti apakah cintamu itu bertumbuh?" Pertanyaan itu tiba-tiba menghentikan senyum di wajah Deri. 

"Kenapa? Aku ndak boleh tahu?" desaknya

"Bukan … bukan seperti itu …" Deri menghindari tatapan Ella

"Lalu …" Ella mencondongkan wajahnya ke wajah Deri.

Dalam diam Deri tetap menatap wajah Ella yang dipenuhi rasa ingin tahu. Kemudian Deri tersenyum, menghela nafas panjang kemudian perlahan dihembuskan.  Kedua tangan Ella kembali digenggam erat. Tatapannya tak lepas dari kedua manik di depannya. 

"Ella … orang tua kita berteman baik.  Kita sudah saling kenal sejak kanak. Kita saling mengenal karakter masing-masing lebih dalam dibanding orang lain. Mungkin bagi orang lain, bahagia itu kalau kita bertemu orang yang saling mencintai. Tapi itu tidak untukku. Aku bahagia kalau kamu bahagia," jawabnya pelan tapi mantap.

Manik Ella membeku. Keduanya terdiam. "Kamu ndak suka?" Tangan Deri menjentik ujung hidung.

Mata Ella langsung mengerjap-kerjap. "Bukan begitu …" jawabnya tersipu.

Tanpa menunggu jawaban, kedua tangan Deri langsung merengkuh tubuh Ella masuk dalam dekapannya."Iya, aku tahu … tak perlu dijelaskan. Yang harus kamu ingat, apapun keputusanmu nanti, aku akan selalu ada untukmu." Seulas senyum langsung menghias di wajah Ella. 

Sejak itu senyum dan tawa selalu mewarnai hari-hari Ella. Namun itu hanya berjalan 3 bulan. Gara-gara foto undangan di gawai, Ella kembali terpuruk bahkan semakin dalam sampai ajal menjemputnya. Dan ingatan itu semakin memperbesar kemarahan yang selama ini berusaha dipendam Deri.

Sementara itu, di atas gambar Kim Devin Cho dan Dea Ca ada tulisan besar dengan huruf kapital berwarna merah kehitaman yang berbunyi "NYAWA DIBALAS NYAWA."

Bersambung …