webnovel

19 - Einerseits Obst 1 of 4

Pepohonan berubah putih tertutup salju. Tupai dan burung membuat sarang di bawah akarnya, serta meninggalkan jejak biji-bijian di atas permukaan tanah yang juga tertutup butiran putih. Hampir dari mereka sudah memulai tidur panjang untuk berlindung dari butiran putih pembawa hawa dingin yang mematikan. Meskipun tak lebat, butiran murni yang turun itu tak kunjung berhenti dan terus mewarnai daratan.

Pada hutan pepohonan Pando di daerah perbatasan selatan Wilayah Kekuasaan Marquess Luke, terlihat seekor Drake yang menarik gerobak dan kereta kayu. Pada pintu dan sekitar roda kereta kayu tersebut terdapat simbol Kerajaan Felixia yang diukir dengan teliti, menandakan alat transportasi itu merupakan milik seorang bangsawan penting. Yang menariki kereta kayu itu adalah Odo dan para Shieal. Setelah terlambat sekitar satu hari dari yang dijadwalkan dalam ekspedisi, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan ekspedisi, yaitu Hutan Pando, sebuah tempat dimana pepohonan pando menjadi vegetasi utama di tempat tersebut dan merupakan tempat bersemayam Witch menurut legenda setempat.

Kereta Drake dipacu dengan kecepatan sedang, melewati pepohonan di jalan yang semakin menyempit saat semakin masuk ke dalam hutan. Di dalam kereta, Odo yang bersikeras melanjutkan ekspedisi mulai membuat rencana untuk mempercepat tujuan perjalanan mereka. Di tengah tidak ratanya jalan dan guncangan yang terasa di dalam kereta, anak berambut hitam itu membuka sebuah peta geografis dari daerah tempat Hutan Pando berada.

Menyandarkan tubuh pada tempat duduk, anak itu membuka peta di atas pangkuan, dan mulai mengamati dengan seksama apa yang harus dilakukan untuk cepat menemui monster dan memburu mereka. Dalam peta, daerah Hutan Pando bisa dikatakan sangat luas dan masih berbentuk belantara asri yang tidak terdapat pemukiman di dalamnya. Pada beberapa titik hutan, dari peta dapat diketahui kalau tempat tersebut dilalui oleh beberapa aliran sungai dan juga memiliki beberapa titik rawa hidup, serta luas hutan terbentang sekitar kaki Pegunungan Perbatasan sampai selat yang terhubung dengan laut lepas.

Saat anak itu masih mengamati peta dan orang-orang di dalam kereta melihatnya dengan heran, tiba-tiba kendaraan mereka berhenti melaju. Kali ini bukanlah hal yang tidak terduga seperti para bandit sebelumnya, melainkan memang jalan yang bisa dilewati Drake sudah habis dan mereka sampai di depan daerah Hutan Pando bagian dalam.

"Sepertinya sudah sampai, ya?" Odo menggulung peta, lalu menarik kotak kayu di bawah tempat duduk dan memasukkan peta ke dalamnya. Menendang pelan kotak kayu kembali masuk ke kolong tempat duduk, anak berambut hitam itu langsung menatap Gariadin dan Xua Lin yang duduk berhadapan dengannya.

"Kak Gariadin, Mbak Lin .... Setelah kita turun, tolong pasang tenda dan siapkan api unggun. Kita berkemah dulu malam ini ...."

Mereka sedikit terkejut mendengar itu, begitu pula Julia. Setahu mereka bertiga seharusnya Odo sedang buru-buru sekarang, dan tidak ada waktu untuk bermalam lagi atau menunda-nunda. Menepuk pelan pundak kanan anak itu, Julia bertanya, "Tuan Odo, bukannya kita sedang buru-buru? Kalau ada yang menyerang lagi bagaimana?" Anak itu menoleh, lalu menatap ringan Demi-human berambut keperakan itu dengan sedikit senyum ledek di wajah.

"Apa Mbak Julia ingin dimangsa monster? Sekarang sudah siang. Meski kita buru-buru ..., ujung-ujungnya nanti pasti malam selesainya kalau dihitung kuota kristal monster yang dicari. Lebih aman kalau kita memulainya besok dan selesai sore harinya ...."

"Kalau saat kita berkemah diserang lagi bagaimana? Bukannya itu lebih bahaya?"

"Kurasa tidak akan."

"Kenapa?"

"Karena instingku berkata seperti itu ...."

Odo berkata demikian karena dirinya telah menyerahkan pengaturan struktur Sihir Sensor kepada Auto Senses. Dengan melakukan hal tersebut, anak berambut hitam itu dapat mendeteksi segala getaran di permukaan tanah dalam jarak lebih dari dua kilometer secara otomatis. Meski karena itu seharusnya dirinya mendapat informasi yang tidak perlu, tetapi karena Auto Senses informasinya yang didapat akan disaring sehingga pikirannya tidak terganggu.

Mendengar perkataan anak itu tentang insting, Xua Lin mulai penasaran karena memang hal tersebut merupakan salah satu bidang keahliannya. "Kenapa anda selalu mengandalkan insting? Kalau insting Anda salah bagaimana?" tanya gadis berambut cokelat pendek sebahu itu. Kedua telinga beruangnya yang bulat sesekali bergerak.

