webnovel

Regret (Kriminal)

Setiap orang memiliki kisah yang belum terselesaikan. Tapi tidak semua dari kisah itu berujung penyesalan. -------------------------------- Seandainya aku tidak memilih dan menikah dengan pria lain apa tragedi ini akan terjadi? Seandainya aku tidak pindah ke kota ini, apa tragedi ini tepat akan terjadi?

NurNur · Horror
Not enough ratings
36 Chs

EPILOG

Hari ini, hari demi hari yang akan aku habiskan di balik jeruji besi akan sangat panjang. Akan menjadi sangat lama. Berkali-kali aku berpikir, seandainya aku tidak memilih Huda dan menikah dengannya apa tragedi ini akan tetap terjadi? Seandainya aku tidak pindah ke kota ini, apa tragedi ini tepat akan terjadi?

Tidak. Aku tetap tidak akan pernah tahu jawabannya sebanyak apa pun aku bertanya. Aku tidak tahu apa takdirku benar-benar bisa diubah.

Huda. Pertama kali aku bertemu dengannya saat pria itu berbincang dengan ayah. Huda datang sebagai perwakilan dari perusahaannya.

Huda memiliki sikap yang berbeda dari hampir semua pria muda seusianya. Huda pekerja keras, dia tampan, baik, ramah. Semua orang menyukainya. Memuji kerendahan hatinya. Meski begitu, hatiku tetap tidak mampu bergerak ke arahnya.

Butuh waktu lama sebelum akhirnya aku yakin pada keputusanku. Selama waktu itu, aku berkali-kali melihat ketulusannya. Berkali-kali ia curahkan perhatiannya. Tidak hanya sekali aku menolaknya, menghindari bertemu dengannya. Huda akan menurut. Memberiku waktu tenang 3 hari. Kemudian dia akan kembali lagi. Dengan usahanya. Dengan perhatiannya. Dengan ketulusannya menungguku.

Nanda selalu menjadi orang yang memberi restunya pada Huda. Zahra sebaliknya. Tapi ikut mendukung juga padanya akhirnya. Bahkan seorang Zahra bisa luluh, bisa menyukainya. Apa lagi yang kutunggu. Seseorang tidak akan menunggumu selamanya. Bahkan untuk waktu yang selama ini, hanya Huda yang bisa.

Hari ini aku berpikir lagi. Apa yang membuat Huda rela menungguku selama itu. Apa yang membuatnya kebal dengan segala penolakanku. Mungkinkah saat itu Huda benar-benar mencintaiku, benar tulus. Seiring berjalannya waktu, cintanya kemudian berubah menjadi imajinasi untuk mengendalikan.

Huda masih sering membisikkan kata cintanya, ketulusannya. Bahkan setelah dia memukul atau nyaris membunuhku. Tapi apakah itu masih cinta yang sama yang diperjuangkannya. Apakah itu masih cinta jika melukai. Apakah itu masih ketulusan yang sama jika tidak memikirkan perasaan orang yang dicintainya.

Jawabannya tidak.

Huda hanya peduli penilaian orang lain. Hanya peduli statusnya. Kepopulerannya, reputasinya. Dia membuat segalanya tampak sempurna. Dia ingin dipuja.

Bagaimana bisa tidak satu pun orang yang tahu sifat aslinya. Bagaimana mereka bisa tidak sadar sedang dimanipulasi. Dan, bagaimana bisa aku berakhir dalam neraka berkedok sangkar emas. Tidak berdaya meski memaksa keluar.

Semua usaha telah kukerahkan. Tapi aku tetap tidak bisa lepas. Tetap tidak bisa lari. Ketika semua usahaku gagal, aku berakhir dalam keputusasaan. Aku mencoba usaha terakhirku. Dua kali, dan tetap gagal. Masih tidak bisa terlepas.

Aku membenci Huda. Membencinya dengan segenap jiwaku.

