Pada taman pohon beringin di pojok kota Gahon, suasananya senyap yang ada hilang seketika, berganti dengan ketegangan yang seakan menyesakkan napas. Pancaran gelombang aneh yang terasa beberapa menit lalu membuat semua unsur kekuatan suci dalam radius belasan kilometer dari pusat kota menghilang, begitu pula semua orang yang memiliki unsur kekuatan suci di taman beringin tersebut.
Mavis, Fiola, dan Proten berdiri saling membelakangi di tengah taman. Di dalam kepungan anak-anak Korwa, mereka bertiga benar-benar tertekan karena tak bisa menggunakan kekuatan dengan maksimal sebab sihir Anti Holy yang dilepaskan oleh orang-orang tersebut membuat kekuatan Mavis dan Fiola sebagian besar tersegel.
Proten berusaha menggunakan sihir pikiran dalam jangka luas dan hendak membuat ilusi untuk kabur dari kepungan. Mengangkat kedua tangan ke atas, lingkaran sihir mulai terbentuk dan partikel-partikel bercahaya terpancar keluar mengisi udara dengan cepat. Sebelum sempat disebarkan kepada anak-anak Korwa, tiba-tiba gelombang sihir kuat datang menghapus seluruh struktur sihir yang tersebar di udara.
"A―!! Apa yang terjadi? Ini ...."
"Khu khu! Kau pikir kami akan membiarkan sihir seperti itu diaktifkan?"
Salah satu dari ratusan anak Korwa maju, lalu berdiri dengan angkuh seraya menatap Proten yang benar-benar terbelalak ada orang yang bisa menghapus sihirnya. Tidak jauh berbeda dengan anak Korwa lainnya, perempuan berambut ungu itu mengenakan jubah hitam dan parasnya sangat identik dengan saudara-saudaranya.
"Kakak ..., dia ... memakai Anti Spell .... Gawat, kalau seperti ini kita benar-benar bisa dibunuh mereka ...."
Mavis hanya melirik ke arah Proten saat mendengar itu. Keadaan memang sangat gawat, tetapi wanita berambut pirang tersebut sama sekali tidak terlihat gentar atau takut dengan anak-anak Korwa yang mengepung.
Melihat ke arah orang-orang berjubah hitam, Mavis menghela napas dan merilekskan diri. Ia berdiri tegak, lalu mengambil dua langkah ke depan. "Apa tujuan kalian melakukan ini?" tanyanya dengan tanpa gentar.
"Uwah~ Sucinya~ Pemberani sekali! Padahal sudah menipu suami sendiri, tapi kau tetap berlagak sok suci ya, ooh wahai Penyihir Cahaya!"
Cibiran itu benar-benar menusuk, meski begitu Mavis tetap tidak memperlihatkan raut wajah kesalnya. Ia membuka telapak tangannya ke depan, lalu berkata, "Jawab saya, wahai anak-anak Korwa, apa yang kalian incar? Kenapa menyerang kami? Apa ini balas dendam karena kami selalu menggagalkan pemanggilan Iblis kalian?" Mendapat pertanyaan seperti itu, anak-anak Korwa terdiam.
Perempuan berembut ungu yang terlihat menjadi pemimpin mereka melangkah maju ke arah Mavis. "Balas dendam? Gagal memanggil? Ha! Ha! Konyol! Tidak berguna! Engkau pikir tujuan kami hanya memanggil para Pangeran Iblis?" ucapnya seraya memasang senyum menghina.
Perempuan berambut ungu itu berhenti, lalu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar seraya berkata, "Semuanya telah direncanakan! Engkau pikir pemanggilan itu untuk apa?! Tentu saja untuk membuat jarak dunia ini dengan dimensi para Iblis semakin dekat! Waktunya telah tiba, semua material pemanggilan telah siap!" Menatap tajam ke arah Mavis, perempuan berambut ungu itu menunjuk dan berkata, "Engkau adalah salah satu material utama pemanggilan yang dibutuhkan kami ..., wahai sang cahaya. Tebuslah dosamu!"