"Kalau salah, ya tinggal lakukan saja seperti tadi .... Kurasa ini paling efektif dan juga aman daripada langsung masuk dan dimangsa monster nanti di dalam hutan," jawab Odo.

"Bukan itu maksud saya, Tuan Muda. Yang ingin saya katakan, bagaimana kalau ada monster yang menyerang kita saat berkemah. Meski ini masih bagian luar hutan, tidak kecil kemungkinan kalau ada monster yang gagal berhibernasi dan berkeliaran. Mereka lebih agresif dan brutal dari monster biasa ...."

Odo baru sadar dengan akan kemungkinan itu. Anak berambut hitam itu sedikit memalingkan pandangannya ke luar jendela, lalu memikirkan hal lain menggunakan kemungkinan baru tersebut.

"Hmm, bagaimana kalau kita menggunakan Gua? Di sana kurasa cukup aman daripada berkemah di ruang terbuka. Meski ada serangan monster, kita bisa langsung bisa bertahan dan menghindari penyergapan dari banyak arah. Yah, meski kekurangannya kita bisa terkunci di dalam Gua sih ...."

"Apa tidak ada pilihan kembali dulu, Tuan Muda?" tanya Gariadin yang mulai ikut dalam pembicaraan. Pria berambut merah gelap itu membuka pintu kereta, dan membiarkan angin dingin masuk. Melihat salju yang turun semakin lebat, anak itu hanya memasang tatapan datar.

"Malam ini sepertinya akan turun badai. Kalau kita kembali, paling tidak kita bisa keluar dari daerah hutan berbahaya ini dan menyusun rencana nanti besok," ucap Gariadin.

"Itu hanya mengulang-ulang saja. Kalau kita keluar dari hutan dulu, kita akan kembali pada titik ini di waktu yang sama dan ujung-ujungnya akan selesai malam hari. Terlebih ..., tidak ada jaminan kalau besok cuacanya cerah ...." Odo menatap tajam pria berambut merah gelap tersebut.

"Lebih baik daripada berkemah saat badai salju," ucap Gariadin.

"Makanya aku bilang berkemah di dalam Gua. Di sana lebih aman, kita juga terhindar dari badai ...."

Gariadin terdiam, begitu juga Xua Lin yang tidak memiliki kata-kata untuk protes. Melihat kedua orang itu memasang wajah tidak puas dan Tuannya terlihat kesal, Julia mulai bingung harus berkata apa untuk melerai suasana tegang yang ada.

Di saat mereka berdiam di dalam kereta kayu dengan pintu yang terbuka lebar, Iamania dan Minda turun dari kursi kusir di depan, lalu berjalan ke arah pintu yang terbuka. Melihat orang-orang di dalam hanya termenung tanpa melakukan apa-apa, Minda menendang bagian samping kereta sampai terdengar suara keras.

"Dingin tahu! Gerak!" Setiap orang terkejut mendengar itu, bahkan Imania yang berdiri di samping Minda juga ikut kaget.

"Kita sedang berpikir, bisa diam tidak sih?" ucap Gariadin seraya menatap kesal perempuan berambut hitam panjang tersebut.

"Bukannya tadi Tuan Muda sudah bilang kalau akan cari Gua dan berkemah dulu? Kenapa kamu protes, Gariadin? Nyonya sudah bilang kalau kita harus membantu Tuan Muda dalam berbagai keadaan, 'kan? Apa kamu mau mencoreng kesetiaan kita pada Nyonya?" ucap Minda sambil membungkukkan tubuhnya ke depan dan menatap tajam Gariadin di dalam kereta.

"Bukan itu .... Aku cuma ing―"

"Baiklah ," ucap Odo dengan tiba-tiba. Para Shieal lekas melihat anak berambut hitam itu. Saat Tuan mereka mengangkat kepala dan melihat tajam Gariadin, Ia kembali berkata, "Kalau kau mau kembali, kembali saja, Gariadin. Awalnya memang aku ingin melakukan ini sendirian. Aku tidak butuh orang yang tidak patuh."

Pria berambut merah gelap itu terkejut saat mendengar perkataan Odo, apa yang dikatakannya sangat mirip dengan cara Tuan Besarnya berbicara. Tidak memedulikan Gariadin, Odo membuka pintu sisi lain kereta kayu dan melewati Julia melangkah keluar.

Berdiri diterpa hembusan angin dingiang dan hujan salju dengan hanya mengenakan kemeja, anak berambut hitam itu menoleh ke belakang dan melihat para Shieal dengan tatapan gelap yang tidak seharusnya anak sepertinya miliki.

"Kalau kalian tidak mau ikut, silakan saja pergi sana. Aku akan bawa beberapa kotak makanan yang tersisa dan cari Gua untuk meneduh."

Melihat tatapan mata yang tidak bisa dikompromi tersebut, para Shieal pada akhirnya memutuskan untuk tidak lagi protes. Loyalitas mereka pada Keluarga Luke sangatlah tinggi, karena itu sangatlah tidak mungkin bagi mereka meninggalkan orang yang nantinya akan menjadi Patriark di Keluarga Luke tersebut di tengah hutan berbahaya yang dipenuhi makhluk buas.