Malam itu setelah aku sadar dari usaha bunuh diriku yang gagal untuk yang kedua kalinya, Huda memelukku. Dia menangis. Dia meminta maaf. Dia mengatakan tidak akan bisa hidup tanpaku. Dia menyesal.

Hatiku tersentuh meski aku tahu itu sandiwara. Sama seperti semua sandiwara yang ditunjukkannya pada dunia. Dia membuat dirinya tampak tulus. Dia membolak-balik hati orang lain seenaknya. Dia menikmati itu. Dia menikmati hidup dengan cara itu. Dengan mengenakan begitu banyak topeng kebohongan.

Dia menghancurkanku. Menyakitiku. Jika tidak bisa memperlakanku dengan baik kenapa tidak membiarkanku bebas. Kenapa tidak membiarkanku mati.

Aku telah menggunakan segala kapasitasku untuk menyejajarinya. Mengubah pola hidupku. Mempelajari banyak hal yang sebelumnya asing. Berusaha menjadi istri yang bisa diandalkan. Aku telah menunggu untuk waktu yang sama seperti yang dihabiskannya untuk menungguku. Aku telah bersabar. Terus berharap dia berubah. Semua sia-sia. Usahaku, perasaanku, kesabaranku, kerja kerasku, dan segala harapanku mengenai Huda.

Hari itu juga aku memutuskan untuk terlepas dari genggamannya. Terlepas untuk selamanya.

"Eh, eh di daftar absen yang disebar di grup WA ada nama Rasyid Aldebaran."

Butuh waktu yang teramat lama untuk bisa mendengar namanya disebut lagi. Kupikir hatiku telah membeku. Kupikir rasa itu sudah tidak lagi ada. Tapi, ketika untuk pertama kalinya aku mendengar namanya, hatiku masih bergetar. Benar. Tanpa sadar aku melewatkannya. Kehadirannya di luar prediksiku.

Kenapa sekarang. Kenapa dia baru datang setelah aku mengatur pembalasanku. Kenapa dia mengacaukan hati dan membuatku ragu. Kenapa dia sama sekali tidak berubah sementara aku berdarah-darah di sini. Telah hancur berulang kali. Hancur menjadi kepingan yang tidak mungkin lagi untuk disatukan.

"Sayang, kamu tahu kenapa aku enggak pernah ingin berebut jabatan dengan kakakku walau sebenarnya aku bisa?" Huda mulai membesar-besarkan dirinya. "Hanya karena aku suka orang-orang membicarakan segala kebaikanku. Memanggilku dengan julukan si Rendah Hati. Aku suka orang-orang berpikir aku lebih baik dari kakakku, lebih pantas, lebih bisa diandalkan. Lebih dalam segala hal. Aku suka saat orang-orang menyerangnya dengan kata-kata dan tulisan yang memojokkan."

"Bukan itu!" kataku dengan tatapan penuh kebencian. "Karena pada dasarnya kamu enggak bisa. Kamu enggak bisa lebih baik, enggak lebih pantas, enggak bisa lebih diandalkan. Kamu hanya bisa menipu dan memanipulasi orang lain, tapi enggak Kak Chi..."

Plak!!!

Huda memukulku. Kali ini berbeda karena Huda memukul tepat di wajahku. Bagian yang sama sekali tidak berani dia sentuh sebelumnya. Aku berhasil. Aku telah mencobanya berulang kali tapi baru hari itu aku berhasil. Aku berhasil menyentuh titik sensitifnya.

Ketika aku akhirnya berhasil membunuh Huda, aku tahu semua tidak akan sama lagi. Aku telah berubah menjadi jenis manusia yang berbeda. Aku penjahat. Aku pembunuh. Benar-benar berbeda. Benar-benar tidak akan sama lagi.