Jawaban tersebut membuat ketiga orang itu tersentak. Fiola dan Proten paham mereka benar-benar mengincar Mavis. Kedua orang tersebut langsung berdiri di depan Mavis, lalu siap bertarung meski tanpa menggunakan Mana atau sihir sekalipun. Para Korwa serentak tersenyum gelap melihat tindakan kedua orang tersebut, penuh rasa menghina dan mencela.
"Sepertinya engkau memang ditakdirkan untuk ditinggalkan, Penyihir Cahaya .... Para saudari yang engkau cintai telah tiada, sekarang mereka berdua akan segera menghilang dari dunia ini, dan kelak nanti suamimu ... pasti akan segera meninggalkanmu."
"Diam kau!!"
Amarah Mavis naik, dan tanpa disadari dirinya membentak. Itu terasa aneh di dada wanita berambut pirang tersebut, seakan panas meluap keluar dan membuat tubuhnya berkeringat.
"Kakak ..., jangan termakan omongannya ...."
"Itu benar, Nyonya .... Kami tidak akan mati dengan mudah. Lagi pula, saya di sini akan memastikan Nyonya dan Nona bisa keluar dari tempat ini dengan selamat ...."
Mavis terkejut mendengar itu karena perkataan Fiola juga berarti tidak akan kabur sebelum dirinya. Dalam benak Mavis, Ia memang merasa tidak ingin kehilangan lagi, dirinya sudah terlalu banyak kehilangan orang-orang yang berharga dalam hidupnya. Melihat sekeliling dan mencari celah, tempat tersebut benar-benar penuh dengan orang-orang berjubah yang memiliki raut wajahnya sangat mirip satu sama lain.
Salah satu dari anak Korwa mengangkat tangannya, lalu membuat sebuah tombak bercahaya ungu dengan Mana yang dipadatkan. Ia memutar-mutar tombak tersebut, lalu berjalan mendekat. Mavis dan yang lainnya sempat terkejut karena teknik itu mirip dengan teknik yang sering digunakan Dart.
"Kalau begitu, tangkap Penyihir Cahaya dan bunuh yang lainnya!!"
Para anak Korwa menyerang secara serempak dengan sihir mereka, campuran antara sihir petir dan api. Julia masuk ke dalam bentuk ekor sembilan secara instan, lalu menggunakan ekor-ekornya untuk melindungi tubuhnya sendiri dan dua majikan yang dilayaninya. Karena unsur anti sihir ada pada tubuh perempuan rubah tersebut, semua sihir dapat ditahan dengan ekor-ekor berbulu lebat yang dipasang seperti tembok pelindung.
Saat Fiola membuka pelindung ekor, Proten langsung melesat ke depan dan menendang anak Korwa yang memegang tombak Mana sampai lehernya patah. Diikuti oleh Fiola, gadis rubah itu memanggul Mavis dan menjadikan pundak Proten sebagai pijakan untuk meloncat semakin tinggi.
Melayang di udara, Fiola menggunakan salah satu ekornya untuk mengangkat Proten dan membawanya melayang di udara. Menggunakan kepala anak-anak Korwa sebagai pijakan, perempuan rubah itu meloncat-loncat cepat keluar dari kepungan. Tetapi sebelum sempat benar-benar keluar dari daerah taman, salah satu anak Korwa yang dijadikan pijakan memegang kaki Fiola dan membuatnya kehilangan keseimbangan.
Sebelum jatuh ke tanah, segera Fiola melemparkan Mavis dan Proten dengan ekornya keluar dari kepungan. "Fiola!!" teriak Proten, Ia terkejut Fiola melakukan hal seperti itu. Melayang ke atap bangunan dan melihat Proten yang terjatuh ke tengah kepungan anak-anak Korwa, dalam benak kedua perempuan tersebut sadar apa yang diinginkan oleh gadis rubah tersebut. Mavis dan Proten mengangguk dan menghadap ke depan, lalu mendarat di atap salah satu bangunan dan berguling jatuh ke dalam gang.
