Regina menatap tidak percaya pada layar di ponselnya.
"Pria ini benar-benar, ya." Dia mendecak pelan sebelum kembali melangkah menuju tempat dimana ayah dan ibunya berada. Menghela napas, Regina berusaha mengatur senyum profesional yang biasa dia tunjukkan ke rekan bisnis.
Ayu menyambut calon menantunya dengan hangat. "Bagaimana? Sudah ngobrol sama Adhi? Dia dimana sekarang?" tanya Ayu beruntun membuat Regina hanya meringis, sungkan.
"Adhi sepertinya ... tengah sibuk melakukan sesuatu, Bu. Eung ... dia di kamar mandi. P-perutnya sakit. Ya, sakit, Bu." Regina tidak sampai hati untuk mengatakan respon pria itu yang sebenarnya. Dia takut membuat wanita paruh baya yang terus tersenyum sangat cerah itu berubah murung. Jadi, meskipun berat, Regina lebih memilih untuk sedikit berbohong —demi kebaikan.
"Owalah. Aneh sekali. Padahal tadi ibu lihat dia masih santai saja wara-wiri."
Menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, Regina hanya tersenyum kaku. "N-namanya sakit perut kadang 'kan gitu, Bu. Suka tiba-tiba datang tanpa bisa dicegah."
"I'm here." Regina tersentak saat sebuah suara menyahut dari arah belakangnya. Parfum beraroma pinus dan citrus itu tercium kian kuat ketika pria yang tengah Regina bicarakan itu tiba-tiba muncul dan berdiri di sebelahnya.
"Katanya kamu sakit perut, Dhi?" Ayu menatap putranya khawatir membuat Regina merutuk penuh sesal karena sudah berbohong tadi.
Pria itu nyengir, "sudah baikan, kok, Bu."
"Kok bisa, sih, kamu sakit perut begitu? Salah makan atau bagaimana?" Dan Regina bisa merasakan kalau Adhinatha meliriknya dengan alis terangkat.
Regina menunggu dengan ketar-ketir. Wanita itu pasti malu sekali kalau sampai Adhi mematahkan ucapannya dengan mengatakan yang sebenarnya. Tapi ... Regina berbohong juga demi Adhi, 'kan?
"Aku ... sudah lebih baik sekarang, Bu. Jadi ... mau potong kue sekarang?" Regina diam-diam menghela napas setelah mengetahui Adhinatha bisa sedikit bekerjasama.
Pria itu merangkul ibunya, menggiring wanita paruh baya itu melewati Regina yang berdiri diam seperti kambing cengo.
"Iya, mau potong kue sekarang, tapi sebelum itu ibu mau buat pengumuman penting."
"Oh, ya? Apa itu?"
Bukannya menjawab pertanyaan putranya, Ayu justru berbalik guna memanggil Regina mendekat. Dan setelah Regina mendekat, Ayu langsung menarik wanita itu untuk berdiri di sebelahnya.
"Bu?" pantau Adhi lagi yang masih belum ditanggapi ibunya.
Arya berjalan mendekat hingga berdiri di sisi istrinya. "Potong kue sekarang?" bisik pria paruh baya itu saat MC mulai membuka acara.
"Iya. Tapi sebelum itu aku mau membuat pengumuman dulu, Yah."
Arya mengangkat alisnya terlebih saat istrinya menerima microfon dari panitia.
Batin Arya bertanya-tanya untuk apa pengeras suara itu.
"Terimakasih untuk teman-teman, keluarga, juga kolega-kolega suami saya yang malam ini menyempatkan untuk hadir di acara ulangtahun saya. Terima kasih sekali. Kedatangan kalian benar-benar sangat berarti."
Arya tidak bisa untuk tidak tersenyum setiap mendengar istrinya berpidato di depan umum. Ada rasa bangga yang membuncah, padahal ini jelas bukan kali pertama Ayu melakukan itu mengingat wanita itu juga cukup aktif di berbagai organisasi kemanusiaan.
"Nah, di malam yang berbahagia ini, saya juga ingin mengumumkan kabar bahagia lainnya sebagai pelengkap suka cita kita malam ini."
Menatap penuh waspada pada ibunya, Adhi benar-benar dibuat kian berdebar saat ibunya menoleh dan menatapnya penuh arti.
"Putra saya akan menikah."
Tidak. Jangan sekarang.
