webnovel

Bab 3

Raja menyentuh pelan lengan Citra. Memberi isyarat agar menarik mantra atau entah apa yang telah dilakukannya. Dia sangat yakin kejadian aneh kepada tiga pemuda itu pasti karena Citra. Citra menatap Raja dengan pandangan lembut kemudian melambaikan tangan ke arah tiga pemuda tengil yang terlihat sudah sangat kelelahan dan ketakutan itu.

Ketiganya otomatis menghentikan tarian monyet dan duduk terengah-engah. Dipandangi oleh teman-temannya yang masih menatap dengan muka terheran-heran. Keanehan ini terlalu menghipnotis mereka dibanding rasa ingin tahu apa yang sebenarnya telah berlaku.

Tanpa mempedulikan pandangan teman-teman mereka lagi, ketiga pemuda begajulan itu dengan lesu membereskan tasnya lalu pergi dengan terburu-buru. Tak berpamit lagi.

Kawan-kawannya saling pandang lalu memutuskan untuk menyusul pergi. Kali ini tanpa kegaduhan seperti saat mereka datang tadi. Raja memperhatikan semua ini dengan takjub. Dia sedang dalam situasi tak terjelaskan oleh akal. Tak ada lagi keraguan. Saat ini dia bersama seseorang yang bukan berasal dari zaman sekarang. Ajaib! Mendebarkan!

------

Mada memandang cermin di hadapannya. Sebuah cermin tua berpigura antik dengan beberapa kekusutan di sana-sini pada kacanya. Tubuhnya yang kekar dibalut pakaian yang hanya berupa kain besar dililit-lilitkan. Lelaki ini sepertinya sedang akan melakukan sebuah ritual. Bau kemenyan menguar dibawa udara menembus jendela rumah besar dengan joglo raksasa di serambi depannya.

Sembari menghela nafas pelan-pelan, Mada mengambil sebilah keris yang disembunyikan dalam sebuah brankas besi rahasia yang terletak di lantai sudut ruangan itu. Sebuah keris ber-luk sembilan dengan gagang berhias naga sedang menyemburkan api.

Lelaki ini menambahkan kemenyan pada prapen dan mendekatkan satu gelas air yang di dalamnya dipenuhi bunga tujuh rupa. Berjajar dengan keris dan prapen. Mulutnya lalu komat kamit membaca kalimat-kalimat pendek menggunakan bahasa Jawa kuno.

Asap kemenyan bergulung menuju cermin. Menciptakan sebuah kabut misterius seolah kaca itu berembun. Lalu secara ajaib di permukaan cermin muncul tulisan-tulisan Jawa kuno. Mada memperhatikan dengan seksama kemudian mengangguk-angguk mengerti.

Abirupa malih mancala bumi. Amargi tresno mboten dugi. Kedah jagi wonten lawangipun Bubat.

Jika yang cantik sudah menjelma di bumi. Berniat merubah sejarah karena kandasnya cinta. Berjagalah di pintu Bubat.

------

Raja dan Citra berjalan bersisian di trotoar. Keduanya beranjak dari kedai kopi setelah merasa cukup melepas lelah. Raja diselimuti kebingungan. Pemuda ini tidak tahu hendak membawa Citra kemana. Hari mendekati larut. Tidak mungkin dia membawa Citra ke rumahnya. Bisa mencak-mencak ibunya kalau membawa seorang gadis tak dikenal ke rumah.

Citra menyentuh lengan Raja.

"Raja, kau hendak membawaku kemana? Hari sudah malam. Aku harus pulang. Besok atau kapan saja kita bisa bertemu lagi kalau kau memang mau."

Raja menoleh kepada gadis di sampingnya dengan penuh keheranan.

"Memangnya kamu punya rumah?...eehh maksudku rumahmu di mana?" buru-buru Raja membetulkan pertanyaannya.

Citra tersenyum lebar,"tentu saja aku punya rumah. Masak aku tinggal di pohon atau gua? Antar saja aku ke jalan BKR. Setelah itu kamu bisa pulang. Bukankah kamu harus kuliah besok?"

Raja tertegun sejenak. Jalan BKR? Bukankah itu....hmmm? Raja tidak mau menyusahkan pikirannya dengan banyak mereka-reka. Pemuda ini hanya mengangguk. Melambai taksi yang kebetulan lewat, menyebut tujuan dan meluncurlah mereka.

Hening di dalam taksi. Tak ada perbincangan yang terjadi. Masing-masing hanyut dalam pikiran sendiri.

"Jalan BKR mana, Neng?" pertanyaan sopir taksi berhasil memecah kesunyian. Rupanya entah berapa lama mereka melamun, tujuan sudah di depan mata.

"Turunkan saja saya di di pertigaan lampu merah Jalan BKR, Pak," Citra menyahut.

Raja hendak menanyakan sesuatu. Namun mulutnya seperti terkunci. Terlalu banyak pertanyaan tapi dia bingung harus mendahulukan yang mana. Sampai akhirnya taksi berhenti di dekat pertigaan lampu merah Jalan BKR, Raja masih berkutat dengan rentetan pertanyaan dalam pikirannya namun tak satupun keluar dari mulutnya.

Citra membuka pintu mobil sebelah kiri. Turun dan berkata lirih kepada Raja.

"Belum saatnya kau tahu rumahku. Kelak aku akan memberitahumu, bahkan mengajakmu berkunjung. Sekarang yang paling penting adalah jika kau ingin bertemu denganku, datanglah ke toko buku di depan itu. Aku pasti akan menemuimu."

"Jika aku yang ingin menemuimu, maka aku akan mencarimu. Mungkin di kampus atau di toko barang antik beberapa rumah dari rumahmu. Bagaimana?" Citra menjelaskan panjang lebar yang ditutup dengan pertanyaan.

Raja mengangguk seperti kerbau dicocok hidungnya. Tak tahu mesti berkata apa atau menjawab apa. Pemuda ini mendadak seperti gagu. Kalimat dan dugaan yang berkeliaran liar di otaknyalah yang membuatnya begitu.

Raja berniat turun dari taksi untuk mengantar Citra sampai depan rumahnya. Citra memberi isyarat tegas, jangan. Raja mengurungkan niatnya. Takut gadis misterius itu marah. Entah mengapa dia tak mau gadis itu marah, tersinggung, sedih dan semacamnya. Dia hanya melihat Citra tetap berdiri lalu memberi tanda kepada sopir agar segera bergerak maju.

Raja tak mau melepaskan pandangan kepada Citra sampai akhirnya taksi berbelok ke kanan di pertigaan dan sosok gadis itu hilang dari jangkauan penglihatan. Raja menghempaskan tubuh di jok belakang sambil masih terheran-heran apakah yang terjadi hari ini adalah mimpi atau memang benar kenyataan.

Dari kejauhan, Citra tersenyum sendiri. Ada rasa bahagia sekaligus perih di dadanya. Perjuangan ini akan sangat berat. Dia bisa merasakan itu dalam firasatnya. Tapi aku tak akan menyerah pikir Citra sambil terus melangkah memasuki gerbang Museum Sri Baduga. Rumahnya selama ini.

***