webnovel

Bab 19

Rasa sakit yang menimpa bahu Raja pulih dengan cepat. Pemuda dalam wujud Harimau itu menggeram rendah bersamaan dengan perubahan wujudnya kembali menjadi manusia. Tepat bersamaan dengan perubahan wujud Nyi Blorong menjadi manusia.

Raja sadar satu hal sekarang. Dia akan mudah menjelma menjadi Harimau saat dalam keadaan terluka dan terdesak atau sedang menjalani situasi berbahaya. Tidak serta merta setiap saat dia bisa berubah.

Nyi Blorong menudingkan telunjuknya ke muka Raja sambil menatap dengan pandangan menusuk. Suaranya lirih dan gemetar saat berkata.

"Kau ikutlah denganku ke pantai selatan. Aku akan menjadikanmu panglima terkuat yang pernah ada di Kerajaan Laut Selatan." Suara itu nyaris seperti berbisik. Raja seperti diayun lembut di sebuah ngarai yang sangat tenang dengan gemericik air sungai yang merdu. Kesadarannya melayang. Menjauh dari badan wadagnya.

"Raja sadarlah! Dia sedang melakukan tenung penaklukan terhadapmu!" Suara teriakan Citra yang mengandung kekuatan magis menembus dinding kesadaran Raja yang nyaris terseret mantra Nyi Blorong. Pemuda ini membuka mata. Menggeramkan geraman harimau tapi dalam wujud manusia. Mantra itu langsung buyar terkena geraman rendah itu,

Nyi Blorong menjeritkan kemarahan. Dari kedua tangannya yang diayun ke depan, keluar dua larik cahaya kebiruan yang langsung mengarah ke kepala Raja. Pukulan mematikan yang diperkuat juga dengan ilmu sihir. Raja menggeram lagi untuk memunahkan ilmu sihir Nyi Blorong. Kedua tangannya didorong ke depan menangkis serangan. Kedua pukulan beradu. Akibatnya Nyi Blorong menjerit lagi. Tubuhnya terjajar ke belakang beberapa langkah. Dari sudut mulutnya nampak tetesan darah segar.

Panglima Gagak Hitam marah bukan main. Dihantamkannya Tombak Kyai Turun Sih ke kepala Raja sekaligus tendangan kakinya meluncur deras ke dada pemuda itu. Raja tak mau membuang waktu. Kembali ketua tangannya bergerak. Satu menerima pukulan tombak dengan cara menangkap mata tombak dan tangan satunya menghantam kaki yang mengarah dadanya.

Terdengar suara krekk keras saat kaki Panglima Gagak Hitam patah terkena pukulan Raja. Sedangkan tombak sakti milik keraton itu berhasil direbut Raja meskipun tangannya terluka dan berdarah karena mata tombak itu memang tajam bukan main.

Panglima Gagak Hitam terjatuh sambil meringis kesakitan. Kakinya patah. Tidak mungkin dia bisa melanjutkan pertarungan dalam kondisi seperti ini. Ilmu hitam dan sihir tidak berguna melawan pemuda reinkarnasi ini. Sebaiknya dia pergi. Panglima Gagak Hitam melepas Ilmu Panglimunannya. Dalam sekejap tubuhnya telah menghilang dari area pertempuran.

Nyi Blorong melotot tak percaya. Dasar brengsek hitam pengecut! Wanita cantik yang sakti ini menatap Raja. Pemuda ini tadi nyaris terperangkap ilmu gendamnya kalau saja perempuan cantik di depan mobil itu tidak merusak mantranya. Tidak ada gunanya untuk terus melawan. Pemuda ini sangat tangguh. Dia tidak mampu mengalahkannya sendirian. Belum lagi perempuan cantik yang nampak memiliki kekuatan magis tinggi itu. Nyi Blorong tertawa cekikikan seperti kuntilanak lalu berlari cepat meninggalkan hutan sepi itu. Ketawa panjang yang menggambarkan kekecewaan besar.