Setelah setuju untuk tetap mengikuti anak tersebut, mereka kembali naik ke atas kereta kayu dan memacu Drake memutari bagian dalam hutan untuk sampai di dekat daerah pegunungan yang ada di ujung selatan hutan. Menyusuri daerah tebing curam yang tertutup salju, tidak butuh waktu lama mereka menemukan Gua yang cukup besar. Tentu saja di dalam Gua tersebut telah ada penghuninya, sekawanan Hob-Goblin langsung keluar dan menyerang mereka yang baru saja sampai.

Tidak lebih sulit dari para bandit, sekawanan makhluk hijau kerdil itu dibantai habis-habisan di depan mulut Gua. Karena perintah Julia untuk tidak menumpahkan darah di dalam karena bisa menimbulkan bau amis busuk, pembantaian monster itu hanya berlangsung di luar dan mewarnai tumpukan salju putih menjadi merah.

Masih tersisa beberapa Goblin di dalam Gua tersebut, Julia mengasapi bagian dalamnya menggunakan sihir tingkat kombinasi elemen tingkat atas, Napas Agni, sebuah sihir gabungan dari elemen api, angin, dan alam untuk menciptakan asal dari ujung telapak tangan. Saat oksigen di dalam Gua menipis dan membuat para monster kehabisan napas, para makhluk kerdil hijau yang berlarian keluar dibantai dengan mudahnya oleh Gariadin dan Xua Lin.

Melihat Julia mengomando mereka dengan sangat baik, Odo yang hanya berdiri dan mengamati mendapat pelajaran tentang bagaimana konsep loyalitas bekerja dan sistem koordinir pembagian tugas diberlakukan secara cepat. Selain hal tersebut, ada hal lain yang terlintas dalam diri Odo tentang Julia.

"Daripada bau amis, dia lebih memilih bau hangus, ya ...."

Melangkah ke depan dan menginjak salju merah, anak itu sama sekali tidak memedulikan mayat-mayat Goblin yang sedang dibedah oleh Imania dan Minda untuk diambil kristal sihirnya. Pada dasarnya, kristal sihir itu merupakan sebutan umum yang sering digunakan untuk menamai sebuah batu kristal yang memiliki kekuatan sihir dan menyimpan Mana berisi informasi tertentu. Sebelum nama itu diberlakukan secara luas oleh sebagian besar masyarakat, kristal yang keluar dari mayat monster disebut juga Kristal Kehidupan.

"Memang warnanya berbeda dengan kristal sihir biasa .... Apa karena tidak memiliki atribut atau memang jenis kristalnya berbeda?" itulah yang dipikirkan Odo saat sekilas melirik ke arah Minda yang sedang menusuk bagian tengah dada salah satu Hob-Goblin dengan belati, lalu merogohnya dan mengambil sebuah kristal transparan berbentuk heksagonal tidak rapi.

"Padahal semua makhluk hidup punya Mana dalam tubuh, tapi kenapa hanya monster yang punya kristal? Hewan juga tidak punya itu, tetapi kalau Hewan Sihir dikatakan punya kristal di dalam tubuhnya. Apa karena Inti Sihir mereka berbeda, atau memang cara mereka diciptakan di dunia ini berbeda?"

Berhenti sejenak di depan Gua, rasa penasaran anak berambut hitam itu mulai tumbuh tentang kristal sihir. Sebelumnya Odo hanya menganggap kalau kristal yang keluar dari tubuh monster itu hanyalah sebuah sistem semacam di dalam video game yang dirinya tahu dulu. Tetapi setelah mengetahui fakta kalau dunia tempatnya sekarang bukanlah benar-benar dunia fantasi melainkan sebuah dunia dengan sistem dunia sangat canggih sampai terlihat seperti hal mistis, anak itu benar-benar merasa penasaran dengan sistem-sistem yang berlaku setelah Rekonstruksi Dunia.

"Tuan Muda, kalau sudah tahu banyak darah jangan diinjak seperti itu," ucap Minda. Menoleh ke samping, anak berambut hitam itu memasang tatapan datar melihat Minda membawa beberapa keping kristal dengan tangan berlumuran darah.

"Kira-kira ..., itu beratnya berapa, Mbak Minda?" tanya Odo.

"Entahlah, mungkin setengah kilogram saja tidak ada."

"Kalau dijual, kira-kira berapa?"

"Hmm, mungkin hanya seratus sampai tiga ratus Rupl saja."

Mendapat jawaban itu, Odo kembali terdiam dengan tatapan kosong. Ia hanya melakukan pembicaraan tidak penting sebab memang dirinya sudah tahu berapa harga dan beratnya karena pernah memburu Goblin dan menjual kristalnya. Melihat ke arah Gua yang sedang dibersihkan oleh Gariadin dan Xua Lin dari mayat Goblin, anak itu berjalan masuk dengan santainya.

Inti Sihir anak itu yang mulai aktif membuat auranya menguat dan butiran salju yang turun di sekitarnya menguap karena pancaran panas keluar dari tubuh. Gariadin dan Xua Lin yang sedang menyeret mayat-mayat Hob-Goblin terkejut melihat itu, begitu pula Imania dan Minda. Berbeda dengan mereka, Julia dengan tatapan tajam melihat lurus bagian dalam Gua gelap di hadapannya.

"Tuan Odo, apa Anda juga merasakannya? Di dalam sana ..., ada satu monster yang kuat," ucap Julia seraya meningkatkan tekanan sihirnya. Korea mata gadis Demi-human itu berubah keemasan, dan tubuhnya memancarkan cahaya terang berwarna emas.

Para Shieal lain terkejut melihat kedua orang tersebut meningkatkan tekanan sihir dengan tiba-tiba. Sebelum sempat bertanya, tiba-tiba tekanan mengerikan yang sangat kuat terpancar dari dalam Gua bersamaan dengan hawa membunuh yang sangat tajam. Bulu kuduk mereka berdiri seketika, kecuali Odo dan Julia.

Dari dalam kegelapan Gua, perlahan terlihat sosok monster yang menjadi penguasa dari tempat gelap dan lembab tersebut. Seekor Ogre setinggi dua meter keluar, tubuhnya lebih kecil dari kebanyakan monster sejenisnya dan juga memiliki tanda-tanda bentuk tubuh aneh seperti cakar panjang yang keluar dari sela-sela jari dan bahu, itu adalah bentuk mutasi menyimpang yang bisa terjadi pada monster. Fenomena seperti itu sangatlah jarang, dan perbandingan monster bermutasi sehingga memiliki ciri khusus sampai satu banding seribu.

Meski bentuk mutasi biasanya merugikan monster itu sendiri karena bentuk tubuhnya menyimpang yang membuat pola hidup berubah, tetapi dalam tingkatan tersebut bisa menjadi senjata dan peningkatan kemampuan tarung monster. Karena perubahan genetik tersebut merupakan mutasi, sifat dan ciri khas tidak akan diturunkan kepada keturunan monster.

"Mutasi Tahap Pertama ya .... Tuan Odo, biar saya yang melawannya ...." Julia melangkah ke depan. Berdiri beberapa meter dari Ogre tersebut, gadis berambut keperakan itu menunjuk dengan telunjuk kanan seraya tersenyum tipis.

Ogre di hadapan Julia langsung melesat cepat dengan tubuhnya yang lebih kecil dari jenisnya, dan memanfaatkan kekuatan fisik luar biasa yang sama sekali tidak berkurang yang menjadi ciri Ogre. Monster bertaring mencuat dari bawah mulut itu tidak langsung mengincar Julia, melainkan anak berambut hitam yang berdiri di belakangnya.

"Beraninya kau mengincar Tuanku, makhluk rendahan ...."

Saat Ogre itu hendak melewatinya, Julia bergerak sangat cepat dan langsung mengayunkan jari telunjuk kanannya untuk menusuk bagian dada monster itu. Dalam hitungan kurang dari dua detik, sihir penguatan untuk mempertahankan posisi tubuh dan sihir peningkatan untuk meningkatkan kemampuan fisik digunakan Julia secara bersamaan. Bagaikan berlari menerjang ke arah sebuah pedang, dada Ogre itu langsung tertusuk dan darah mengali membasahi tangan kanan Julia.

Luka itu tidak dalam, Ogre meloncat ke belakang dengan ketakutan. Saat kembali menatap Julia, monster itu sadar siapa yang harus dikhawatirkan. Dalam hierarki monster-monster di dalam Gua tempatnya bersemayam, monster itu mungkin berada di puncak. Tetapi di depan Julia, monster itu hanyalah sebuah mangsa yang tidak berdaya layaknya seekor kelinci yang sudah dipojokkan serigala.

"Cahaya menjadi tunggal, layaknya sesuai keinginanku ...." Julia menunjuk lurus Ogre tersebut dengan tangan berlumur darah. Perlahan aura yang menyelimutinya memusat dan membentuk sebuah bola cahaya padat di ujung jari telunjuk.

"Surya kekal dan kasatmata, menjadi peluru yang meluruhkan segalanya."

Bola cahaya kecil di ujung telunjuknya menghilang. Dalam hitungan kurang dari tiga detik sekilas cahaya terlihat, dan tiba-tiba kepala Ogre itu meledak hancur berkeping-keping tanpa memencarkan daging atau darah. Asap keluar dari leher yang kepala monster yang hancur. Masih melangkah dengan tubuh tanpa kepala, monster itu mulai ambruk ke depan. Sihir yang digunakan Julia tadi adalah koordinasi pemusatan panas dan cahaya, atau bisa juga disebut serangan laser. Menggunakan elemen cahaya dan pengendalian panas untuk memusatkan, Ia menggunakan bola cahaya kecil sebagai wadah energi cahaya dan membuat laser yang diarahkan.

"Sudah beres, Tuan Odo ...." Julia berbalik, lalu menatap Odo dengan senyuman tipis di wajahnya.

"Kurasa tidak .... Di dalam masih ada sesuatu ...."

"Sesuatu? Apa monster lagi? Tapi Saya tidak merasakan apa-apa, loh ...."

Menoleh ke dalam Gua yang terus dilihat anak berambut hitam itu, Demi-human itu terlihat bingung karena memang di dalam tempat gelap itu tidak terdapat sosok atau hawa monster sama sekali.

