webnovel

Ratu Sejati

Terlahir nyaris sempurna tidak serta merta membuat Regina Shima Atmaja, putri sulung keluarga Atmaja itu bahagia sentosa. Tidak semudah itu. Bahkan banyak sekali tekanan, tuntutan, dan kesulitan yang ia lalui tapi tak terlihat oleh mata orang-orang. Yang masyarakat tau, Regina adalah gadis paling beruntung yang lahir dengan rupa, isi kepala, dan harta yang lebih dari rata-rata. Yang orang-orang tau, Regina adalah gadis bak puteri raja yang terlahir begitu beruntung dan bahagia selamanya. ... Prabu Adhinatha, anak tunggal yang diberi tanggung jawab mewarisi takhta kerajaan bisnis ayahnya itu ingin sekali memiliki kebebasan dalam hidupnya. Sekali saja, tanpa bayang-bayang keluarga dan orangtuanya. Suatu hari dia ditawari sebuah pernikahan. Itu bahkan bukan penawaran tapi perintah. Yang mana tak ada pilihan selain untuk merima. Awalnya, dia pikir hidupnya benar-benar berakhir. