webnovel

Bab 30

Sin Liong yang terkejut melihat kegaduhan luar biasa di pelataran parkir itu, melihat sinyal bahaya bagi keselamatan Citra dan buru-buru mengambil tempat di sebelahnya untuk berjaga-jaga. Dia melihat Raja juga melakukan kesiagaan yang sama. Sementara Citra sendiri duduk dengan santai di banir Pohon Beringin sambil menonton perkelahian yang terjadi.

Di matanya, pertarungan yang di penglihatan awam adalah pertarungan seru dua lawan dua menggunakan silat atau kungfu, adalah pertarungan yang menegangkan memakai jurus-jurus silat tempo dulu antara punggawa Majapahit melawan Galuh Pakuan yang belum menyadari bahwa Putri junjungan mereka sedang berada di sini.

Citra sengaja tidak mau ikut campur. Dengan kemampuannya, bisa saja putri yang manjing kembali itu mengalahkan dan menaklukkan dua hulubalang Majapahit tersebut. Tapi pertarungan ini dilakukan secara adil. Dua lawan dua. Bila dia ikut campur tangan, maka dialah yang melakukan ketidakadilan dan melanggar unggah ungguh kerajaan.

Kerumunan orang-orang menyibak dan menjauhi gelanggang pertarungan yang bagi mereka sangat aneh karena sepertinya perkelahian itu terjadi tanpa alasan sama sekali. Tiba-tiba saja 4 orang saling menghampiri dan langsung begitu saja berkelahi.

Raja meraih lengan Citra yang nampak asik menonton dan menariknya pergi. Diikuti oleh Sin Liong. Mereka menuju pintu masuk keraton dan memperlihatkan tiket kepada petugas yang bergerombol sambil menonton dari jauh perkelahian yang makin lama makin seru tanpa seorangpun berusaha melerai. Tentu saja siapapun yang mencoba memisahkan pertarungan akan ragu-ragu. 4 orang itu di tangannya masing-masing telah menggenggam pedang panjang yang berkilat-kilat saking tajamnya. Beberapa petugas keamanan yang juga merasa ngeri akhirnya berusaha menelpon polisi.

Dengan mudah karena antrian telah bubar begitu perkelahian aneh itu terjadi, Raja, Citra dan Sin Liong memasuki komplek keraton agung itu dengan santai. Sebenarnya Sin Liong hendak bertanya sedari tadi apa yang sedang terjadi, namun melihat Raja tergesa-gesa menarik lengan Citra yang menurut saja digelandang kemana-mana, Sin Liong membatalkan keingintahuannya.

Di dalam keraton, Raja berinisiatif menghampiri seorang abdi dalem yang sedang berisitrahat untuk minum sambil memegang sapu lidi.

"Nuwunsewu. Boleh mengganggu waktu panjenengan sebentar?" Raja memulai dengan pertanyaan sopan.

Abdi dalem itu bangkit dari duduknya melihat ada 3 orang priyayi menghampiri dan salah satunya mengangguk dengan santun dan bertanya kepadanya.

"Injih. Ada yang bisa saya bantu Ndoro?"

Raja nyaris terjungkal. Pertama kalinya ini dia dipanggil Ndoro.

"Begini Kangmas…... Eh asmanipun panjenengan sinten?" Citra terpaku dengan raut muka terheran-heran. Raja pernah bercerita dia memang berdarah Jawa murni, ibu dan mendiang ayahnya orang Jawa asli, tapi dia sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa karena semenjak lahir hidup di Bandung dan orangtuanya selalu berbahasa Indonesia di dalam setiap percakapan keluarga. Tapi ini? Alangkah fasihnya pemuda itu berbahasa Jawa halus dengan dialek yang begitu mulus. Citra hanya bisa bengong dan tak habis pikir.

"Dalem Atmo, Ndoro. Wonten ingkang saged dalem bantu?"

"Iya Kangmas Atmo. Mohon maaf boleh dibantu informasi bagaimana caranya supaya kami bisa bertemu dengan Pakdhe Suroto?"

"Ooh injih. Pakdhe Suroto abdi dalem Keprajan njih? Panjenengan mlampah teras kemawon dateng Siti Hinggil. Biyasanipun penjenganipun lenggah wonten Siti Hinggil maos seseratan." Abdi dalem itu menunjuk menggunakan ibu jarinya ke arah utara.

Raja membungkukkan tubuhnya dalam-dalam sebagai tanda terimakasih. Abdi dalem itu menjadi kebingungan harus berbuat apa. Citra yang kasihan melihat betapa kikuknya abdi dalem itu, menarik lengan Raja dengan halus sekaligus mencubit menggunakan cubitannya yang menggigit. Raja berjingkat menahan sakit sambil menoleh keheranan ke arah Citra yang memelototkan matanya sambil memberi isyarat pergi. Raja baru paham setelah melihat betapa gagap dan kikuknya abdi dalem itu dengan sikapnya yang sedikit berlebihan. Sin Liong membuang mukanya menahan tawa. Dua orang di depannya ini sangat aneh dan lucu.