Berdiri tepat di tengah-tengah para anak Korwa, perempuan rubah berekor sembilan itu menyeringai lebar. "Ah ..., sudah lama sekali diriku tidak merasakan ketegangan ini, rasa seakan darah mendidih seperti ini!" Meski Fiola tidak bisa menggunakan Mana berunsur suci miliknya, tetapi dirinya bisa masih bisa menggunakan Mana dengan unsur netral yang diakses langsung dari vitalitas. Aura kehidupan terpancar kuat darinya, berwarna cokelat gelap dengan tekanan yang sampai bisa membuat jalan batu tempatnya berpijak retak.
"Kau sengaja membuat mereka kabur supaya bisa puas bertarung? Hah! Binatang memang tetap binatang ...," ucap salah satu anak Korwa.
"Binatang? Tak masalah kalian menganggapku seperti itu! Yang diriku lakukan hanya melayaninya! Keselamatan dan kebahagiaannya adalah prioritas utama! Aku tidak akan membiarkan bajingan seperti kalian memadamkan cahaya terakhirku!"
Fiola menajamkan kuku dan menguatkan strukturnya dengan teknik manipulasi Mana. Memperkuat otot-ototnya dengan mengatur pernapasan dan sirkulasi oksigen yang mengalir dalam pembuluh darah, perempuan rubah itu langsung menerkam ke arah anak-anak Korwa tersebut. Dengan cakaran, tendangan, dan ekor-ekornya, Fiola menyerang brutal dan membantai mereka satu persatu.
Darah ditumpahkan, mayat-mayat bergelimpangan, dan taman pohon beringin tersebut berubah menjadi taman penuh darah dalam waktu singkat.
Meski melawan sekuat tenaga, tanpa sihir Huli Jing seperti dirinya hanyalah Demi-human biasa yang hanya bisa mengandalkan kekuatan fisik. Jumlah anak-anak Korwa terlalu banyak, dan pada akhirnya stamina yang semakin berkurang membuat gerakannya semakin lambat.
Crat! Tebasan pedang tepat mengenai perut perempuan berambut cokelat gelap tersebut. Fiola menyerang ke belakang dengan ekornya, tetapi sosok berjubah yang menebasnya langsung meloncat menjauh. Tenaga Fiola benar-benar habis dan darah yang terus berceceran membuatnya semakin lemas. Meski telah membantai puluhan anak-anak Korwa, dirinya tetap tidak bisa menang melawan jumlah yang masih sangat banyak.
Sebuah panah melesat dan menusuk paha kanan perempuan itu. Ia berlutut penuh rasa sakit, tubuhnya gemetar dan tatapannya mulai pudar. Di tengah mayat-mayat yang bergelimpangan, Fiola mencoba berdiri kembali dan terus melawan meski kedua kakinya gemetar.
Panah, pedang, tombak, kapak, belati, dan berbagai serangan diarahkan pada tubuhnya. Darah berceceran, lukanya terbuka lebar, meski begitu perempuan rubah itu terus melawan dan melawan, berusaha mengulur waktu sebanyak mungkin untuk kedua majikannya bisa kabur lebih jauh. Dalam benak Fiola, melayani seseorang adalah hal yang sangatlah baru dan menyenangkan, Ia sendiri tidak mengira akan berkorban demi orang lain sampai titik darah penghabisan seperti sekarang.
Tidak ada penyesalan dalam benaknya, meski harus mati itu merupakan sebuah kehormatan kalau itu demi tuannya. Terus melawan dan menyerang sampai titik darah penghabisan, perempuan rubah tersebut sampai pada batasnya. Tubuh yang bersimbah darah ambruk itu dan kesadarannya mulai menggelap. Dari ratusan anak Korwa yang ada di tempat tersebut, lebih dari setengahnya benar-benar dibantai oleh Fiola.
"Terima kasih ..., Proten, Mavis ..., sudah memberiku makna dalam hidupku ... mengajariku apa itu kebersamaan .... Aku ...."
