webnovel

Liburan Keluarga

Membaca buku adalah hobi Tris, bahkan Ia kini masih melakukannya di samping Mia yang tertidur bersandar.

Di tengah-tengah kedamaian ini, datang seorang pria tua membanting pintu dan berwajah serius.

"Mari kita berlibur di pantai!" ajaknya dengan tergesa-gesa.

Pukul 10 pagi. Owen mengajak sekeluarga untuk berlibur ke pantai. Memang waktunya terlalu siang, namun Owen memiliki rencana yang mungkin akan mengubah takdir kejamnya.

"Pantai! Ayo!"

Mia pun terbangun begitu mendengar hal itu dari Ayahnya. Langsung saja, tanpa berbasa-basi dan mengulur waktu, mereka pergi dengan mobil. Tentu saja mereka menyiapkan barang-barang untuk kepergian mereka kali ini.

"Baik. Jebakan sudah kusiapkan."

"Ada apa dengannya? Marah lalu sekarang?" pikir Tris dalam benak, bingung dengan perubahan sikap suaminya saat ini.

Tampaknya Owen serius dalam menghadapi lawan. Tak seperti sebelumnya Ia selalu pundung setiap melakukan kesalahan dan terus mengulang kejadian. Benar-benar membuat depresi orang.

Owen menyiapkan jebakan di dalam rumah, yang mungkin akan membuat pelaku itu terluka dan terjebak nanti. Yang pasti tidak sampai membuat nyawa melayang.

Jebakan di antaranya, tali penjerat yang dikaitkan pada pintu bagian belakang hingga menjalar ke jendela dapur. Lalu, pintu belakang pun sama. Semisal ada salah satu orang yang akan masuk di salah satu pintu, maka talinya akan menjerat kaki lalu tubuhnya. Tidak berbeda jika kedua orang yang masuk secara berpisah.

Trik sempura untuk menjebak pelaku. Mungkin ini terlihat remeh, namun tali itu pun takkan terlihat dari jendela tanpa tirai.

"Heh, aku tahu dia akan membobol pintunya. Tapi jika dia tidak kemari maka rencananya pasti akan berantakan."

"Kau bilang apa barusan? Ayo cepat berangkat."

"Ah, tidak. Tapi Tris, pastikan jangan masuk ke rumah sebelum aku. Mengerti?"

"Huh, oh, baiklah?"

***

Pantai terdekat dari rumahnya. Mia bersenang-senang di air. Kebetulan cuaca hari ini tidak terlalu panas. Namun, Mia dianjurkan untuk tidak berlama-lama karena perubahan suhu yang mungkin akan berubah secara mendadak.

"Kenapa kau mengajak kami di siang begini? Kenapa tidak sore hari saja?"

"Aku tidak ingin membuang waktu. Kebetulan cuacanya tidak terlalu panas. Dan ada hal yang ingin kubicarakan padamu di luar."

"Bicara? Kenapa tidak di rumah?"

"Kalau di dalam rumah pasti ada yang menguping."

"Lalu?"

"Perkataanku sebelumnya. Kau mengingatnya?"

"Ya. Aku ingat sampai sekarang. Tapi kenapa kasus 3 bulan lalu?"

"Pantai adalah tempat sempurna untuk membicarakan hal penting karena takkan ada yang memperhatikan selagi banyak orang bersenang-senang. Tetapi, suara kita mungkin tidak terlalu terdengar karena ombak. Namun, kebalikannya, tempat kejadian itu, awalnya hanya sekedar rumah kosong yang ditinggalkan tapi ternyata itu digunakan untuk mengelola barang terlarang. Takkan ada orang yang datang ke tempat itu karena terlalu sepi semenjak ditinggalkan."

"Kau mengatakan bahwa kita berada di tempat ramai karena jika di tempat sepi akan mencurigakan? Apakah polisi selalu mencurigai hal seperti itu? Karena itulah polisi dengan mudah menangkap mereka?"

"Ya, begitulah. Eka adalah satu korban di sana. Karena aku yakin yang meledakkan tempat itu bukanlah mereka."

"Mereka?"

"Semua orang akan mencurigai mereka karena telah tertangkap basah oleh kejahatannya sebelumnya. Tentu, mereka menganggap bahwa ledakan itu karena mereka."

"Jika orang lain yang melakukannya. Tapi siapa lagi selain mereka bertiga? Itu artinya …,"

Owen tersenyum memandang Tris. Tris dengan mudah menebak seseorang yang mungkin menjadi pelaku ledakan itu.