"Bukan monster, manusia .... Mungkin ..., mereka diculik saat lewat ke hutan ini sebelum musim dingin. Mbak tahu kalau monster seperti Goblin dan Ogre sukar beranak dengan sejenisnya, bukan?"

Julia langsung terkejut dan lekas berbalik melihat ke dalam Gua. Begitu juga para Shieal, mereka yang ikut mendengar perkataan anak itu terkejut. Apa yang dikatakan anak berambut hitam itu sangatlah mungkin karena memang di dalam Gua atau sarang monster tipe humanoid sangat sering ditemukan perempuan yang dijadikan pabrik perkembangbiakan sebelum dijadikan makanan, dan hal itu terjadi karena memang mayoritas monster berjenis kelamin jantan dan jarang ada betina yang disebabkan oleh adaptasi mereka yang cenderung diburu sehingga mulai jarang lahir monster betina yang cenderung lebih lemah.

"Apa di dalam sana ada orang, Tuan Odo?" tanya Julia. Wajahnya mulai terlihat gentar karena beberapa alasan.

"Mungkin .... Tadi masih bergerak, tapi setelah Ogre itu dibunuh, sekarang tidak terasa lagi. Yah, dilihat dari gerakan monster tadi yang menyembunyikan keberadaannya dan berniat menyergap kalau kita gegabah masuk, kurasa memang Ogre tadi pernah melawan manusia atau Demi-human ...."

"Ja-jangan bicara yang aneh-aneh, Tuan Muda .... Tidak mungkin ada orang bodoh yang keluyuran di Hutan Pando ini dan tertangkap monster ...." Minda terlihat ketakutan, apa yang dikatakan Odo mengingatkan perempuan itu dengan masa lalunya yang kelam.

Melirik ke belakang dan melihat wajah perempuan yang takut melangkah masuk ke dalam Gua itu, Odo sedikit teringat dengan data yang ada di ruang arsip tentang Minda. Perempuan itu memiliki kenangan buruk dengan para monster, terutama Orc dan sejenisnya karena dirinya menjadi yatim piatu disebabkan oleh serangan monster-monster tersebut yang membumihanguskan desa tempat tinggalnya dulu.

Kembali melihat ke depan, Odo mengulurkan tangan kanannya ke arah Gua. "Light!" Bola cahaya muncul di depan telapak tangan anak itu, lalu mulai melayang masuk ke dalam tempat gelap dan menyinari isinya.

Seperti perkiraan Odo, beberapa puluh meter ke dalam Gua yang semakin menyempit tersebut terlihat mayat-mayat orang yang terlihat seperti prajurit bayaran. Mayat itu belum membusuk secara penuh, menandakan kalau tidak terlalu lama waktu beralu.

Lebih menyinari ke dalam lagi, hal yang lebih parah terlihat. Di sudut tempat gelap dan lembab tersebut, sebuah pagar tembok dari kayu pasak renggang tidak rapi terlihat dan dibalik itu terdapat para perempuan yang dijadikan tempat perkembangbiakan monster.

Jumlah mereka yang terduduk bersandar dan terbaring di lantai Gua hanya sekitar sembilan orang, dengan tujuh di antaranya sedang mengandung. Mata mereka terlihat sangat kosong dan mati, tubuh mereka penuh bekas luka dan terlihat air ketuban yang mengalir dari salah satu perempuan.

Beberapa meter dari perempuan-perempuan itu, terlihat bayi monster hijau yang baru lahir dan masih belum bisa berjalan. Bayi itu sekarat dan terlihat kesulitan bernapas setelah merobek perut perempuan yang mengandungnya. Di sekitar tempat itu juga terdapat beberapa anak-anak Goblin yang sudah mati karena kehabisan napas.

Julia dan yang lainnya merasa mual melihat semua itu, sebuah pemandangan yang lebih para dari perbudakan dan perdagangan manusia. Sama sekali tidak peduli dengan apa yang terlihat di dalam Gua, Odo kembali membuka telapak tangan kanannya ke depan dan meningkatkan tekanan sihirnya.

"Kurasa orang-orang itu sudah mati .... Mungkin karena asap tadi ...."

"A! Apa mer―"

"Itu lebih baik, Mbak Julia. Tak usah merasa bersalah. Meski mereka masih hidup, mereka mungkin sudah gila atau kehilangan harapan hidup. Lebih baik mereka istirahat saja seperti itu .... Kematian juga merupakan bentuk keselamatan ...."

Mana memusat pada ujung telapak tangan yang diarahkan ke depan, lalu mulai berubah sifatnya menjadi petir. Dalam hitungan detik, petir biru tersebut menjadi beberapa bola petir berukuran kelereng dan siap untuk ditembakkan.

"Tu-Tunggu! Mereka mungkin masih h―"

Tanpa mendengarkan perkataan Julia, Odo menembakkan sihirnya dan bola-bola petir tersebut melesat ke dalam Gua. Yang bola-bola petir itu incar bukanlah para mayat perempuan-perempuan yang masih belum diketahui hidup atau mati, melainkan para anakkan monster juga belum tentu mati dan yang masih sekarat. Bola petir itu mengincar seperti peluru kendali, menghancurkan kepala monster-monster yang mungkin akan melakukan hal kejam sama seperti pendahulu-pendahulu mereka kalau mereka keluar dari Gua dan mulai mendapat kepintaran.

