webnovel

Bab 10

Malam ini mereka bermalam di rumah Kedasih yang masih dalam lingkungan keraton. Semuanya berharap tidak akan terjadi apa-apa. Situasi sama sekali tidak bisa diprediksi. Terlalu banyak faktor tak terduga yang ikut berperan dalam peristiwa ini.

Sin Liong bahkan sempat menyampaikan pendapatnya yang cukup mengkhawatirkan.

"Kita baru berhadapan dengan lawan yang bahkan belum separuh kekuatan kurasa. Kita juga mesti memperhitungkan pemburu harta dari Belanda dan agensi China yang sepemahaman dengan Mada. Mereka belum memunculkan batang hidungnya saat ini. Tapi aku menduga tak lama lagi mereka akan memperlihatkan diri di situasi yang menguntungkan mereka."

Ketiga kawannya mengangguk mengiyakan. Pendapat Sin Liong sangat tepat. Mungkin ini saatnya melakukan kontak dengan Babah Liong. Kedasih membuka sambungan video call.

"Babah, kami semua sudah sampai di keraton. Proses penyatuan Manuskrip akan terjadi malam ini jika direstui. Kita akan mengetahui hasilnya besok pagi." Kedasih membuka percakapan.

Babah Liong hanya mengangguk.

"Terjadi beberapa peristiwa hebat selama perjalanan kami ke keraton. 3 kali kami diserang oleh orang-orang suruhan Mada. Pertama di pesawat. Kedua di kereta. Ketiga di gerbang selatan keraton. Ketiganya oleh orang-orang yang sangat tangguh dan semua manjing dari masa lalu." Raja menimpali.

Kembali Babah Liong mengangguk mengerti.

"Kami sadar tengah terkepung oleh banyak pihak. Orang-orang Mada kami nyaris tahu semua. Tapi pihak-pihak lain seperti orang asing pemburu harta dan orang-orang dari agensi museum China, kami sama sekali tidak update mengenai keberadaan mereka Papa. Apakah Papa bisa bantu memonitor mereka?" Kali ini Sin Liong yang angkat bicara.

Babah Liong menyeka keringat di keningnya.

"Itulah yang ingin kusampaikan kepada kalian. Aku memonitor mereka semua setiap hari selama nyaris 24 jam. Aku cemas karena sepertinya mereka melakukan pergerakan diam-diam yang membahayakan kalian." Babah Liong berhenti sejenak. Lagi-lagi menyeka keringat di keningnya. Mungkin cuaca Bandung sedang panas.

"Orang dari China itu terakhir aku lihat masih di seputaran Jakarta. Sedangkan orang asing pemburu harta karun itu aku pantau berada di Bali. Entah apa yang dilakukan mereka. Tidak mungkin mereka tidak merencanakan sesuatu." Babah Liong melanjutkan.

"Bagaimana dengan bala bantuan dari Trah Pakuan, Babah?" Kedasih bertanya.

"Tidak banyak yang bisa dilakukan Kedasih. Trah Pakuan tidak bisa lagi mengundang manjing orang-orang hebat dari masa lalu Galuh." Babah Liong tersenyum getir.

"Kalian sendirian di sana." Senyum Babah Liong makin getir.

Kedasih tidak mau bertanya kenapa. Toh kesimpulannya sudah ada. Babah Liong melambaikan tangan.

"Berhati-hatilah. Aku menangkap gelagat perjalanan kalian akan semakin berat. Jika Manuskrip sudah menyatu dan kalian direstui, lakukan upacara malih rupa pada Manuskrip itu. Segera. Citra tahu apa yang harus dilakukan mengenai upacara itu." Sekali lagi Babah Liong melambaikan tangan. Sambungan terputus.

"Upacara malih rupa? Apa itu?" Sin Liong penasaran. Raja dan Kedasih juga ikut-ikutan menatap Citra. Meminta penjelasan.

Citra tertawa kecil.

