4 Bab 3 Hidup Baru

Jadi ceritanya, Ayah dan Ibu kami dulunya adalah agen mata-mata UNS (Hah?). Tapi sayangnya, UNS telah resmi ditutup belasan tahun yang lalu karena gagal menjalankan misi, dan anyah lainnya adalah UNS telah dihancurkan oleh musuh (Yah, lihat saja betapa tragisnya bangunan ini misalnya). Akhirnya, para anggota pun hidup berpencar dalam masyarakat umum. Kurasa hidup mereka akan lebih damai kan? Tapi kata Ayah dan Ibu, mereka tak merasa tenang, kata mereka penjahat bisa beraksi sewaktu-waktu. Apalagi belakangan, terjadi kekeringan di gurun sana. Ayah dan rekan-rekan sungguh percaya kalau itu bukan fenomena alami semata. Jadi karena mereka punya insting sebagai mantan anggota UNS, mereka tak tahan kalau diam saja dan segera bertindak. Mereka kembali ke gedung rongsok ini dan ternyata 'otak' gedung ini masih belum hancur dan bisa berfungsi dengan baik. Ini ide gila yang keren, tapi ini illegal! Kami bisa ditangkap sewaktu-waktu.

Lalu soal aku dan And, orangtua kami memutuskan untuk membawa kami ke sini. Bahkan aku dan And harus putus sekolah. Aku sungguh tak setuju dengan hal ini, bayangkan, aku sudah di semester terakhir dan akan menjalani ujian kelulusan. Tak bisakah mereka biarkan aku lulus SMA? Kata mereka, fenomena di gurun sudah dalam tahap darurat. Mereka juga tak mau membiarkanku di rumah sendirian! Argh, meski bagaimanapun aku beragrumen, bagaimanapun aku mengungkapkan betapa pentingnya kelulusan bagiku, mereka tak peduli. Mana ada orangtua yang membiarkan anaknya tak lulus, kan?

Aku sedang stress, mungkin tak lama lagi bakalan gila? Sedari tadi aku berguling-guling di atas kasur yang kerasnya seperti papan, berharap bisa ketiduran dan ketika bangunnya aku sudah berada di atas kasur rumahku. Ini semua hanya akan jadi mimpi. Lalu aku akan berangkat ke sekolah, mengerjakan soal geometri Bu Jenny, membuat presentasi, rapat OSIS, dan semua yang biasa kukerjakan. Ini semua hanya akan jadi mimpi aneh.

Sayangnya, aku tak bisa tertidur meski hanya sebentar. Jendela menampakkan hari yang sudah senja. Aku beranjak ke depan jendela yang berdebu ini, memerhatikan matahari yang bulat merah dan amat besar dilihat dari sini, sungguh pemandangan yang tak biasa. Pemandangan yang indah, tapi terasa asing.

Ketika matahari telah masuk ke peraduannya, aku pun keluar dari kamar dan mengetuk pintu kamar And. Tapi sudah kuketuk berapa lama, pintunya tak kunjung dibuka. Dia tak di kamar.

**

Andrew ada di bawah, ia menjadi bagian dari kesibukan. Namun, jumlah orang di gedung ini hanya sedikit, kurang lebih Cuma 20 orang. Tergolong sedikit sekali. Semua orang di bawah terlihat berdiskusi berkelompok. Ada yang berdiskusi di depan layar, ada yang mengelilingi peta, atau ada yang berdiskusi di atas anak pertama. Kulihat layar besar di bawah sedang menampilkan titik-titik oase. Aku menuruni tangga perlahan-lahan. Kulihat Andrew sedang ikut berdiskusi dengan Paman Marthin dan beberapa orang yang tak kukenal di atas meja bundar kecil. Aku mau menghampiri Andrew, tapi kalau aku mengganggu mereka, aku juga tak enak. Baru aku setengah jalan mendekati mereka, Paman Marthin melihatku.

"Becky, ayo ikut bergabung!", serunya sambil mengangkat tangannya memberi pertanda agar aku berjalan anyah mereka.

"Nah Becky, aku akan kenalkan kamu satu per satu. Mulai dari Paman San. Becky, kenalkan ini Paman San. Salah satu senior kita", Marthin memperkenalkanku sambil menunjuk sopan seperti gaya pelayan restoran. Paman San yang berdiri di sampingnya menyalamiku dengan ramah. Ia orang yang gemuk, dengan usia yang tak lagi tergolong muda jelas saja ia salah satu senior UNS, dan kepalanya yang botak ditutupi dengan topi. Tapi ia orang yang ramah, punya anya lembut sekaligus jenaka.

"Salam kenal, Paman San. Saya Becky", kataku dengan ramah.

"Ayoyo, Becky. Putri Michael sudah besar", katanya dengan jenaka.

Marthin lanjut memperkenalkanku pada orang di sebelah Paman San, seorang wanita yang mungkin usianya kurang lebih dengan Ibu.

"Becky, ini Yena." Kata Paman Marthin.

Kesan pertamaku pada Yena adalah seorang wanita tangguh. Ia punya garis-garis wajah keras dan bentuk tubuh seorang petarung. Ia punya rambut berwarna hitam dan berkeriting, dibiarkan terurai di bahu. Ia memberikanku seulas senyum lembut dan menyalamiku dengan kuat.