Semua orang terkejut dengan apa yang Odo lakukan, yang paling terkejut adalah Minda dan Julia. Melihat wajah anak berambut hitam itu yang sama sekali tidak ragu saat membunuh bayi monster, Julia hanya bisa menganga dengan gentar. Itu bukanlah tindakan yang salah, tetapi tetap saja kebanyakan orang akan ragu untuk menyerang bayi meski itu monster.

"Mbak Julia .... Bisa tolong cek mereka masih hidup atau tidak? Aku ..., entah mengapa mulai mual." Odo berbalik, lalu segera berjalan keluar dari Gua. Para Shieal langsung tahu kalau anak berambut hitam itu memaksakan diri dan berlaga sok tenang saja.

"Saya akan menemani Tuan Muda, Julia." Minda segera mengejar anak yang berjalan cepat keluar dari Gua tersebut.

Setelah itu, Julia, Gariadin, Imania, dan Xua Lin masuk ke dalam Gua untuk memastikan perempuan-perempuan di dalam sana masih hidup atau tidak. Sayangnya mereka sudah mati dan tidak bernapas. Dalam benak Julia langsung merasa bersalah karena kecerobohannya mengasapi Gua tanpa memastikan dulu ada orang di dalamnya atau tidak. Memberikan doa dan berharap mereka tenang di alam sana, mereka mulai mengeluarkan mayat-mayat perempuan itu keluar dari Gua dan menguburnya tidak jauh dari tempat tersebut.

Melihat semua apa yang terjadi di dalam Gua, mereka memutuskan untuk mencari tempat bermalam lain. Sebelum pergi, mereka mengumpulkan kristal sihir dari mayat-mayat monster dan membuat data karakteristik orang-orang yang meninggal di dalam Gua untuk digunakan sebagai laporan yang mungkin bisa dicocokkan dengan data orang hilang di daerah setempat.

Mereka memutuskan untuk tidak berkemah di dalam Gua, tetapi di daerah di dekat sungai yang berada di bagian dalam Hutan Pando. Tempat terbuka seperti itu memang rawan penyergapan dari berbagai arah, tetapi menurut Julia itu lebih baik daripada harus tidur di tempat penuh bau busuk seperti Gua sebelumnya.

.

.

.

Malam dengan langit petang datang, salju turun dengan sangat lebat dan membuat jarak pandang efektif berkurang sampai dua meter di malam hari meski alat penerangan lentera minyak di pasang pada beberapa sudut di sekitar tempat bermalam. Setelah mendirikan tenda saat sore lalu dan menyiapkan api unggun, badai langsung menerpa Odo dan para Shieal yang membuat mereka semua harus merapat di dalam tenda hangat.

Di luar, Drake yang menarik kereta dan gerobak mereka mulai meringkuk kedinginan. Kulit tebalnya yang berfungsi sebagai penghalau suhu hampir sampai pada batasnya, dan membuatnya masuk ke dalam fase semi-hibernasi yang menjadi salah satu caranya bertahan hidup di lingkungan bersuhu ekstrem.

Pada malam dengan hujan salju lebat tersebut, semua orang yang berada di dalam tenda tidak ada yang bisa tidur karena ras was-was akan serangan monster yang bisa datang kapan saja di alam liar. Odo yang duduk di antara para Shieal menggunakan sihir Sensornya untuk mendeteksi getaran di sekitar tenda.

"Badainya terlalu lebat .... Getaran di luar parah sekali ...." Membuka matanya dengan tatapan datar, anak berambut hitam itu menghela napas.

Dalam malam badai tersebut, mereka benar-benar sama sekali tidak bisa tidur sampai pagi. Meski tidak ada satu pun monster yang menyerang saat malam, tetapi karena badai beberapa barang-barang yang ditaruh di luar rusak, dan Drake masuk ke dalam fase hibernasi penuh sehingga tidak akan bangun kecuali suhu di sekitarnya bertambah hangat.

««»»

Pagi harinya. Badai salju yang semalam turun telah berhenti total dan langit berganti dengan warna kelabu mendung. Saat keluar dari tenda, yang pertama kali dirinya lihat adalah hamparan salju putih yang menumpuk menutupi kereta kuda, gerobak, dan Drake. Selain semua itu, para Shieal juga terlihat langsung merapikan barang-barang yang tertutup salju dan bersiap untuk ekspedisi yang segera dilakukan.

Meski semua orang terlihat mengantuk dan tidak cukup istirahat, tetapi mereka sama sekali tidak terlihat kelelahan. Stamina mereka benar-benar telah terlatih untuk situasi ekstrem dimana kondisi tidak memungkinkan untuk istirahat.

Odo hanya melihat mereka dengan sorot mata mengantuk dan di bawah kantung matanya muncul garis hitam. Berbalik dari mereka, di atas tenda terlihat tumpukan salju yang mengisi atap sampai hampir membuat tenda rubuh. Menarik napas ringan, anak itu mengulurkan tangannya ke atas dan menggunakan sihirnya. Tanpa membaca mantra, seketika salju yang menumpuk di atas tenda langsung mencair dan menguap.

"Kalau situasinya seperti ini Hariq Iliah sangat berguna memang," gumamnya.