"Upacara kecil yang tidak berat sih. Kita hanya harus mengubah Manuskrip utuh itu ke bentuk lain. Seperti sebuah samaran agar orang tidak bisa menduga di mana sesungguhnya Manuskrip disembunyikan."

"Apa uba rampe yang harus kita siapkan?" Kedasih bertanya.

"Tidak banyak. Hanya sesajian kecil, cincin yang telah diseduh kawah kepundan, sedikit mantra, dan menghubungi Eyang Halimun dari puncak Gunung Salak untuk perantara."

Upacara kecil? Kedasih langsung ngomel panjang pendek. Citra terkikik geli melihat reaksi Kedasih. Dia memang bercanda mengatakan bahwa ini adalah upacara kecil. Malih rupa memang upacara kecil tapi syaratnya sangat berat. Sesajian dan mantra mudah saja. Cincin sepuhan kawah bisa diupayakan. Tapi menghubungi Eyang Halimun? Ini bagian yang paling berat. Eyang Halimun tidak pernah mau membantu siapapun jika tidak disertai alasan yang masuk akal baginya. Termasuk harus bisa memecahkan teki-teki darinya.

Begitu mendengar penjelasan detil dari Citra, semua orang terduduk lemas. Saran Babah Liong sangat masuk akal. Menyamarkan Manuskrip utuh menjadi sebuah benda yang sama sekali tidak bisa dilacak adalah pilihan cerdas. Tapi syaratnya itu? Nyaris semua menggeleng-gelengkan kepala kebingungan. Kecuali Citra.

"Sudahlah, kita pikirkan saja nanti. Sebaiknya sekarang kita beristirahat. Perjalanan hari ini sungguh melelahkan." Raja menguap lebar.

Citra tersenyum manis.

"Raja benar. Kita harus istirahat untuk memulihkan tenaga. Besok masih banyak yang harus kita kerjakan."

Mata Sin Liong sudah tertutup rapat. Namun masih sempat bergumam lirih.

"Mudah-mudahan malam ini tidak ada bau amis dan hawa dingin yang mencekik. Aku mau tidur senyenyak-nyenyaknya."

Semuanya mengikuti Sin Liong. Memejamkan mata dan berusaha tidur. Mereka bersama-sama berbaring di ruang tengah yang sangat luas. Kedasih telah menyiapkan kasur untuk Citra dan dirinya. Sedangkan Sin Liong dan Raja mendapatkan jatah di sofa.

Harapan Sin Liong sepertinya terkabulkan. Hingga menjelang pukul 3 dinihari tidak terjadi apa-apa. Hanya suara dengkur Raja yang bergemuruh seperti letusan gunung berapi. Menggelegar di tengah heningnya malam.

Namun perlahan udara di sekitar keraton beranjak mampat. Ruangan seolah menyempit dan membuat dada menjadi sesak. Hawa dingin menyeruak hebat dari setiap pori-pori dinding batu. Aroma amis menguar kemana-mana entah bersumber dari mana.

Raja yang menyadari perubahan itu pertama kalinya. Pemuda reinkarnasi itu seketika bangkit dari tidurnya. Ini bukan perubahan suhu biasa. Sesuatu sedang terjadi. Raja berdehem beberapa kali. Mencoba membangunkan yang lain.

Tidak ada satupun yang mendengar atau memperhatikan deheman Raja. Mungkin karena fisik dan batin mereka dihantam kelelahan teramat sangat.

Raja melangkah keluar dengan hati-hati. Biarlah mereka tidur. Mungkin ini bukan apa-apa. Dia saja yang terlalu paranoia.

Di luar, Raja merasakan aroma amis menguat dengan hebat. Hawa dingin menusuk-nusuk hingga tulang juga semakin dahsyat. Raja mengikuti kata hatinya. Melangkah ke suatu arah di mana semua itu sepertinya bersumber.

Apa yang terlihat tak jauh di hadapannya membuat mata Raja terbelalak.

-