Citra terus menarik lengan Raja dengan lembut menuju arah yang ditunjukkan abdi dalem yang masih terbengong-bengong dan lalu duduk bersimpuh dengan tergopoh-gopoh setelah menyaksikan dari belakang dua orang pria dan seorang wanita yang sedang berjalan menjauh itu, dalam penglihatannya berubah menjadi seorang Raja lengkap dengan pakaian kebesarannya yang wah, berjalan bersama permaisurinya yang sangat cantik dengan rambut panjang terurai rapi ke belakang.

Sin Liong yang sempat menengok ke belakang setelah kejadian lucu tadi sekarang yang terheran-heran. Abdi dalem bernama Atmo itu duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala dan tangan dalam sikap menyembah. Buset, kenapa dunia mendadak menjadi sedemikian aneh pagi ini!

Siti Hinggil adalah sebuah balairung luas dan artistik. Terdapat satu set gamelan yang setiap paginya selalu dimainkan oleh para seniman istana. Suara gamelan itu mengalun dengan tenang menembus udara di sekitar keraton yang segar dan teduh. Sin Liong memandang ke atas. Langit sedang sangat cerah dan matahari sudah mulai meninggi, tapi tempat ini sangat sejuk dan sama sekali tidak terasa panas atau gerah. Pemuda tangguh ini mengerutkan kening bertanya-tanya.

Raja mengambil telepon genggam. Menyentuh nomor Pakdhe Suroto dan melakukan panggilan, setelah itu mengamati dengan seksama di antara para nayaga yang sedang memainkan gamelan dan menembang.

Seorang tua yang sedang menembang dengan khusuk nampak terkaget sejenak sambil meraba saku surjannya lalu memandang sekitar dan nampak keterkejutan luar biasa pada raut mukanya saat melihat Raja dan Citra namun terus melanjutkan tembangnya yang bersyair teduh dengan suara yang sedikit bergetar. Raja tersenyum. Orang tua itu pasti Pakdhe Suroto.

Setelah tembang telah komplit dinyanyikan, Pakdhe Suroto berbisik kepada abdi dalem di sebelahnya untuk melanjutkan. Dia sendiri secara tergopoh-gopoh turun dari panggung Siti Hinggil dan buru-buru menghampiri Raja dan Citra, membungkukkan tubuh dan memberikan sembah di depan dada lalu mengajak dua orang itu dengan sangat sopan agar mengikutinya.

Raja dan Citra saling berpandangan. Agak terheran dengan sikap Pakdhe Suroto yang seolah lama sekali telah mengenal mereka. Sin Liong yang kembali dihadapkan pada situasi aneh, hanya menggeleng-gelengkan kepala. Mengusir rasa penasaran yang terus membuncah menyesaki dadanya.

"Silahkan Ndoro berdua duduk di sini." Pakdhe Suroto mempersilahkan Raja dan Citra duduk. Sin Liong menolak ketika ditawari kursi. Pemuda ini memilih berdiri di teras bangunan kecil yang merupakan kantor abdi dalem Kaprajan. Berjaga-jaga. Sin Liong yakin akan muncul keanehan lain lagi. Terutama karena cemas perkelahian di luar akan merembet masuk ke dalam. Babah Liong berpesan berkali-kali bahwa keselamatan Citra berada di atas segalanya. Dia tidak akan mengecewakan Papanya.

"Ndoro berdua, dalem sudah menduga pada suatu saat memang akan singgah di sini. Tapi dalem sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi hari ini. Kanjeng Raden Ayu pasti akan sangat senang." Pakdhe Suroto membuka percakapan karena Raja dan Citra masih kebingungan dengan sikap abdi dalem keraton pagi ini. Tadi abdi dalem punakawan bersikap aneh dan sekarang abdi dalem kaprajan bersikap sama.

Citra tersenyum ramah," Pakdhe Suroto, terimakasih atas segala sambutannya yang luar biasa ramah ini. Kami tersanjung tentu saja. Maksud kedatangan kami adalah ingin bertemu dan berbincang dengan Raden Ayu Kedasih. Apakah bisa…."

Belum sempat Citra menyelesaikan ucapannya, sebuah suara menyela secara antusias.

"Tentu saja bisa Putri cantik. Aku siap untuk berbincang apapun dan selama apapun dengan kalian! Aah, senang sekali akhirnya bisa berjumpa denganmu…!" Sesosok tubuh langsing menghambur masuk dan langsung saja memeluk erat Citra.

Raja terperangah melihat wanita berumur sekitar tigapuluhan itu datang secara tiba-tiba dan memeluk Citra dengan begitu eratnya seolah kedatangannya memang sudah lama ditunggu.

Wanita itu memandang Raja dengan takjub namun tidak memperdulikan keterkejutan pemuda itu, dia menoleh kepada Pakdhe Suroto.

"Pakdhe, tolong siapkan ruang yang layak di dalam istana untuk berbincang dengan enak." Yang diperintah hanya mengucap sendiko dhawuh lalu pergi dengan langkah pelan dan sangat sopan.

* * *