'Dua belas juta? Itu uang semua? Uang jatuh darimana hingga dia dapat memiliki kekayaan sebesar itu untuk membayar sewa kamar? Karena, uang sebanyak itu bahkan bisa untuk membeli sepetak sawah di desanya …'
Bak tersambar petir di siang bolong, wajah Indra jadi pucat saat mendengar kenyataan yang harus ia hadapi ke depan nanti. Karena tentu saja, mau tak mau ia juga harus menemukan sebuah tempat untuk berteduh selama mengikuti perkuliahan. Namun jika memang harga sewa kamar harus dibayarkan adalah sejumlah itu, tentu saja ia tak akan mampu untuk memenuhinya.
Tapi, namanya juga Indra. Meskipun sempat tersapu pucat pada wajahnya dan juga berasa dingin di sekujur tubuh, dia tetaplah pemuda yang sudah teruji oleh kerasnya dunia kemiskinan. Dan bagi seseorang yang seperti itu, bahkan sehelai tikar tipis atau selembar kardus pun tetap akan membuat tidurnya nyenyak.
Jadi, buat apa juga ia harus merisaukan tentang bagaimana kondisi kelayakan kamar yang harus ia tempati nanti? Sebab ia juga yakin, pastilah akan ada orang yang menyewakan kamar dengan harga yang terjangkau oleh kantongnya sendiri. Dan meskipun harus di dalam lorong sempit atau bahkan daerah yang jauh dari kampus, ia tak akan keberatan untuk tinggal disana. Karena, ia juga sudah bersiap membawa sebuah kendaraan istimewa bagi sarana transportasi sejauh apapun, yang bahkan tak perlu digerakkan dengan membeli bahan bakar.
Medapatkan pemikiran yang seperti itu, Indra Perkasa telah langsung saja berubah kembali menjadi dirinya yang sebenarnya. Sebab tanpa perlu gengsi dan menutupi keadaan yang sebenarnya, ia akan menjadi dirinya sendiri meski sebesar apapun simpatinya pada si gadis yang telah membuat hatinya bergetar.
Karena itulah, si pemuda juga langsung menjawab penjelasan sang gadis dalam kata-kata yang ringan juga. Dengan suara perlahan agar tak menimbulkan kegaduhan kembali, Indra pun berujar,
"he he he … kalau sejumlah itu bayar sewanya, tentu saja aku tak akan mampu. Bayar sewa kamarnya aja sudah menghabiskan seluruh uang saku beasiswa. Terus, aku makan pakai apa? Hi hi hi …" demikian ujarnya, yang lalu diikuti dengan tawa yang begitu tulus terdengar.
"Oh, maaf … aku kira, orangtuamu memberi uang saku juga." Gadis itu langsung menyahut kata Indra. Dan mendadak saja, Vanessa tampak menyesal karena telah begitu sembrono mengatakan hal yang sebenarnya bukanlah urusan dia.
"Nggak perlu minta maaf. He he … emang kenyataannya gitu. Katakan saja, aku nekad ingin kuliah karena mendapatkan beasiswa. Dengan begitu, aku harus mencukupkan semua kebutuhan dengan dana yang ada."
Begitu berbesar hati, Indra mengatakan apa adanya tanpa mau terlihat begitu mengenaskan dan seperti meminta belas kasihan. Sebab walau sebesar apapun ia menyukai sang gadis untuk menjadi temannya, pemuda itu tak mau berbohong terkait kondisinya yang memang kurang beruntung.
Namun diluar dugaannya, Vanessa malah memandang dirinya dengan tatapan mata yang seolah tak percaya. Dan bukannya gadis itu mempertanyakan benar tidaknya pernyataan sang pemuda, ia malah mengatakan satu hal yang diluar dugaan Indra.
"Benarkah? Wah … kalau begitu, kamu memang bener-bener keren. Jaman sekarang, tidaklah banyak dijumpai pemuda yang seperti kamu ini. Hampir semua, umumnya malah terlalu manja untuk berani menantang hidup yang begitu keras ini. Tapi, agaknya kamu memang berbeda. Dan tahukah dirimu? Hal itu justru dengan sangat, telah saja membuatku semakin ingin berkawan denganmu," begitu tulus, kata-kata lembut itu meluncur dari bibir tipis yang tadi sempat mengomeli Indra. Dan saat si pemuda mencoba mencari batas kesungguhan dalam sorot matanya, saat itu jugalah ia menemukan kejujuran yang tak dapat disembunyikan.
***
Sesudah beberapa kali dipanggil untuk membubuhkan tanda tangan pada berbagai berkas, mereka berdua juga dioper ke beberapa meja untuk mengisi blangko dan formulir lainnya. Dalam penantian yang jadi terasa cepat akibat menemukan teman mengobrol yang menyenangkan, pun pada akhirnya semua bisa diselesaikan dengan baik.
Usai mempersilakan Vanessa untuk terlebih dahulu menuju loket penyerahan, Indra menunggu dengan sabar hingga gadis itu menyampaikan semua hal yang ingin ia pertanyakan. Barulah setelah puas, iapun mundur sambil membawa sebuah tas yang nampak berisi bermacam benda.