Semua berjalan sesuai skenario. Nurul satu-satunya yang berada di rumah pagi itu. Dia bersedia membantuku tanpa bertanya. Bahkan bersedia berkorban jika segalanya menjadi buruk. Pilihanku tentang dia tepat. Aku memilih gadis yang benar-benar memakan semua umpan yang kuberikan padanya. Tanpa menyisakan tulangnya sama sekali.

Orang luar tidak akan bisa menerima bagaimana Huda meninggal. Tapi aku memiliki dua orang yang bersedia bertarung untukku di garis terdepan. Zahra dan Nanda. Rasa sayang dan setia kawan mereka lebih dari cukup untuk bisa kumanfaatkan. Hanya perlu sedikit menanamkan rasa bersalah.

Aku memilih Nurul, Zahra, dan Nanda bukan karena membenci mereka. Bukan tidak puas dengan sikap mereka terhadapku. Sama sekali bukan. Aku menyayangi mereka. Aku sangat bersyukur memiliki mereka di sekelilingku. Tapi aku juga butuh orang-orang untuk menjalankan rencanaku.

Ah, aku kemudian menyadari satu hal. Aku adakah karakter pendukung yang Huda butuhkan untuk menyempurnakan skenario hidupnya. Untuk melengkapi keberadaannya sebagai tokoh utama. Kesabaran menunggu, kenapa tidak. Toh aku pun mampu melakukan hal yang sama untuk bisa menggenggam hati Nurul. Waktu yang dihabiskan menjadi tidak begitu berarti jika untuk skenario yang mempertaruhkan seluruh hidupmu.

Hari ini aku sadar telah menggenggam hati Nurul terlalu erat. Bahkan setelah aku menyerahkan diri, dia tetap mengaku bersalah. Tetap tidak pernah menarik kembali pernyataannya. Aku menghancurkannya. Merusak mimpinya. Mengacaukan hidupnya. Meski aku bersimpuh di kakinya dan meminta maaf, tidak akan pernah cukup. Tidak akan mampu mengembalikan hatinya seperti semula.

Kalimat Nanda menohokku. Kemarahan yang Al tunjukkan juga mengejutkanku. Tatapan Al seolah mengatakan dia mengerti. Seolah tahu segala yang kurasakan. Aku tidak tahu apakah di benar-benar mengerti karena Al tidak pernah mengatakannya. Tapi bagaimana mungkin seorang Aldebaran bisa mengerti apa yang telah aku lewati selama ini. Hari-hari penuh rasa sakit, kemarahan, dan ketidakberdayaan.

Aku memainkan peran sebagai Nyonya yang baik hati, sebagai teman. Setelah aku mendapatkan hati mereka, aku memaksa mereka membayarku. Aku menghianati mereka, memanfaatkan kasih sayang mereka. Aku menghancurkan mereka, mengecewakan kepercayaan mereka.

Lalu, apa bedanya aku dengan Azhar Huda Pradipto?

"Azhar Huda Pradipto memanipulasi orang lain dengan menyembunyikan sifat-sifat buruknya. Anda memanipulasi orang lain dengan memberikan kebaikan. Menurut Anda di antara kalian berdua siapa yang lebih buruk?"

Ah, benar. Aku mungkin lebih buruk.

=\%*[]{}<>&…§^~|¥€£$.,?!'"@:;_-#()/+'

Ketika kepolisian merilis hasil penyelidikan dan mengungkap siapa pelaku dibalik pembunuhan wakil presiden Explora Grup, dalam sekejap tagar Balqis berduka berubah penuh caci maki. Namun seiring berjalannya waktu, pemberitaan dan pembahasan mulai mereda. Lama kelamaan menghilang. Meski orang-orang tidak lagi membicarakannya, mereka akan tetap ingat kasusnya. Ingat perasaan mereka pernah begitu dikacaukan. Pernah dikhianati.

"Apa Balqis benar-benar jahat?" Al bertanya pada Zeroun ketika hakim telah menjatuhkan hukuman untuk Balqis. Sidang baru saja berakhir.