Fiola merangkak, memaksa tubuhnya bergerak dan berusaha untuk tetap hidup. Ia masih ingin merasakan itu, kebahagiaan dalam kebersamaan, berbagi rahasia dan saling mengungkapnya satu sama lain saat Dart tidak ada. Bagi Fiola, Mavis dan Proten adalah majikannya, sahabatnya, dan keluarga yang tak tergantikan. Meski itu sesaat, dirinya sangat terpuaskan oleh hal tersebut.
"Terima kasih .... Aku bersyukur bertemu ka―"
Jleb! Pedang ditusukkan ke punggungnya. Kesadaran Fiola benar-benar hilang, darah segar mengalir membasahi jalan tempatnya terbaring. Ia tengkurap di atas jalan batu yang mulai hangat karena darah, dengan pakaian compang-camping dan bercak darah segar.
"Tenang saja, rubah menyedihkan. Dua orang itu akan segera menyusulmu. Mau lari ke manapun itu percuma, kota ini sudah berakhir .... Siklus seperti ini akan berakhir, peruahan dunia akan dimuai pada momen ini .... Ibu kami akan segera memulainya."
Salah satu anak Korwa tersebut mencabut pedangnya dari tubuh Fiola, lalu berjalan pergi dari taman pohon beringin penuh mayat bergelimpangan itu. Bersama dengan semua saudaranya yang masih tersisa, mereka menghilang dalam kegelapan dan membawa pertanda buruk di tempat lain.
Tujuan mereka masih tidak berubah, menangkap Mavis sebagai prioritas dan menjadikannya sebagai material untuk pemanggilan Iblis dengan menggunakan kota Gahon tersebut sebagai panggung utama. Tempat tersebut benar-benar telah jatuh ke tangan mereka tanpa disadari semua orang, tanpa diketahui oleh para penduduknya sendiri.
.
.
.
Mavis dan Proten berlari di tengah keramaian kota. Dengan wajah pucat penuh rasa takut dan cemas, kedua orang tersebut terus menggerakkan kaki dan berharap bertemu segera bertemu Dart di tengah keramaian yang menghalangi langkah kaki mereka.
Di tengah lalu-lalang tersebut, para anak Korwa yang mengejar tidak segan-segan menyerang mereka berdua. Mereka melesatkan panah, melemparkan belati, dan bahkan sihir. Beberapa penduduk kota yang tidak ada kaitannya terkena serangan dan tumbang satu persatu. Darah yang ditumpahkan langsung membuat semua orang bertingkah histeris ketakutan.
Beberapa prajurit dan penjaga kota datang, mereka langsung melawan para anak-anak Korwa tersebut dan bentrokkan terjadi. Penduduk kota yang tadinya menikmati malam yang damai mulai kocar-kacir, kabur dari pertempuran berdarah yang tiba-tiba terjadi di tengah kota.
Langkah sempat terhenti dan menoleh ke belakang saat melihat mereka yang terbunuh, rasa bersalah mengisi benak Mavis dengan cepat dan membuat matanya berkaca-kaca. Segera menggandeng kakaknya tersebut, Proten menariknya dan membuat Mavis tetap berlari.
Sebuah belati panas melesat dan menusuk bahu Proten. Perempuan berambut putih tersebut jatuh tersungkur. Saat akan berdiri kembali, dua panah melesat dan tepat mendarat pada kaki dan paha kanan perempuan itu.
"P-Proten ...."
"Pergi Kakak! Cepat!"
Mavis terdiam ketakutan sesaat, tubuhnya menggigil dalam ketidakberdayaan. Itu pertama kalinya Ia benar-benar merasa takut dan tidak berdaya, kekuatannya yang tersegel benar-benar berdampak besar baginya. Dari pada pergi meninggalkan adiknya tersebut, wanita berambut pirang itu lebih memiliki untuk menggendongnya.
"Apa yang kau lakukan! Cepat pergi! Mereka bisa men―Akh!" Panah mendarat di punggung Proten. Ia tidak berbicara lagi dan kesadarannya mulai pudar.
"Proten ... Proten!? Jawab aku proten!"
Mavis semakin takut, kakinya gemetar dan napasnya terengah. Meski begitu, Ia tetap melangkah sampai air mata mulai berlinag. Salah satu dari anak Korwa berhasil menyusul. Saat hendak menebaskan pedang ke arah mereka, salah satu prajurit menebas anak Korwa tersebut terlebih dahulu dan menghabisinya.