Namun untuk seketika itu juga, Indra menjadi heran. Dan ia justru mempertanyakan keberadaan si gadis yang seperti tengah menunggu dirinya selesai mengurus proses akhir pendaftaran ulang. Karena tanpa berucap apapun, sepertinya Vanessa terlihat enggan untuk segera berpisah dengannya.
Dan benar saja, gadis cantik itu langsung saja terlihat berdiri saat Indra meninggalkan loket serah terima dan berniat untuk segera pergi dari ruangan tersebut.
"Sudah?" tanya gadis itu dengan seketika.
"Hu um … udah, kok."
"Nggak ada yang ketinggalan atau kelupaan, kan? Semua lengkap?" masih saja cerewet, gadis itu terus bertanya.
"Iya, lengkap. Jas almamater, kaos, rekening tabungan, ATM, dan kartu mahasiwa serta beberapa biji buku panduan."
"Oh, oke … yuk, kita pulang." Demikian sahut Vanessa tanpa beban.
Menghindarkan diri dari perhatian yang tak mengenakkan hatinya, Indra memang langsung saja menginventarisir harta benda baru yang dimilikinya. Karena sejujurnya saja, perhatian yang seperti itu telah saja membuat dirinya jadi canggung dan sekaligus jengah. Sebab dalam usianya saat ini, ia belum pernah sekalipun membiarkan lawan jenisnya menjadi sedekat dan seintim itu padanya.
Tetapi entah bagaimana ceritanya, Indra juga tak merasa keberatan dengan perhatian yang diberikan kepadanya itu. Karena bersama si gadis yang terlihat cuek dan sedemikian bebasnya, ia merasakan bila dirinya bisa menjadi apa adanya tanpa perlu menutupi apapun.
---
Keduanya segera saja berjalan untuk keluar dari ruangan yang telah mempertemukan mereka. Dalam diam yang menghanyutkan perasaan, si pemuda terus melangkah tanpa sedikitpun menengok ke belakang. Karena dalam hatinya, telah tertanam dengan kuat bila dirinya harus mampu melewati segala tantangan yang menghadang di depan.
Namun meskipun Indra menyadari bila keadaan dirinya sangat berkekurangan, saat itu ia malah merasa jadi sebaliknya. Karena dengan begitu gagah dan menegakkan tubuhnya untuk berjalan, ia seolah merasa sedang melangkahkan kaki untuk menyongsong cita-cita sembari diringi seorang gadis cantik yang sedemikian penuh pesonanya.
Tentu saja, hal itu hanyalah merupakan perasaan Indra perkasa saja. Dimana setelah ia keluar dari kantor administrasi pendaftaran ulang yang didalamnya juga terdapat seorang petugas Bank yang ditunjuk, mendadak saja ia merasa jika statusnya sudah sedemikian berubah dengan drastis. Hal tersebut, tentunya disebabkan oleh analisa subyektifnya sendiri yang seolah merasa sudah bertambah meningkat kekayaannya secara berkali lipat.
Hal itu, tentunya akan bisa mudah dimengerti oleh orang yang sudah mengenal latar belakang Indra Perkasa. Karena dalam usianya yang sekarang, baru kali inilah ia memiliki sebuah rekening Bank. Dimana jumlah saldo didalamnya, adalah nominal yang terlihat begitu fantastis dalam penilaiannya. Dan jujur saja, hal itulah yang sekarang telah saja membanggakan hatinya.
Satu juta lima ratus ribu rupiah, itulah harta kekayaan yang ia miliki diluar uang tunai sebesar tigaratus ribu pemberian ibunya. Dan bila semua itu ia tambahi dengan jas baru almamater serta ponsel retak layar pemberian mantan majikannya, iapun telah saja semakin melambung dalam perasaan telah menjadi kaya mendadak.
Karena itulah, iapun terus saja berjalan dengan kepala tegak dan bahu yang terangkat sedemikian gagahnya. Hingga sampai suatu ketika, sebuah suara yang datang dari alam nyata telah saja menyadarkan kenyataan hidupnya pada saat itu,
"Kamu naik apa, kesininya?" tanya Vanessa yang diam-diam mengamati betapa kini teman barunya jadi terlihat lebih bersemangat setelah terdaftar resmi sebagai calon mahasiswa.
Mendengar kata gadis yang ada di sampingnya, sontak saja Indra menghentikan langkahnya. Dan dengan seketika, iapun jadi sadar kembali jika kekayaan yang ia miliki saat itu tidaklah akan cukup mengidupinya dalam selama satu bulan. Karena jumlah uang beasiswanya, hanyalah akan cukup untuk membayar sewa kamar saja.
---
Setelah menepuk jidatnya sendiri agar sepenuhnya menjadi sadar dari khayalan, pemuda itu langsung saja tertawa sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Vanessa.
"Ha ha … eh, aku kesini numpang mobil seseorang. Kendaraanku sendiri malah aku titipkan di pos sekuriti gerbang utama." Demikian Indra menjawab dengan sepenuh kewarasan yang pernah ia miliki.
