webnovel

Bab 28

Semua orang berkerumun di depan layar laptop Kedasih. Sangat penasaran dengan apa yang diemailkan oleh Babah Liong dari Bandung.

Kedasih mengunduh lampiran yang berukuran sangat besar itu dan mencetaknya di printer besar yang tadi baru tiba dari Bandung. Inilah yang ditunggu-tunggu oleh kerumunan 4 orang itu.

Sin Liong mengambil lembaran kertas A0 hasil print out dan menghamparnya di meja makan dari kayu Jati yang sangat besar. Sebuah peta hasil analisa Citra Satelit terpampang di sana. Peta yang dilengkapi kontur, rupa bumi, dan bawah permukaan dari hasil analisis logaritma geofisika. Sebuah peta yang lengkap dan cukup rumit bagi mata awam.

Citra jadi pusing melihat banyaknya garis-garis melengkung yang saling sambung menyambung di peta. Belum lagi tampilan warna yang begitu banyak. Raja tersenyum geli. Hanya orang-orang geologi yang bisa memahami peta serumit itu. Dia bisa memahami peta itu karena diajarkan juga di Arkeologi meskipun tidak sedetail jurusan Geologi.

Kedasih adalah Doktor ilmu Sejarah yang merupakan periset handal. Tapi melihat peta itu, kepalanya juga jadi sepusing Citra. Wanita itu mundur. Membiarkan Raja dan Sin Liong mengamati dengan seksama.

"Kau benar Raja. Sungai ini mayoritas berada di bawah tanah sebelum menjadi sungai permukaan di sini dan sini." Sin Liong menunjuk sebuah titik dengan nama desa tertentu dan titik lain yang terdapat jauh di bawah Bukit Bubat. Raja mengiyakan.

"Kita bisa masuk melalui sungai permukaan yang menghilang ke bawah tanah sekitar 2 km dari Bukit Bubat, atau kita juga bisa menelusuri sungai di desa tempatmu bertemu dengan Resi Saloko Gading sampai masuk ke bawah bumi di perut Bukit Jati yang merupakan muara pertemuan dengan pecahan sungai tadi." Sin Liong terus memperhatikan dengan teliti.

"Atau, kita bisa masuk di tempat sungai besar ini bermula lalu menyusurinya hingga pecah menjadi dua sungai kemudian kita berbelok ke kanan mengikuti sungai yang mengarah ke perut Bukit Bubat." Raja menunjuk garis tebal berwarna biru tebal yang bersambung dengan garis putus-putus.

Sin Liong menoleh. Menggelengkan kepala.

"Terlalu berbahaya aku rasa. Sungai ini lebarnya sekitar 40 meter, berarus deras karena topografinya cukup curam, dan aku yakin pasti berbatu-batu karena daerah ini memang dipenuhi batu-batu besar yang tersebar di mana-mana."

"Betul. Tapi masih lebih mungkin dibanding melawan arus, bukan?" Raja menanggapi dengan mata tak beranjak dari peta. Sin Liong mengangguk tak kentara. Masih ragu. Sungai utama ini berukuran besar. Tingkat kesulitannya pasti sangat tinggi.

Pemuda ini berdiam diri sebentar, lalu menoleh ke arah Citra dan Kedasih.

"Kalian pernah melakukan arung jeram kan?" Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan kalau melihat latar belakang 2 wanita itu. Citra adalah putri istana yang tidak akan punya pengalaman seberbahaya itu. Sedangkan Kedasih menghabiskan waktunya di kampus, baca buku di perpustakaan dan mengulik situs-situs sejarah,

Benar saja. Citra dan Kedasih berbarengan menggelengkan kepala. Muka keduanya nampak kecut. Arung jeram? Menaiki perahu karet dan melaju kencang dengan mengikuti arus yang sangat deras? Astaga! Apakah Sin Liong serius?

Raja menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tahu jalan pikiran Sin Liong. Dia pernah beberapa kali mengikuti arung jeram. Asik dan menegangkan. Sin Liong bukan hanya pernah. Dia bahkan seorang atlit arung jeram. Pemuda tangguh itu senang melakukan apa saja yang menyerempet bahaya.

"Sepertinya kita mesti menggunakan Kataraft karena 2 orang dari kita berempat tidak pernah melakukan arung jeram. Perahu ini kurang stabil di arus yang sangat deras tapi mampu menampung kita semua. Raja dan aku akan mengendalikan perahu ini yang penting kalian tidak banyak bergerak dan menjerit-jerit."

Kedasih melengos kesal. Himbauan tidak banyak gerak masuk akal, tapi dilarang menjerit? Dalam situasi setegang itu? Sin Liong sudah tidak waras!

Citra tersenyum geli melihat raut muka kesal Kedasih. Dia sendiri sudah membayangkan kehabisan suara karena terlalu banyak menjerit di atas perahu yang berguncang hebat kesana kemari.

"Aku setuju saja dengan rencanamu Sin Liong. Kau lebih banyak tahu mengenai arung jeram dibanding aku yang hanya pernah beberapa kali. Itupun hanya untuk bersenang-senang. Sedangkan kau memang atlit arung jeram."

"Baiklah. Aku akan menyiapkan semua perlengkapannya dalam beberapa hari ini. Sebetulnya kapan sih kita akan memulai misi penyusupan ini?" Sin Liong bertanya kepada Raja. Namun yang menyahut adalah Citra.

"Tunggu! Aku akan memberitahu kalian waktu yang paling tepat untuk melakukannya. Aku akan mencari petunjuk malam ini."

"Satu pertanyaan dariku sebelum kita semua beristirahat. Malam sudah mulai larut." Kedasih mengangkat tangan kanannya.

"Bagaimana caranya kita menyelundupkan perlengkapan sebanyak itu hingga ke sungai besar yang kau maksud Raja?"

Sin Liong tertawa tergelak.

"Kita tidak akan membawa barang-barang sebesar itu ke sana Kedasih. Kita akan merakitnya di sana."

Raja mengerutkan keningnya.

"Itu berarti aku perlu mencari tahu ke sana. Jalur 2 paling tepat untuk kujelajahi lagi. Kedasih, aku perlu sepeda motor trail."

Kedasih melambaikan tangannya. Itu mudah saja.

Suara bip bip beberapa kali membuat Kedasih meraih meraih gawai yang tergeletak di meja. Babah Liong.

"Aku melihat tanda-tanda kemunculan Puteri Merapi di Trowulan. Dia sendirian. Tapi dari arah lain aku mendeteksi kehadiran orang-orang manjing yang sedang menuju Bukit Bubat. 3 orang menggunakan mobil. Dari arah selatan."

"3 Datuk Hitam!" Serempak Raja dan Sin Liong berseru.

Keempat orang itu saling berpandangan. Mada sama sekali tidak main-main. Bukit Bubat naik level lagi menjadi Alcatraz!

--********