Zeroun mengangguk. "Kejahatannya adalah membunuh, memanipulasi orang lain, mempermainkan perasaan mereka. Tapi..."

"Tapi?"

"Setelah berhasil memanipulasi orang lain seharusnya dia tidak perlu melakukan kejahatan dengan tangannya sendiri," lanjut Zeroun menatap nanar.

Al tertegun. Ia mengerti maksud kalimat Zeroun, tapi tidak mengerti kenapa pria itu berkata seperti itu. Apa yang sebenarnya Zeroun harapkan.

Di hari libur, Al bersepeda dengan sepeda barunya. Ia menjelajah ke puncak seorang diri. Ia memamerkan foto-fotonya pada Yusuf. Di lain hari Al berkunjung ke rumah pamannya, bermain dengan para keponakan. Hati Al masih belum kembali pada tempatnya. Masih butuh waktu. Ia akan menjalaninya pelan-pelan.

Setelah waktu yang lama, Al memutuskan mengunjungi Balqis di penjara. Ia ingin tahu bagaimana keadaan Balqis, juga bagaimana perasaannya sendiri. Semuanya berbeda. Mereka terlibat dalam kecanggungan yang panjang. Tidak banyak bicara. Sekali lagi Al masih terlalu hanyut dalam kekecewaan.

Zeroun Alvaro menghabiskan hari liburnya dengan mengurus dua keponakannya. Kedua orang tua si kembar sedang bersenang-senang sendiri, menghabiskan waktu berdua.

Irawan dengan kesibukannya mempersiapkan rencana pernikahannya. Adam dan Dio masih sama, masih sibuk dengan teman-teman tongkrongan mereka.

Zahra dan Nanda masih terluka, masih merasa dikhianati. Keduanya masih marah dengan keputusan yang Balqis ambil. Memutuskan untuk membenci perbuatan itu selamanya. Tidak akan sekalipun mencoba untuk mengerti. Tidak akan!

Mereka membenci pilihan yang Balqis ambil, tapi bukan membenci Balqis. Mereka masih merasa dikhianati, tapi mereka telah bersahabat lama dan akan tetap bersahabat. Hanya saja, pandangan Zahra dan Nanda tidak akan sama lagi.

Mereka bercerita ini, itu, tertawa bersama. Tapi benar-benar tidak sama lagi. Mengetahui wanita seramah dan sebaik Balqis mampu membunuh dan memanipulasi, bagaimana dengan orang lain.

Ternyata benar, keputusanasaan semenakutkan itu.

"Hari itu apa kamu benar-benar berpikir aku akan memukul Balqis?" Zahra bertanya setelah mereka kembali dari menjenguk Balqis.

Nanda mengangkat bahunya. "Mungkin itu reaksi spontan. Sama seperti kamu mendadak berdiri di depan Zeroun sewaktu pria itu berada dekat dengan Balqis."

"Setelah kita tahu apa yang Balqis lewati, mendadak kita jadi defensif," kata Zahra.

"Sekarang setelah tahu apa yang Balqis lakukan, apa kita tetap akan berlaku sama kalau hal itu terjadi lagi?" Tatapan mata Nanda menerawang jauh.

==TAMAT==

Bontang, 11 November 2019 (Kebetulan di bulan yang sama ^_^)

23:40

!! BONUS !!

Q: Bagaimana seandainya Balqis benar-benar pelakunya?

Zeroun: Saya sudah tahu itu. Dari awal. Kesempatan dan motif, dia yang paling sempurna karena memiliki semua hal yang dibutuhkan untuk melakukan kejahatan.

Q: Bagaimana seandainya prediksi Zeroun salah?

Zeroun: Tidak mungkin salah. Saya orang yang paling jarang membuat kesalahan. Mungkin bahkan tidak pernah.

Q: Bagaimana seandainya salah?