"Oh, ya udah … berarti kamu ikut aku aja. Nanti kuantar sampai sana," dengan spontan, Vanessa langsung saja memberikan penawaran.
"Enggak, deh … makasih, aku kesana sendiri saja," tak mau berbasa-basi, Indra langsung saja menjawab sejujurnya.
"Beneran, nih? Okelah kalau begitu. Tapi, kalau minta nomor ponselmu boleh, dong? Kita tukeran, yuk … biar bisa saling ketemuan lagi. Kuliah kan baru dimulai bulan depan, jadinya belum ada teman seangkatan yang bisa aku ajak ngobrol," gadis itupun kembali menjawab sambil mengatakan berbagai alasan untuk saling bertukar nomor.
"Oh, boleh … he he … tapi, handphone aku jadul. Pecah, lagi … Itu aja pemberian seseorang," sahut Indra dengan santai.
"Nggak penting itunya, kali … yang paling penting, kita bisa saling komunikasi. Isi lebih penting dibanding kemasan … hi hi …" sambil santai dan cuek juga, gadis itupun menanggapi.
Sembari saling bertukar nomor dan mengobrolkan banyak hal tentang diri mereka masing-masing, tanpa sadar keduanya sudah saja sampai di tempat parkir kendaraan. Indra yang seperti menurut saja mengikuti arah langkah sang gadis, mendadak saja jadi terkejut waktu melihat sesosok gempal yang sangat ia hapal.
Tapi belum juga Indra memperlihatkan reaksinya, mendadak saja ia mendengar Vanessa berkata dengan sedikit berbisik,
"Waduh … ada apa, ini?"
"Lah, kenapa?" tanya Indra yang jadi heran.
"Itu, mobilku kok ditongkrongin sekuriti gitu? Emangnya, aku salah apa?" seperti panik, gadis itu telah saja mendadak jadi serius.
Namun begitu, ia tetap saja menguatkan diri untuk melangkah maju mendekati seorang sekuriti yang tampak menyeramkan dengan kumis melintangnya diatas bibir. Sembari tanpa sadar memegangi lengan Indra, Vanessa melangkah dengan hati yang berdebar.
Hampir saja Indra tak bisa menahan tawanya yang pasti akan terbahak. Karena dengan sendirinya ia segera paham, bahwa gadis itu telah salah mengartikan keberadaan Joko Samudra. Karena lelaki berseragam dinas itu, terlihat sedang berdiri seakan tengah mengamati dengan curiga mobil yang terparkir di sebelah jip usangnya.
Dan saat itu juga, pemuda itupun bisa menebak bila sebuah SUV keren yang sedang dikagumi oleh sang sekuriti, adalah kendaraan milik Vanessa. Dimana dalam waktu yang bersamaan, gadis itu mengira jika kendaraannya sedang berada dalam sebuah penyelidikan dan pengawasan.
---
Untung saja, kejadian itu tak berlangsung dengan lama. Karena baru juga mereka tiba di tempat yang mereka tuju, sang sekuriti telah dengan sigap membalikkan tubuh untuk menghadap pada kedua orang pendatang. Dan selagi Vanessa masih saja belum berani bicara apapun, mendadak saja orang tersebut sudah mengembangkan senyumnya untuk kemudian tertawa dengan begitu ramah dan bersahabat,
"Waduhhh … baru juga daftar ulang, udah dapat pacar juga. Wah, kamu memang hebat, Le. Nggak cuma pinter ngakalin mobilku, ternyata juga pinter cari pacar yang begini cantik. He he he … atau jangan-jangan, kalian sudah janjian, ya? Hayo … sebenarnya kalian sudah pacaran, terus janjian buat daftar ulang di hari terakhir. Iya, to? Ngaku aja … ha ha ha …" tanpa terkendali lagi, Joko Samudra langsung saja melancarkan aksi bermain kata.
Pria berwajah menyeramkan tapi berhati selembut beledu itu, nampaknya telah langsung saja kembali mengacaukan hari Indra. Karena tanpa tedeng aling-aling atau ingin mengusut sebelum menduga, dia telah seketika main tuduh saja. Dimana, serentetan kata-kata yang merepet itu telah saja membuat Vanessa lupa untuk mengatupkan mulutnya yang terbuka lebar saking herannya.
***
Benarkah benih-benih simpati yang bertabur akan tersemai menjadi kuncup cinta?
Karena disadari ataupun tidak, jurang perbedaan diantara keduanya memanglah terlihat begitu dalam dan lebar. Dan meskipun Indra tak pernah merasa minder atau rendah diri terhadap apapun, namun ia cukuplah bijak untuk selalu menjadi tahu diri.
Jika memang demikian, lalu apakah yang akan terjadi dengan benih-benih kasih yang sudah terlanjur menyebar? Akankah itu dipupuk serta dirawat agar menjadi tumbuh subur dalam hati keduanya?
Atau ... semua malah akan sia-sia, karena benih itu hanya kering dan mati diatas lahan yang gersang ...
---
Terimakasih untuk tetap selalu mengikuti. Dan penulis juga berharap agar kakak semua sudi untuk memasukkan novel ini ke dalam rak buku sebagai dukungan.
Terimakasih,
salam ...