webnovel

Pria dengan Perban Di Wajahnya

Malam pada dini hari, sekitar pukul 2 pagi.

Beberapa petugas dari kepolisian bersiap untuk menggerebek TKP. Dari luar maupun dalam, penjagaan yang ketat.

Brak!

Mereka mendobrak pintu dan menodongkan senjata, membuatnya terkejut pun terdiam dalam kepanikan.

"Angkat tangan kalian semua!" seru salah petugas yang memimpin tim tersebut.

Tetapi, hal yang tidak diinginkan terjadi. Sosok di balik para kriminal itu sedang menyeringai. Seolah waktu dalam kendalinya, satu persatu ruangan dalam rumah tersebut meledak secara beruntun hingga menyisakan para oknum.

"Cepatlah! Tinggalkan tempat ini!"

"Kau juga!"

Para petugas dilanda kepanikan. Namun, ledakan takkan menunggu. Yang pada akhirnya sudah terlambat untuk menjauh.

Tetapi hanya para pengguna narkoba itu yang selamat, setelah mereka melompat dari jendela. Tapi mereka berakhir ditangkap, setelah salah satunya terluka. Polisi yang berada di kejauhan segera mengamankan.

***

Semenjak itu, kasus ledakan pertama kali dinamakan kasus 3 bulan lalu. Saat itu, Owen berada di seberang jalan. Melihat kejadian sebelum dan sesudah itu secara langsung pada hujan turun rintik-rintik. Setelah api melahap sebagian dari rumah itu, hujan pun turun dengan deras. Membasahi semua tubuh orang yang berada di luar termasuk Owen.

Ditengah hujan deras, Owen berlari dengan amat tergesa-gesa, langkahnya berat mencipratkan genangan air yang diinjaknya. Wajah khawatir sekaligus panik, hatinya mengebu dan napasnya pun tersengal. Melihat hujan telah memadamkan api, dan semua korban telah hangus.

Kejadian tragis ini begitu mudah disimpulkan oleh mereka, dengan ketiga pelaku yang sudah tertangkap. Inspektur berkata, "Dari awal tempat ini sudah direncanakan akan diledakkan oleh mereka setelah berbagi hasil jual dari obat-obatan terlarang. Kasus akan ditutup!"

Bagaikan neraka, mayat hangus bergelimpangan tanpa darah. Kini hanya menyisakan pecahan barang mereka. Sungguh ironi. Bagi Owen ini kejadian janggal. Tentu saja hal itu masih menjadi misteri, barusan pun hanyalah sepotong memori yang kembali diingat olehnya.

***

Hari ini, tepat pada tanggal 23. Nama kasus yang ditentukan pada bulan ini muncul karena sebuah barang bukti yang seharusnya tidak ada justru ditemukan di sekitar TKP. Para aparat kepolisian sebagian menyelidiki hal ini sampai 3 bulan lamanya namun berujung buntu sama seperti Owen yang juga terlibat secara tak langsung.

Pukul 12.30 siang, Owen sedang membasuh wajah di toilet rumah temannya. Tampaknya Ia mengingat kejadian itu sehingga linglung sesaat. Kemudian, menatap pantulan wajahnya sendiri. Ia merasa ada sesuatu yang berubah.

"Aku memang sudah tua, ubanan dan sering pikun. Lalu apa yang salah?" Owen mengobrol sendiri di depan kaca seperti orang gila.

Sebelum Ia kembali dan duduk, Irvan berteriak seraya berdiri dari kursinya setelah melihat layar monitor.

"Pak Owen! Ada seseorang yang datang lewat halaman belakang rumahmu!"

Owen pun bergegas kembali ke rumah sembari berusaha untuk menelepon Tris. Tetapi tidak diangkat-angkat. Ia sangat kesal dan mulai mempercepat larinya. Dengan berharap, tidak akan ada sesuatu buruk yang akan terjadi pada mereka.

Di samping itu, perlahan memori ingatan lain kembali muncul di saat yang tidak tepat.

Sebuah pistol yang diacungkan langsung ke arah seseorang petugas polisi. Membuat tindakan ketua tim itu sendiri, berhenti tak bergerak sedikitpun. Pupil matanya bergetar, keringat dingin bercucuran. Walau tak jelas melihatnya dari seberang, Owen berdecak kesal lantaran mereka para polisi tak segera beraksi.