"Cepat pergi dari tempat in―!!"
Tiba-tiba sebuah bola api melesat ke arah prajurit berzirah tersebut dan membakarnya sampai habis. Tidak pandang bulu, ledakan bola api tersebut membakar anak-anak Korwa juga dan menghanguskan semua orang yang sedang bertarung satu sama lain.
Mavis mendongak dan melihat sosok yang melemparkan bola api tersebut. Tepat di atas genteng, berdiri sosok berselimut api membara. Rambutnya membara merah kirmizi, dan sosok tersebut mengenakan gaun api yang begitu megah dan mengerikan dengan aura kuat yang terpancar. Proten langsung mengenalinya meski sosoknya terlihat berbeda, sosok itu adalah gadis kucing yang dibawa Dart sebelumnya.
"Kenapa dia di sini? Apa dia ... di pihak kita?" ucap Proten.
Apa yang dirasakannya sangatlah salah. Dengan tanpa ragu, sosok gadis kucing berselimut api tersebut menembakkan padatan bola api besar ke arah Mavis dan Proten dari telapak tangannya. Segera Proten berdiri dan melindungi Mavis dengan tubuhnya. Bola api itu mengenainya dan meledak. Kedua perempuan terpental beberapa meter karena ledakan brutal tersebut.
Telinga Mavis berdenging, napasnya terengah dan tubuhnya semakin lemas dalam ketakutan. Terkapar di dalam kepungan api, wanita berambut pirang tersebut berusaha mencari adiknya. Melihat ke kanan dan kiri, rasa sakit seketika terasa pada dadanya saat melihat Proten terkapar dengan kondisi mengenaskan. Kedua tangan adiknya itu hancur tak berbentuk karena ledakkan tadi, wajahnya penuh luka bakar, dan kakinya terkena serpihan kayu runcing dari bangunan yang rubuh.
"Proten .... Proten! Bangun ..., kumohon .... Dengarkan Kakak .... Kumohon jangan tinggalkan aku ...."
Mavis merangkak mendekati Proten, tidak memedulikan api yang mulai merambat pada tubuhnya. Air mata mengalir membasahi pipi wanita itu, dirinya tidak henti-henti memanggil nama adiknya tersebut.
Sebelum bisa meraih Proten, sebuah pedang api menusuk tangan kanan Mavis dan mengunci ke lantai jalan. Tidak memedulikan hal itu, Mavis memaksa meraih Proten dan menggerakkan tangannya dengan paksa, meski itu harus robek karena pedang api tersebut.
"Sampai seperti itukah engkau mencintai adikmu itu?"
Sosok berselimut api turun dan langsung menginjak tubuh Mavis. Telapak kaki membaranya membakar punggung wanita berambut pirang itu, dan memberinya rasa sakit luar biasa sampai membuatnya menjerit keras. Seakan tidak tega membuatnya terus menderita, sosok berselimut api tersebut memegang bagian belakang kepala Mavis dan menyerang langsung kesadarannya dengan sihir.
Pandangan Mavis langsung pudar, dan kesadarannya melayang dengan cepat. Tubuhnya berhenti bergerak di tengah kobaran api dan terbaring tengkurap. Sosok Nekomata berselimut api merah itu mengangkat kaki kanannya dari Mavis, lalu mencabut pedang api yang menancap pada tangan wanita tersebut.
"Apa ... yang ingin kau lakukan pada ... Kakak."
Proten yang kesadarannya masih tersisa menatap tajam ke arah sosok berselimut api tersebut. Saat berusaha bangun, sebuah tinju mendarat di perutnya dan benar-benar membuat kesadaran Proten melayang.
"Tenang saja .... Sebagai penghormatan atas perasaan kalian, diriku berjanji kalian akan mati bersama." Sosok berselimut tersebut memanggul Mavis dan Proten orang tanpa membakar mereka. Ia berjalan ke arah kobaran api dan menghilang dengan cepat di balik tirai merah.