Zeroun: Tidak mungkin. Mustahil!

=\%*[]{}<>&…§^~|¥€£$.,?!'"@:;_-#()/+'

Q: Bagaimana seandainya Balqis benar-benar pelakunya?

Al: ...

Q: Apa Al pernah berpikir kalau Balqis benar-benar pelakunya?

Al: …

Iya. Saya hanya berusaha menolak kebenarannya. Seperti kata Zeroun, motif dan kesempatan. Balqis kandidat yang sempurna untuk menjadi pelaku.

=\%*[]{}<>&…§^~|¥€£$.,?!'"@:;_-#()/+'

Q: Bagaimana seandainya Balqis benar-benar pelakunya?

Zahra: Enggak mungkin! Orang lain boleh berpikir sembarangan, tapi enggak untuk orang-orang yang tahu sifatnya.

Q: Bagaimana kalau seandainya Balqis benar-benar pelakunya?

Zahra: Engga mungkin! Balqis bukan orang yang berpikiran sempit seperti itu. Saya mengenalnya.

Q: Apa Zahra pernah meragukan Balqis?

Zahra: …

Pernah. Tapi ketika saya berpikir lagi tentang sifat-sifatnya, enggak mungkin dia. Balqis bukan tipe orang seperti itu.

=\%*[]{}<>&…§^~|¥€£$.,?!'"@:;_-#()/+'

Q: Bagaimana seandainya Balqis benar-benar pelakunya?

Nanda: Saya tahu kemungkinan seperti itu ada. Saya tidak sekuat Zahra yang bisa dengan cepat menyingkirkan pikiran-pikiran negatif. Setiap orang punya sisi gelapnya masing-masing. Saya berusaha tetap ceria, percaya apa yang Zahra percaya, mengikuti apa yang dia lakukan untuk membela Balqis, berharap keraguan saya hilang. Berharap kasus segera selesai dan Balqis bisa terlepas dari semua tuduhan dan bebannya. [Menangis].

=\%*[]{}<>&…§^~|¥€£$.,?!'"@:;_-#()/+'

Q: Bagaimana seandainya Balqis benar-benar pelakunya?

Bu Ruri: … [Diam].

Q: Apa Bu Ruri pernah meragukan Balqis?

Bu Ruri: … [Diam].

=\%*[]{}<>&…§^~|¥€£$.,?!'"@:;_-#()/+'

Q: Bagaimana seandainya Balqis benar-benar pelakunya?

Nurul: [Tersenyum] Saya akan mendukung Ibu, apa pun pilihannya.

Q: Apa Nurul pernah meragukan Balqis?

Nurul: [Tersenyum] Enggak.

=\%*[]{}<>&…§^~|¥€£$.,?!'"@:;_-#()/+'

Q: Bagaimana seandainya Balqis benar-benar pelakunya?

Irawan: Kita harus menunggu sampai penyelidikan selesai dan hasilnya diumumkan.

Adam: Tapi Balqis kelihatan seperti wanita baik-baik.

Irawan: Baik dan buruk itu tergantung sudut pandang orang yang menilai. Tidak bisa dijadikan patokan.

Dio: Kenapa kamu lagi-lagi terdengar seperti meniru cara bicara Zeroun?

Irawan: Kenapa kamu lagi-lagi terdengar sensitif kalau berkaitan dengan Zeroun?

Adam: Iya. Kenapa? Untuk sikap, Zeroun memang menyebalkan. Tapi teori dan penilaiannya terhadap kasus selalu benar.

[Pembahasan teralihkan].

Sumber :

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses Penyelidikan.

Inspirasi :

-The Bullet Vanishes.

-The Untamed.

-Medical Examiner Dr. Qin.

Terima kasih telah mengikuti novel ini sampai akhir. Jika kalian suka silakan tinggal review dan komentarnya. Sampai ketemu di novel selanjutnya :)

NurNurcreators' thoughts