webnovel

Bab 38

Raja patuh. Pemuda itu mendatangi Citra. Begitu pemuda telah mendekat dan tangannya digenggam oleh Citra, cahaya purnama semakin menjadi-jadi. Goa itu seolah menjadi panggung pertunjukan musik yang disirami cahaya.

Tanpa terasa Sin Liong dan Kedasih saling berpegangan tangan. Maju ke depan setapak demi setapak. Ada kekuatan magis yang menarik mereka agar ikut mendekat.

Citra berbisik di telinga Raja.

"Angkat tanganmu yang mengenakan cincin malih rupa Raja." Raja mengangkat tangannya.

"Lepaskan Cincin Umpak Mataram dan serahkan kepadaku Manuskrip itu Raja." Raja melepas cincinnya perlahan. Begitu cincin itu terlepas terlihat kilatan cahaya yang sangat dahsyat di seluruh ruangan goa. Cincin itu mengambang di udara. Bermandikan cahaya purnama. Citra menangkupkan kedua tangannya di dada sambil mengucap mantra.

Keanehan untuk kesekian kalinya terjadi. Cincin Umpak Mataram seolah sedang melahirkan. Perlahan-lahan Manuskrip keluar dari tengah lingkarannya. Ikut mengambang di udara. Ikut bermandikan cahaya purnama. Kilatan-kilatan cahaya terus meledak-ledak di ruangan goa tanpa mengeluarkan suara.

Tanpa disadari oleh keduanya, Sin Liong dan Kedasih yang masih berpegangan tangan sudah sampai di belakang Citra dan Raja. Menyaksikan pertunjukan aneh bin ajaib yang sedang terjadi. Dengan mulut terbuka dan mata terbelalak lebar.

Citra meraih Manuskrip.

"Kenakan lagi cincinmu Raja." Raja seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Mengambil cincin yang mengambang dan memakainya lagi.

Terdengar suara lirih Citra membaca Manuskrip yang bertuliskan Bahasa Sansekerta klasik. Meskipun sangat pelan, namun suara Citra seperti dipantulkan oleh dinding-dinding goa menjadi semacam nyanyian.

Di rumah utama Bukit Bubat, pertemuan untuk kesekian kalinya diadakan. Mada ingin membahas rencana untuk menyerbu Bunker. Tempat perlindungan Raja dan kawan-kawannya itu memang tidak bisa dideteksi berada di mana. Namun salah seorang anggota Trah Maja yang terus melakukan kegiatan intelijen tadi melaporkan kepada Mada bahwa dia mencurigai sebuah tempat di perbatasan Jombang-Mojokerto. Sebuah kompleks peninggalan zaman Belanda yang saat ini sedang dipakai untuk lokasi shooting salah satu rumah produksi dari Jakarta, sebagai Bunker.

Pertemuan baru saja akan dimulai saat Putri Calon Arang tiba-tiba matanya terbelalak lebar lalu menutupi telinganya dan menjerit senyaring singa betina.

"Paduka Mada! Gerbang Waktu sedang akan terbuka! Mereka ada di bawah sana! Di goa yang persis berada di bawah bukit ini!"

Mada terkejut bukan kepalang. Tak tahunya mereka sudah ada di perut Bukit Bubat. Mada memberi isyarat kepada semua orang untuk mengikuti Putri Calon Arang berlari keluar rumah menuju ke suatu tempat di halaman bawah yang sering disebut sebagai Sarang Lebah Mengamuk. Tidak ada yang berani ke sana karena Mada memagarinya dengan kawat baja yang dialiri listrik di sekelilingnya.

Sambil berlari mengikuti Putri Calon Arang yang terus berlari terburu-buru, Mada berteriak memerintahkan agar aliran listrik dimatikan. Bukit Bubat langsung gelap gulita begitu aliran listrik dipadamkan.

Namun kegelapan itu digantikan oleh cahaya terang luar biasa yang memancar keluar dari Sarang Lebah Mengamuk di hadapan mereka. Mada, Putri Calon Arang, Puteri Merapi, Panglima Gagak Hitam, Hoa Lie dan Giancarlo berdiri berdampingan. Mpu Candikala sengaja tidak ikut dan tetap berdiam dalam rumah. Ada sesuatu dalam pikirannya yang mencegahnya ikut ke sini.

Cahaya itu makin terang, makin terang dan kemudian meledakkan spektrum cahaya dalam sebuah momentum singkat yang hanya sepersekian detik.

Saking silaunya, beberapa orang tanpa sengaja memegang apa saja yang terdekat dengannya. Putri Calon Arang memegang lengan Mada. Puteri Merapi meraih selendang Putri Calon Arang. Panglima Gagak Hitam terjengkang ke belakang. Hoa Lie dan Giancarlo yang hilang keseimbangan akibat jatuhnya Panglima Gagak Hitam, terhuyung-huyung menabrak Puteri Merapi.

Satu kilatan cahaya lagi dan kemudian situasi kembali gelap gulita. Orang-orang berteriak agar listrik dihidupkan kembali. Mereka khawatir kilauan cahaya raksasa tadi adalah serangan musuh. Mereka tidak akan bisa bertahan dari serangan dalam kegelapan.

Begitu listrik telah dihidupkan dan lampu kembali menyala terang di seantero Bukit Bubat, para pasukan penjaga yang berjumlah belasan terpaku tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mada, Putri Calon Arang, Puteri Merapi, Hoa Lie, dan Giancarlo telah lenyap dari hadapan mereka. Padahal jelas-jelas tadi ada di depan mereka mengerumuni Sarang Lebah Mengamuk. Hanya tersisa Panglima Gagak Hitam yang tertatih-tatih berdiri sambil berkata.

"Kalian tidak usah mencari. Mereka semua sudah kembali ke masa lalu." Panglima Gagak Hitam melangkah pergi sambil menyumpah-nyumpah berang. Kenapa dia terlempar tadi?

Bersamaan dengan menghilangnya Mada dan sekutunya yang terhisap pusaran waktu, di dalam goa, kejadian yang hampir serupa juga terjadi. Berbarengan dengan puncak ledakan cahaya setelah Citra selesai membaca semua mantra yang tertulis di Mansukrip, Tubuh keempat orang itu juga lenyap tak berbekas.

Citra yang masih memegang tangan Raja, sengaja meraih lengan Kedasih yang juga masih berpegangan tangan dengan Sin Liong.

Citra mengajak semua kawannya kembali ke masa silam di tempat dia seharusnya bersemayam. Istana Galuh Pakuan.

---********