"Polisi sendiri."

Tris ragu mengatakan hal itu. Namun tidak ada orang lain yang akan mendekat kecuali orang-orang yang memanfaatkannya untuk melakukan kejahatan. Apalagi rumah itu adalah rumah kosong berlumut, kebanyakan orang indonesia akan merasa merinding ketakutan sebab hal-hal gaib yang mungkin ada di sana.

"Benar sekali."

"Tapi kenapa kau berpikir seperti itu? Ketiga pelaku bisa saja berbohong. Bahkan rekan mereka juga menjadi korban. Dan untuk apa kau memberitahuku hal ini?"

"Karena kau adalah Istriku. Maka aku harus memberitahumu hal ini. Meski rasanya percuma saja, tapi aku ingin mengatakannya. Karena selama ini aku mencurigai mereka."

"Eh?"

Tris terdiam dengan penuh kebingungan serta kebimbangan di lubuk hatinya yang terdalam.

"Jangan berekspresi seperti itu. Eka bukan orang yang aku curigai. Melainkan temannya. Dan nomor asing yang pernah aku sebutkan, mungkin adalah orang yang membuat ledakan itu."

"Ledakan itu dari bom bukan? Itu mengingatkanku dengan teroris yang pernah kau ucapkan saat Eka meninggal."

"Ya, benar. Dia bisa saja teroris. Aku yakin dia telah banyak melakukan kejahatan."

"Teman Inspektur-mu itu kenapa selalu memberitahukan kasus 3 bulan lalu secara detail? Walaupun kalian berteman, mana mungkin dia memberikan informasi dengan mudahnya pada warga sipil," ucap Tris curiga.

"Eh? Tidak." Owen pun panik, sepertinya Ia terlalu berlebihan untuk mengatakan soal kasus 3 bulan lalu pada Tris.

"Papa! Mama!" panggil Mia dari kejauhan, berlari menghampiri kedua orang tuanya dengan gembira.

"Anakmu memanggil?"

"Jawab aku! Aku tidak ingin kau berbohong lagi! Kenapa selalu saja ikut campur?" Sekali lagi Tris bertanya namun dengan nada yang sedikit meninggi, seraya Ia menarik pakaiannya.

"Tunggu, tunggu. Kalau soal itu, karena Eka adalah korban. Eka adalah keluarga kita. Aku pikir dia mengatakannya karena Eka."

Tris membelalakkan kedua mata, menaikkan kedua alisnya dengan terkejut. Tak disangka apa yang dikatakan oleh Owen ada benarnya.

"Tapi kau tetap warga sipil. Walaupun tahu detailnya. Bukti apa yang kau punya sehingga menuduh bahwa orang yang meledakkannya bukanlah dari ketiga pelaku itu melainkan seseorang yang berada di kepolisian?"

Dan yah, tentu saja Tris berkata benar. Owen hanya sekedar menuduh tanpa bukti. Lagipula, perkataan tentang yang terakhir kalinya saat masih berada di rumah pun tidak masuk akal bagi semua orang.

"Aku hanya bisa berasumsi. Tapi kau benar. Mari kita lupakan?"

Pukul 5 sore hari, Owen sekeluarga pun akhirnya pulang ke rumah. Melihat pintu rumah masih dalam keadaan baik-baik saja. Owen setidaknya merasa lega sesaat.

"Aku akan mengambilkan barang-barangnya. Tunggu di depan–"

Ketika Owen menoleh dengan niat mengingatkan kembali untuk jangan masuk terlebih dahulu, pintu rumah sudah terbuka dan mendapati tali yang menggantung dengan cairan merah menetes.

Merasa aneh, segera Owen mengecek layar ponselnya. Bukan jam 5 sore lagi, melainkan jam 6 kurang 15 menit. Pukul 5.45 WIB.

"Kejadian rumpang lagi!"

"Papa, aku mengantuk."

Tidak ada Tris di manapun kecuali Mia yang masih berada di dalam mobil karena tertidur cukup pulas. Owen semakin panik ketika cairan itu masih menetes.

"Harusnya ini tidak membuat orang itu terluka. Tapi kenapa ada …,"

Owen dengan seksama melihat tali dengan cairan yang menempel di sana. Lalu baru saja tersadar dengan mayat wanita yang terbaring bersimbah darah di dapur. Hanya dengan berdiri di depan pintu masuk yang bersejajar dengan pintu dapur belakang tentu Owen akan langsung melihatnya dalam sekejap.

"Tris?"