Raja melangkah gontai sambil menyeret Tombak Kyai Turun Sih. Tubuhnya sangat lelah. Pertempuran tadi menguras energinya secara berlebihan. Mereka lepas dari bahaya tapi Sin Liong terluka cukup parah dan dia sendiri sangat lemas. Kalau ada serangan musuh lagi, entah apa jadinya.

Citra dan Kedasih memapah Sin Liong ke dalam mobil. Raja menghempaskan tubuhnya di jok belakang di samping Sin Liong yang menggelosoh tak berdaya. Sadar namun setengah pingsan. Kedasih mengambil alih kemudi mobil dengan Citra duduk dengan tegang di sampingnya. Cherokee merah itu bergerak perlahan menuju tujuan akhir. Meninggalkan arena pertempuran yang menyisakan percikan darah, ranting-ranting patah dan daun-daun membelasah.

Citra paham apa yang sedang terjadi pada Raja. Meskipun bisa mementahkan mantra Nyi Blorong namun karena sebelumnya hampir terjatuh dalam pengaruh gaib wanita ular itu, sebagian jiwa Raja masih belum kembali sepenuhnya. Karena itulah rasa lelah yang luar biasa mendera Raja. Pemuda ini perlu waktu untuk memulihkan diri. Untunglah Raja memakai Cincin Umpak Mataram. Jika tidak, bisa saja kekuatan Citra tidak mampu menariknya kembali. Citra bergidik membayangkan betapa dahsyatnya ilmu sihir Nyi Blorong.

Kedasih tidak mau terburu-buru. Selain karena tidak mengenal medan meskipun jalanan tidaklah sesulit sebelumnya, namun juga karena tubuhnya masih gemetar. Dari semua pertarungan yang dia saksikan selama berpetualang bersama ketiga kawannya, kali inilah yang menyedot habis energinya karena rasa cemas yang bertubi-tubi menghantam.

Bagaimana tidak? Dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri seorang legenda yang selama ini dianggap hanya mitos, muncul di hadapannya dalam wujud yang mengerikan. Seekor ular raksasa berkepala manusia, seekor harimau hitam legam yang geramannya sanggup mencopot jantungnya, dan kemunculan tokoh-tokoh jahat masa lalu yang tidak segan-segan melukai bahkan membunuh.

Kedasih melirik layar navigasi. Tak lama lagi mereka masuk jalan negara. Setelah itu keluar lagi masuk jalan kabupaten Jombang dan selanjutnya melipir ke jalan pedesaan di perbatasan Jombang-Mojokerto. Tak lama lagi. Dia sangat lelah. Ingin sekali tidur nyenyak di tempat yang tidak menimbulkan rasa was-was.

Citra memandangi jalanan di depannya dengan tatapan kosong. Semakin berat saja aral yang merintangi mereka. Bahkan Sin Liong terluka dan Raja kehilangan sebagian jiwanya. Apakah ini semua kesalahannya? Membawa rasa melankolis dan kepedihan ke orang-orang lain? Meski orang-orang ini melakukannya secara sukarela tapi Citra merasa sangat bersalah.

Dua butir airmata melompat keluar dari mata putri yang cantik itu.

Kedasih bukannya tidak memperhatikan. Ingin menghibur Citra tapi konsentrasinya tersita dengan padatnya jalan raya. Mereka sudah memasuki jalan Trans-Jawa yang penuh dengan truk-truk besar dan seliweran mobil dan motor. 10 km lagi dia harus berbelok ke jalan kabupaten. Kedasih berdoa semoga tidak ada infiltrasi musuh. Jalanan ini sangat sibuk. Kalau sampai mereka dikejar dan diserang musuh di sini, Kedasih tidak bisa membayangkan berapa banyak korban sampingan yang akan timbul.

10 km dilalui dengan aman. Tapi tidak saat Kedasih mulai memasuki jalan kabupaten. Dari kaca spion, perempuan bangsawan keraton Yogyakarta itu melihat dengan jelas Pajero hitam dan Fortuner putih tancap gas mengejar. Sialan! Kedasih menambah kecepatan.

-*********