Selanjutnya adalah Andrew yang berdiri di samping Yena, dan di samping Andrew ada seorang wanita muda yang kelihatannya baru berusia 20-an.

"Ini Venessa." Paman Marthin memperkenalkan.

"Halo Becky", sapa Venessa pendek. Ia tersenyum sedikit, dan kubalas senyumnya. Ia punya tubuh ramping dan rambut hitam pendek yang diikat ekor kuda. Penampilannya modis dengan gaya yang sedikit gotik. Dia lebih kelihatan seperti seorang model daripada mata-mata.

"Jadi Becky, kita beberapa ini rencananya akan berangkat ke gurun besok. Apa kau mau ikut ambil bagian?", tanya Paman Marthin.

Aku terdiam. Karena soalnya aku tak tahu. Kulirik Andrew dan ia hanya menatapku dalam diam sama seperti orang lainnya.

"Andrew ikut dengan kami", kata Paman Marthin. "Kalau kau tak ikut dengan tim kami, kau akan tinggal disini dan ikut dengan orang tuamu memantau keadaan", tambahnya.

Kupikir-pikir dengan cepat, karena semua orang menunggu jawabanku, dan akhirnya aku berkata "Ya. Aku ikut".

"Bagus! Nah kalau begitu, sebaiknya kau berkemas-kemas karena kita akan berangkat besok", kata Paman Marthin.

"Besok? Berangkatnya besok?", tanyaku bengong.

"Yes, besok pagi-pagi sekali, jam 04.30" Jawabannya membuatku terbelalak.

"Ah, yang lain sudah boleh bubar. Terima kasih Tuan dan Nyonya-Nyonya yang saya hormati", kata Paman Marthin dengan sedikit humor. Maka mereka pun bubar, tersisa aku, Paman Marthin dan And.

"Jadi", katanya, "Besok kita akan meneliti di oase."

"Meneliti? Jadi besok kita meneliti di oase? Mengambil sampel pasir atau semacamnya untuk memastikan apa ini bencana alam atau hasil tangan manusia, mirip buat karya ilmiah." Jawabku.

"Bukan, bukan seperti itu. Kalau oase ini jelas ada campur tangan manusia di dalamnya. Itu sudah pasti," Paman Marthin menekankan, "Besok kita akan melihat apa ada petunjuk atau semacamnya."

"Dunia ini bukan seputar karya ilmiah yang kau bikin di sekolah", ledek And.

"Oh, oke. Berangkatnya besok kenapa baru kasih tahu sekarang?" ujarku lemah, "Lalu, apa saja yang perlu kusiapkan?"

"Siapkan tenagamu," Paman Marthin menekankan, "Itu yang paling penting."

Paman Marthin menekankan agar aku ikut saja, lalu menyudahi percakapan kami dan buru-buru pergi. Aku masih tak percaya kalau hari ini aku dan And baru saja sampai di antah berantah ini, besoknya kami harus ke belahan dunia lain. Hal-hal tak terduga selalu saja datang setiap saat. Mungkin, aku harus belajar siap siaga menerima kabar apapun selanjutnya.

Aku mengekori And sambil menerornya dengan berbagai macam pertanyaan, kabar-kabar terbaru yang kulewatkan selama aku berguling dalam kamar.

"Andrew, Becky", panggil sebuah suara dari jauh. Sekali aku menoleh, orangnya adalah Ibu.

"Sini, sini", panggilnya sambil mengibaskan tangan menyuruh kami ke sana, "Jadi, besok kalian ikut dengan Paman Marthin?"

"Iya."jawab And.

"Kalian berdua? Becky juga kan?",tanya Ibu penuh perhatian.

"Eng, iya, Bu." Jawabku.

"Jadi kalian berdua. Ingat ya, patuhi apa kata Paman Marthin dan yang lainnya. Jangan membangkang, atau berkeliaran sendiri. Terutama Andrew", pesan Ibu sambil menekankan kalimat terakhirnya, "Pokoknya, jangan nakal. Ini bukan main-main seperti di sekolah. Kalian saling menjaga ya. Becky, kalau kamu tak kuat, bilang ke Paman Marthin. Jangan malu-malu", pesan Ibu padaku.

"Iya, iya, Bu." Jawabku.

"Nah, sekarang, kalian kemas-kemas dulu. Jam makan malam kita bertemu di sini." Ibu menyudahi percakapan kami.

Aku dan And pun menuruti Ibu dengan taat. Berbeda sekali denganku, disini And kelihatan amat bergairah. Ia begitu bersemangat, seperti anak kecil yang tak sabar menunggu acara pesta ulang tahun dimulai. Inilah dia sifat anak cowok, suka dengan segala sesuatu seperti mata-mata, boxing dan adrenalin. Nah, And kelihatan selalu tak sabar menunggu hari baru dimulai.

Berbeda sekali denganku yang masih bingung dengan semua kejadian ini. Aku merasa seperti orang bengong yang perlu segera disadarkan. Aku masih merasa kalau ini semua hanyalah mimpi, hari-hariku seolah belum dimulai. Ya ampun, tolong aku.

avataravatar
Next chapter