Lutut Adhi rasanya lemas sekali mendengarnya pengumuman itu. Dia belum siap jika berita ini menyebar. Dia belum siap membuat seseorang yang menunggunya setiap akhir pekan itu kecewa karenanya. Dia belum siap melihat tangis itu kembali menetes karenanya. Dan siap tidak siap, hal itu jelas akan terjadi cepat atau lambat.
Regina menangkap semua ekspresi khawatir yang terlihat di wajah tampan Adhinatha. Semua, tidak terkecuali helaan napas yang tampak begitu lesu itu.
"Bu Ayu, boleh diperkenalkan calon menantunya?" pinta salah seorang awak media yang membuat Ayu langsung merangkul Regina dengan senyum bangga.
"Ini dia, calon menantuku."
"Bukankah ini Ibu Regina Atmadja putri pemilik Atmadja Group?" sahut salah seorang awak media lainnya.
"Apakah ini termasuk pernikahan bisnis seperti yang dilakukan kebanyakan perusahaan guna memperkuat dinasti perusahaan?" tambah salah seorang jurnalis lain yang membuat Ayu menipiskan bibirnya.
"Tidak ada pernikahan bisnis seperti yang kalian kira. Ini murni karena Regina mereka berdua cocok." Regina tersenyum kaku mendengar penuturan calon mertuanya itu. Cocok katanya?
"Memang, awalnya mereka kami kenalkan satu sama lain. Tapi keputusan selanjutnya merekalah yang menentukan. Mungkin saja ... cinta pada pandangan pertama?"
Kalimatnya itu sontak memicu tawa para awak media yang tengah meliputnya. Begitu Ayu menoleh sekilas pada putranya, dia menemukan tatapan lelah yang sangat tidak bersahabat.
Wanita paruh baya itu masih memasang wajah cerianya, tidak peduli putranya terlihat keberatan dengan apa yang dia umumkan malam ini. Bahkan dengan tanpa beban, Ayu menarih putranya agar menempel dengan Regina —supaya terlihat dekat dan harmonis. Sedangkan Regina? Dia bisa apa selain mengikuti peran yang sudah calon ibu mertuanya kasih?
Untungnya sesi pengumuman itu tidak berlangsung lama. Regina jadi tidak perlu berlama-lama bersandiwara kalau dirinya dan Adhinatha adalah calon pasangan menikah yang serasi dan harmonis.
Sesi potong kue berlangsung dengan meriah. Orang-orang bernyanyi, tertawa, dan bersorak saat kue itu sudah berhasil dipotong.
Adhi sebenarnya sudah ingin pamit pergi. Dia sudah tidak tahan berada di sana dan berpura-pura menikmati pesta setelah diberikan kejutan semacam tadi oleh ibunya. Perjanjiannya bukan begitu. Tapi ibunya dengan tiba-tiba justru meledakkan berita itu sama sekali tanpa peringatan terlebih dahulu.
Kesal? Tentu saja. Tapi dia bisa apa? Di tengah-tengah pesat seperti ini, di mana teman-teman media masih ikut meramaikan acara dan bisa sewaktu-waktu meliputnya terlebih jika dirinya memberi tontonan menarik. Tidak, Adhinatha bukan tipe orang yang suka memberi tontonan ke masyarakat terlebih soal masalah keluarganya.
Jadi, sebisa mungkin Adhi menahan kesal dan emosinya sembari menunggu acara ini selesai. Semoga bisa. Semoga bom waktunya tidak meledak lebih awal.
"Oy!" Adhi tersentak saat sebuah jari menusuk pinggangnya tanpa permisi.
"Apa, sih?!"
Adhi menatap sekeliling dan terkejut saat mendapati lampu tempat ini kian redup dan alunan biola terdengar.
Rupanya dia melamun terlalu lama sampai-sampai tidak menyadari kalau sesi potong kue sudah berganti dengan sesi dansa berpasangan.
"Ayo, Dhi."
"Ayo apa?" tanya Adhi tidak mengerti.
Regina memutar mata malas. "Apa lagi? Kita berdansa," jawabnya masih berusaha menjawab dengan sabar.
"Kenapa harus?"
"Karena awak media tengah menyorot kita, Prabu Adhinatha. Cepatlah!" Regina kian mendekat hingga keduanya hanya berjarak satu langkah kecil.
"Lingkarkan lenganmu di pinggulku."
"Tidak mau."
Regina mengetatkan giginya menahan geram. Adhinatha benar-benar definisi manusia susah diatur yang nyata.
"Cepat lakukan sebelum ibumu ke sini dan membuat kita harus berciuman, Adhi."
"Sialan!"