Odo berbalik dan berjalan menuju Imania yang sedang menyingkirkan salju yang menutupi tubuh Drake dengan tangannya. Menepuk pundak gadis berambut abu-abu yang tidak terlalu tinggi tersebut, Odo memintanya untuk menjauh dari Drake. Saat Imania mengambil beberapa langkah ke belakang, anak berambut hitam itu mengulurkan tangannya ke arah Drake yang tertutup salju dan memakai Sihir Khususnya. Dalam hitungan detik, salju mencair dengan cepat dan langsung menguap.

Meski salju telah tersingkir, Drake masih berada di dalam kondisi hiberbasi. Menyentuh kulit kasar makhluk itu, Odo kembali memanipulasi suhu dan membuat Drake tersebut bangun dengan cepat. Imania terkejut melihat itu, bahkan Drake itu pun terlihat kebingungan karena tiba-tiba suhu menghangat dengan cepat.

"Hmm, bangun juga ...." Odo menatap Imania, lalu tersenyum kecil. Gadis bisu itu hanya memasang wajah heran, tidak paham dengan kepribadian Tuannya itu. Setiap kali hari berganti, anak berambut hitam itu seakan berganti kepribadian dan terlihat seperti orang yang berbeda.

Melihat Odo tersenyum ramah seperti saat hari pertama ekspedisi, Julia dan Minda yang sedang mengeluarkan salju yang menumpuk di atas kain penutup gerobak ternganga sesaat. Mereka benar-benar terkejut melihat perubahan sifat anak itu dalam satu malam.

Gariadin dan Xua Lin datang dari arah pepohonan membawa beberapa tupai beku yang dicari mereka dari bawah akar pohon dan lobang di batang pohon. Melihat Julia dan Minda terdiam di atas gerobak dengan wajah terkejut, pria berambut merah gelap itu bertanya, "Ada apa, Kak Julia ..., Minda?"

Kedua orang tersebut segera turun dari atas gerobak, lalu langsung berjalan ke arah Gariadin. "Diamlah sebentar, kamu jangan bicara yang tidak-tidak lagi ya!" bisik Julia. Gadis berambut keperakan itu cemas kalau rekannya itu mengatakan hal-hal yang membuat suasana hati Tuan mereka memburuk lagi.

"Ada apa? Kenapa bisik-bisik?"

"Sudahlah, jangan banyak tanya! Ikuti saja alurnya," ucap Minda, tanpa sengaja Ia menaikan volume suaranya.

Mendengar itu, Odo berbalik dan melihat ke arah mereka dengan tatapan heran yang begitu damai. Secara serentak, keempat orang yang sedang berbisik-bisik itu langsung selaras merasakan hal yang sama.

"Siapa!!?" itulah yang mereka pikir. Hal itu wajar, Odo yang kemarin dan sekarang sangatlah berbeda, bahkan cara tersenyum dan nada bicara tidak mirip.

"Ngomong-omong ....."

"Ya!" Julia langsung siap siaga saat mendengar suara Tuan Mudanya.

"Setelah sarapan kita langsung mulai perburuannya, ya ...."

Setelah itu, mereka mulai menyiapkan api unggun untuk membakar tupai yang dibawa Gariadin dan Xua Lin yang memang menjadi makanan favorit mereka berdua. Menyusun kayu yang sudah dikurangi kadar kelembabannya dengan Sihir Khusus milik Odo, mereka mulai membuat api unggun di atas permukaan tanah yang sudah dibersihkan salju. Karena memang sebagian bahan makanan yang tersisa sudah sangat terbatas, mereka terpaksa menggunakan tupai yang dibawa Gariadin sebagai bahan tambahan sup yang tadinya akan dibakar dan disantap sendiri oleh mereka berdua.

Menyantap makanan dengan rasa aneh, Odo memasang wajah mual karena tekstur daging tupai yang terasa tidak cocok dengan seleranya. Meski tidak suka dengan makannya tersebut, anak berambut hitam itu tetap menyantap habis satu mangkuk sup kaldu dengan daging tupai sebagai bahan tambahannya.

.

.

.

Selesai sarapan, mereka lekas bersiap-siap untuk melakukan berburuan monster. Meski kuota sudah berkurang berkat Kristal Sihir yang mereka dapat dari para monster di Gua, tetapi tetap saja masih jauh dari kata selesai dari target yang ditentukan. Ekspedisi yang Odo rencanakan ini memiliki kuota minimal paling tidak harus mendapat Kristal Sihir yang secara keseluruhan seberat 50 kilogram, atau dalam perhitungan sebanyak lima kotak kayu kosong yang mereka bawa di bawah tempat duduk kereta kayu.

Berjalan ke arah gerobak, para Shieal mengambil peralatan mereka dan bersiap untuk perburuan monster. Julia mengambil pedang dan zirah kulit yang menjadi ciri khas bertarungnya. Masih menggunakan jaket mantel milik Odo, gadis berambut keperakan itu menambahkan sabuk peralatan untuk membawa pisau-pisau di pinggangnya. Minda yang berdiri di dekat Julia bersiap dengan peralatannya, Ia membawa sebuah pedang satu tangan sama seperti rekan di sampingnya dan juga sebuah busur dan panah yang menjadi salah satu senjata andalannya.

