webnovel

Red Hustle: Revenge of The Dark-Hearted

“…Jika kau izinkan aku tinggal disini aku akan memberi tahumu sebuah dunia yang belum pernah kau temui sebelumnya.” Itulah kata Carmen saat meminta Horn agar ia bisa tinggal seatap dengannya. Setelah gagal bunuh diri sebanyak tiga kali Horn mengalami depresi dan rasa bosan luar biasa. Ketika ia mendapati tetangganya dibunuh, ia menemukan sebuah buku mantra sihir yang membuatnya membunuh dua korban pertamanya. Kedatangan Carmen ke dalam apartemennya membuat warna baru dalam hidupnya. Carmen membawa Horn ke dalam organisasi bawah tanah para penyihir ‘The Society’ dengan tujuan besar mereka untuk menghancurkan The Gold beserta mantra-mantra-nya. Dengan bayaran yang menarik Horn menerima pekerjaan yang disebut ‘Spell Punisher’. Pekerjaan itu mengubah dirinya dari hanya menginginkan uang menjadi mesin pembunuh yang haus darah. Perlahan Horn menyadari ada yang berubah pada dirinya dan ada pula yang disembunyikan darinya. Sedikit demi sedikit Horn mengupas misteri dibalik memorinya yang kacau dan latar belakang negara tempat ia tinggal, Ouro. Ketika hubungan Horn dan Carmen semakin dekat, The Gold menculik Carmen dan membuat tubuh Horn cacat. Setelah tahu siapa The Gold sebenarnya, Horn tahu bagaimana harus bertindak. Ia membeberkan apa yang selama ini Ouro sembunyikan dari warga-nya. Bersama dengan penduduk Ouro yang marah, Horn harus berhadapan dengan sang pengarang mantra-mantra sihir yang tersebar di Ouro.

Aldwight_77 · Fantasy
Not enough ratings
26 Chs

[BAB 5] Carmen Olivia

Cih… kau benar-benar datang….." celetuk Horn sambil membukakan pintu untuk tamunya. Sang tamu berambut merah itu tersenyum puas melihat reaksi Horn atas kedatangannya. Horn hanya menyeringai dan menyuruh gadis itu masuk sebelum ada tetangga yang melihat.

Gadis itu bernama Carmen Olivia.

Carmen, gadis bermata tajam berhidung kecil nan mancung dan freckles yang menambah manis pada bagian wajahnya, adalah gadis yang baru Horn kenal kurang dari 24 jam lalu dan ia kini sudah berada di apartemennya. Dia mengenakan summer dress warna kuning yang cocok dengan suasana siang hari itu. Gadis itu membawa sebuah koper kulit yang sudah lusuh dan meletakannya ke atas lantai. Ia'pun duduk bersimpuh di atas lantai ruang tengah sambil melihat-lihat sudut-sudut apartemen Horn seperti kunjungannya kemarin. Horn yang masih mematung tidak percaya bahwa ada seorang gadis yang mau tinggal bersamanya mulai merasa canggung dan bingung luar biasa. Terjadi keheningan antara dua insan itu, satu tampak tenang dan satu lagi tampak kebingungan. Setelah puas melihat-melihat sudut-sudut apartemen salah satu dari mereka buka suara.

"Jadi... Aku tidur dimana..?" tanya Carmen memecahkan keheningan. Horn masih tidak percaya, gadis yang juga berbando ini benar-benar ingin tinggal di apartemennya. Ia bertolak pinggang sambil memegangi keningnya yang tidak pusing sama sekali.

"Apa yang kau pikirkan!?? Kemarin kau hampir membunuhku, lalu tidak jadi, dan sekarang kau ingin malah tinggal di sini bersamaku, di apartemen kumuh ini !??" bentak Horn keheranan.

"Bukan-nya kemarin kau sudah meng-iya-kan?" kata Carmen bertanya balik dengan santai.

"Aku tidak meng-iya-kan apapun! Kau ngomong begitu ketika aku masih mencerna apa yang telah terjadi….. aku bahkan tidak menjawab 'iya' ataupun 'tidak'"

"Tapi kau meresponku, bukan?"

"Sudah kubilang itu bukan jawaban 'iya' atau 'tidak'. Kau memberi tahu namamu kemudian pergi menghilang di koridor…. Dan sekarang kau disini membawa barang-barangmu... dan….." Horn terduduk bersandar ke dinding tidak melanjutkan kalimatnya, "Kenapa..?".

Carmen tersenyum pada pria tersebut, "Sudah kubilang… karena kau punya potensi yang besar, The Purple. Aku mau membantumu mengeluarkannya".

"Kenapa kau memanggilku seperti itu dan yang kau maksud punya potensi itu apa?".

"Pertama..." Carmen mengacungkan jari telunjuknya dan menunjuk Horn "Kau belum memberi tahu namamu yang sebenarnya, The Purple"

"Bukankah kau sudah mendengarnya dari dua polisi kemarin tentang namaku…"

"Bukankah jika tahu dari polisi kau berarti adalah seorang kriminal atau korban?" potong Carmen. Horn tidak menyanggah.