Waktu yang telah terbuang percuma, Owen perlahan mendekat ke rumah itu, namun Ia baru saja mengerti. Alasan mengapa para polisi yang tengah menggerebek tiba-tiba berhenti. Ia melihat dari sudut sepertiga, ujung pistol yang mencuat keluar dari salah ruangan, lalu beberapa benda yang nampak, sebuah bom pengatur.

"Ek … Eka!"

Kata-katanya terbata seiring hujan rintik-rintik mulai turun. Perlahan memundurkan langkah enggan untuk mendekat. Suara tembakan nyaris tak terdengar namun ledakan terjadi setelah Ia melihat kejadian tersebut, Owen berlari dengan tubuh yang penuh luka dan abu. Hujan pun semakin deras.

Memori ingatannya terpotong lagi, Owen tersandung dan terjatuh karena batu kerikil.

Ponselnya berdering.

"Pak Owen! Cepatlah!" ucap Irvan setelah Owen mengangkat panggilan darinya. Nada suara Irvan kian meninggi.

"Saat ini dia sedang apa?" Dengan tenang, Owen bertanya.

"Kenapa kau masih bisa bertanya di saat-saat begini? Dia memecahkan kaca jendela dan memaksa masuk ke dalam rumah!"

"Tenang saja, aku sudah berlari ke sana. Matikan panggilan ini sekarang," pinta Owen seraya berlari cepat menuju rumah. Yang kemudian, tanpa sengaja Ia menjatuhkan ponsel sebab jari jemarinya sedikit bergetar dan mulai kaku.

Ketika sampai, Owen berusaha membuka pintu depan sambil berteriak memanggil nama Istrinya. Kemudian berhenti saat tubuhnya mulai lemas.

"Tris! Bukakan pintunya! Ini aku, Owen!"

Namun tidak ada jawaban. Karena kehilangan cara, Owen membenturkan kepala pada kaca jendela, lalu menggunakan kedua kakinya secara bergantian sampai benar-benar pecah. Bergegas masuk ke dalam lewat jendela yang barusan Ia pecahkan, Owen berlari menghampiri mereka.

Sekilas pria berjaket hoddie dengan perban, terkejut. Datang tanpa alas kaki dan membawa pisau dalam genggaman tangan kanan. Benar, orang inilah yang mengincar keluarganya.

"Orang ini masuk lewat belakang, jendela kamar ya?" pikir Owen dalam batin.

Owen memeluk Istri dan anaknya dengan tangan gemetar sambil menatap sinis pada pria tersebut. Di dalam ruangan berupa kamar, mereka berdua saling bertukar tatap dalam ketegangan.

"Cih!" Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya, setelah itu Ia pergi lewat jendela kamar yang sudah pecah.

"Tris, Mia. Kalian baik-baik saja?"

Mia maupun Tris hanya menatap wajah Owen. Mereka kemudian menangis sambil memeluknya.

"Setidaknya kalian tidak terluka. Orang itu memaksa masuk, bukan?"

***

Pukul 13.30, menjelang sore hari. Mereka duduk di sofa yang sama dengan Mia yang berpangku pada ayahnya. Bersama-sama melihat acara televisi. Sungguh sangat tenang.

"Bisa aku bertanya hal itu sekarang, Tris? Aku pikir dia akan kembali, karena itu aku ingin berjaga-jaga."

"Seperti yang kau katakan, orang itu memaksa masuk rumah. Sebelumnya dia datang dengan mengetuk pintu lalu berkata bahwa dirinya dari perusahaan yang sama sepertimu. Tapi aku menjawab, suamiku tidak ada saat ini dan biarkan aku menghubunginya dulu. Lalu dia mengatakan bahwa itu tidak perlu dan dia menyuruhku untuk membiarkan dirinya masuk ke dalam rumah. Tentu saja aku menolak keras dan ketika itu Ia memecahkan kaca jendela di kamar untuk masuk ke rumah. Dan maaf, aku tidak kepikiran untuk mengunci kamar saat itu."

"Itu orang yang kau kenal atau tidak?"

"Sama sekali tidak. Apakah itu berarti kamu juga sama?"

"Ya, mungkin aku mengenalnya tapi karena perban di wajahnya jadi aku tidak tahu."

"Begitu, ya."

"Pria dengan perban di wajahnya? Hm, kalau tidak salah, Inspektur itu juga mengatakan ada pria dengan ciri yang sama. Misal dia adalah orang itu, tapi dia siapa?" batin Owen