Berbeda dengan kedua orang tersebut, Gariadin dan Xua Lin hanya mengenakan perlengkapan biasa seperti zirah kulit dan senjata mereka masing-masing. Gariadin membawa Schöningen, sedangkan Xua Lin mengenakan Gauntlet besi di kedua tangannya.

Tidak seperti para Shieal lain, Imania satu-satunya orang yang tidak membawa senjata tajam. Gadis berambut abu-abu itu mengenakan sebuah jubah yang satu set dengan sebuah kalung kristal yang memiliki kekuatan mistis. Pada perbelakangan kedua tangannya terdapat gelang sihir yang dapat meningkatkan kinerja dari Sihir Khusus yang dimiliki dari ciri Native Overhaoul.

Berbeda dengan mereka, Odo hanya mempersiapkan diri dengan mengambil Gelang Dimensi dari Rune di atas telapak tangannya dan mengenakan gelang tersebut. Tanpa pelindung atau pakaian tambahan, anak berambut hitam itu hanya bersiap dengan kemeja dan celana hitam saja. Tentu saja pakaian tersebut bukanlah pakaian biasa, celana dan kemeja yang dikenakannya teleh dipasang Rune Penguatan dan pengaturan suhu, sehingga fungsinya hampir sama seperti jaket mantel yang dikenakan Julia tetapi ketahanannya lebih kuat dari zirah rompi kulit yang dikenakan para Shieal.

Selesai bersiap dengan peralatan, mereka mulai berjalan lebih masuk ke hutan untuk memulai perburuan. Strategi yang digunakan mereka untuk bertarung cukup sederhana, satu set tiga orang dan dibagi menjadi dua kelompok. Penyerang utama terdiri dari Gariadin, Xua Lin, dan Julia, sedangkan pendukung terdiri dari Odo, Minda, dan Imania. Pada hari itu, sebuah perburuan yang sampai mengurangi sangat banyak populasi monster terjadi.

««»»

Terlihat dari udara, hutan vegetasi pando tersebut berwarnakan putih murni dan terlihat sangat sunyi. Terus masuk ke dalam, pepohonan yang mengisi daerah tersebut semakin besar dan tinggi batangnya. Pada bagian inti Hutan Pando, ketinggian pohon mencapai tiga puluh meter lebih dan lebar batangnya mencapai empat meter lebih. Ukuran pohon-pohon di inti hutan tersebut sangat berbeda dari pepohonan yang berada di bagian dalam atau luar hutan, terlihat tidak wajar karena tumbuh melebihi tinggi rata-rata.

Semakin masuk ke dalam, di tengah pepohonan raksasa tersebut terlihat sebuah kastel yang berdiri tepat di antara pertemuan beberapa sungai yang mengelir di dalam hutan. Bangunan berwarna abu-abu dan terlihat tua itu berdiri begitu kokoh, tersembunyi dari dunia dan jika dilihat dari luar tidak akan bisa terlihat dari darat atau pun udara. Kastel besar itu memiliki beberapa menara di pojokkan, dan sebuah bangunan utama di tengah yang memiliki beberapa jendela kaca.

Salju yang turun tidak jatuh sepenuhnya ke atas bangunan besar tersebut karena terhalau oleh dedaunan dari pohon-pohon yang tumbuh di sekitar. Lebih masuk ke dalam kastel, seakan musim di tempat tersebut salah, bunga-bunga Aster mekar dengan indah dan mewarnai taman tempat tersebut dengan warna ungu menawan.

Tepat di atas menara utama yang ada di puncak bangunan, seorang perempuan berambut pirang pudar berdiri di atas atapnya. Perempuan itu mengenakan jubah hitam panjang dan pada kepalanya terdapat sebuah topi kerucut berwarna sama dengan jubah. Sorot mata merahnya seakan bersinar, tertuju ke arah pepohonan pondo yang tumbuh kokoh di sekitar tempatnya berada.

Dialah sosok Witch yang menjadi legenda di Hutan Pando, terlihat begitu muda, cantik, dan sangat menyedihkan karena tidak bisa mati. Meloncat dari atas atap menara, hembusan angin seketika bertiup dan menangkapnya sebelum membentur permukaan. Mendarat mulus dengan kaki kanan terlebih dahulu menyentuh permukaan jalan batu bata di tengah taman, Witch tersebut lekas berbalik dan melihat ke arah pintu masuk kediamannya.

Di dekat pintu terlihat seorang anak laki-laki berambut pirang berdiri dengan tatapan polos. Merasa bahagia saat melihat anak itu, Witch berjalan menghampirinya seraya berkata, "Waktunya sudah dekat .... Kamu akan segera belajar tentang dunia, cepat masuk dan siapkan dirimu untuk perkenalan, wahai anakku."

Berdiri di hadapan anaknya itu, sekilas Witch teringat dengan sosok kekasihnya di masa lampau, sebuah kenangan bahagia sekaligus menyedihkan. Mengelus kepala anak itu, sang Witch berkata, "Semoga kamu akrab dengannya, anakku. Dia mungkin satu-satunya orang yang bisa menjadi temanmu .... Kau tak perlu terburu-buru nantinya, bertemanlah dengannya dan saling memahami ...."

Next chapter