"Horn".

"Aku kemarin memberimu nama lengkapku, bukan?"

"Sam Hornet, puas?". Carmen kembali tersenyum puas dan menoleh pada arah balkon.

"Ok Horn…. Jadi apakah kau merasa aneh belakangan ini? Pasalnya kau sudah menggunakan mantra sihirmu di minimarket itu"

"Mantra sihir?"

"Benar….. Apa yang kau telah lakukan kepada dua pegawai yang malang itu adalah termasuk penggunaan mantra. Begitu'pun seperti yang kulakukan kepada para polisi itu…", Carmen menjentikan jari dan muncul sebuah bola api di atas tangannya. Horn cukup terkejut. "….Sihir ini adalah manifestasi dari mantra yang sudah tertanam pada dirimu dan diproses melalui transfer energi dan pikiran".

Dari wajahnya, Horn tampak mencoba mencerna apa yang Carmen katakan.

"Singkatnya, Apa yang kau pikirkan beserta emosimu akan ikut berpengaruh pada hasil sihirnya".

"Tunggu... dari mana mantra itu datang?" sanggah Horn.

"Kau pernah menemukan buku aneh atau selembaran misterius? Sudah pasti kau pernah menemukannya, dari warna rambutmu saja aku sudah tahu." Carmen menyedekapkan tangannya. "….Dan tentunya sekarang kau adalah seorang caster, The Purple, kau seharusnya berhati-hati.".

Horn memicingkan matanya kembali mencerna apa yang Carmen coba jelaskan. Mantra? Buku? Caster? Apa? Isi kepala Horn berputar-putar mencerna kata-kata tersebut.

"Jangan terlalu dipikirkan apa yang tidak kau mengerti, itu akan berpengaruh pada pengendalian mantramu. Dengar…. kita berada dalam satu level mantra, The Purple. Orang-orang dengan tingkat mantra seperti kita memiliki kekuatan yang luar biasa. Caster atau pemilik mantra seperti kita dibedakan jenis-jenisnya berdasarkan warna. Setiap warna memiliki ciri khas elemen sihirnya masing-masing. Seperti yang apa yang kusebutkan padamu, warna rambutmu memberitahu profil warna mantramu sehingga aku menyebutmu, The Purple. Dalam perkumpulan para caster, mereka menyebut caster seperti ini dengan julukan The Ultimate. Mereka memiliki mantra-mantra yang kuat bahkan bisa lebih kuat dari si penggunanya. Mantra tersebut dapat mepengaruhi sifat dan pikiranmu, Maka tidak heran kau membunuh kedua pegawai itu karena kehilangan kendali. Jadi aku memintamu untuk tetap tenang, The Purple. Aku tidak mau ada korban-korban yang tidak perlu…".

"Jangan menyuruhku, orang asing", potong Horn.

"Aku bukan orang asing atau berbahaya, Horn, kita sudah berkenalan bukan?".

"Bukan itu yang kumaksud!! Bagaimana bisa kau tetap tenang setelah membunuh dua orang polisi tidak bersalah, dan.. dan…. siapa kau sebenarnya!!?... kau muncul begitu saja….. tanpa ada alasan yang jelas kau menemuiku dan benar-benar misterius…Kau tiba-tiba ingin tinggal bersamaku…..lalu kau jelaskan semua itu, sebenarnya apa maumu!!?" Horn meledak-ledak bersama kebingungannya.

Carmen tetap santai dan tenang seperti summer dress kuning yang dikenakannya. Ia masih setia dengan senyum diwajahnya, dengan lembut ia katakan.

"Sudah kubilang, aku hanya ingin membantumu"

Jawaban singkat Carmen tidak menjawab pertanyaan Horn. Horn kini menjadi marah.

"Aku tidak butuh bantuanmu!! Biarkan aku hidup sendiri disini, sendirian!! Aku tidak butuh….. semua bualan tentang sihirmu itu" tubuh Horn bergetar. Suatu hal ada yang tidak beres pada dirinya. Horn memegangi kepalanya. Carmen masih bersimpuh santai melihat tuan tamunya marah.

"Horn, tenangkan dirimu. Jangan biarkan mantranya menguasaimu".

Horn merasakan kepalanya diputar-putar dengan cepat. Kemudian Horn mendengar suara-suara itu lagi. Suara yang menanyakan isi batinnya sendiri.

Apa yang kau sembunyikan?

Apa yang kau sembunyikan?

Apa yang kau sembunyikan?

"Diam….!!!", bentak Horn. Carmen yang melihat Horn tersungkur sambil merintih kesakitan bangkit berdiri bersiaga. Tangan Horn terkepal dan mengeluarkan energi listrik.

"Horn…?"

BETS!

Horn mencoba menerjang leher Carmen, namun ia sudah lebih dulu menghindar. Carmen dengan lihai menghindari beberapa terjangan Horn di apartemen sempit tersebut yang membuat apartemen itu jadi super berantakan. Sadar usahanya tidak berhasil, Horn kemudian dengan membabi buta mengalirkan energi listrik ke seluruh apartemen yang membuat Carmen tersetrum dan seketika tersungkur ke lantai. Horn langsung menindihnya dan mulai mencoba mencekik Carmen berharap ia tewas. Carmen berusaha melepaskan cengkraman Horn yang makin menguat.

Carmen memosisikan kedua tangannya menggapai salah satu lengan Horn. Ia'pun sekuat tenaga memelintir dan membakar kulit lengan Horn dengan sihir api miliknya. Horn kesakitan dan melepaskan cekikannya lalu mundur ke belakang. Carmen terbatuk-batuk setelah saluran pernapasannya disumbat dengan keras. Horn merintih atas rasa membara yang ada di lengannya. Carmen berdiri menghadap Horn yang sedang memegangi lengannya yang gosong. Mata mereka bertemu. Carmen tahu tatapan apa yang Horn berikan kepadanya. Ia ketakutan.

"APA YANG KAU INGINKAN DARIKU!!?".

"Aku mencoba membantumu, Horn. Tenanglah…".

"BAGAIMANA AKU BISA TENANG, LIHAT APA YANG KAU LAKUKAN PADA LENGANKU!!?".

"Horn, aku minta kau tenang dan jangan melawan mantranya. Aku tidak mau menyakitimu untuk ketiga kalinya..".

"BERISIK!!", Horn mencoba melayangkan tinju pada Carmen, namun anehnya tinjunya benar-benar jauh dari kata akurat. Carmen sontak langsung memanfaatkan momen ini untuk melumpuhkan Horn dengan mengunci tangannya. Carmen tanpa segan mematahkan pergelangan tangan Horn dan membiarkannya ambruk ke lantai.

Carmen sempat mengatur nafasnya terlebih dahulu sebelum akhirnya melewati tubuh Horn dan mengambil kembali koper kulitnya.

"Kau tahu, The Purple. Aku bisa saja memberimu pekerjaan yang tidak membosankan seperti yang kau lakukan di minimarket itu….. Dan juga dengan gaji yang besar, namun sayang ternyata kau tidak butuh bantuanku… yah… lebih baik aku pergi. Tidak ada gunanya aku tinggal disini.". Carmen membuka pintu lalu keluar meninggalkan Horn dengan kondisi lengan yang abnormal.

Horn melihat rambut merah gadis itu menghilang dibalik daun pintu. Kemarahan Horn sudah padam. Ia'pun terdiam di lantai sambil menulusuri pikirannya tentang apa yang telah terjadi pada dirinya. Matanya menyusuri apartemennya yang berantakan akibat ulahnya sendiri. Pikirannya yang semula kacau mulai tenang. Kini ia bisa berpikir lurus.

Sebenarnya apa yang salah pada hidupnya? Apa yang salah pada pola pikirnya? Mengapa ia menghabiskan enam tahun tidak berguna di minimarket tersebut? Mengapa ia masih berada di sana sedangkan yang lainnya sudah menyerah dan mencari tempat yang lebih baik?..... Mengapa ia sangat menginginkan kematian? Apa benar takdir manusia dapat dirubah dengan begitu saja? Mengapa di kepala ini penuh dengan pertanyaan? Berhentilah memberiku pertanyaan! Apakah gadis itu dapat dipercaya? Apakah gadis itu mengatakan yang sebenarnya atau apakah diriku ini yang terlalu naif?

…..

Apa benar hidup seseorang dapat berubah? Bagaimana kita tahu caranya? Berhentilah bertanya tolol! Aku membutuhkan kepastian! Haruskah aku bertaruh dengan pertolongan gadis itu? Aku tidak ingin begini terus? Bergeraklah! Aku mencoba memikirkannya….. Berhentilah berpikir! Apa yang harus ku lakukan sekarang? Anggap ini terakhir kalinya kau mencoba untuk mati. Jika tidak berhasil kau juga, kau boleh mencobanya untuk kelima kalinya! Sekarang atau nanti! Kau tidak akan tahu bagaimana kelanjutannya! Tetapi dia sudah pergi... Kejar dia..apa kau mau menanti untuk enam tahun berikutnya!? Tapi….. Sudah lakukan saja brengsek!!....

...

"TU-TUNGGU!"

Horn terhuyung menuju pintunya setelah terbaring di lantai beberapa saat. Ia membuka pintu lalu menoleh ke arah koridor yang menuju lift. Gadis itu sudah tidak berada disana. Saat ia akan mengejarnya turun sebuah suara tamu yang sama terdengar kembali.

"Kau mencariku?". Carmen ternyata sudah menunggu di sisi dinding koridor yang satunya. Horn tidak dapat menjelaskan perasaannya saat itu.

"Ah…I-iya…m….maksudku tidak juga…AW!" ngelesnya sambil mengayun-ayunkan tangannya, lupa bahwa salah satunya sedang patah. "Aku hanya lupa memberitahumu…". Carmen menatapnya sambil bersandar dengan tangan dilipat.

"Apa…?".

"Kau boleh tidur di kamarku".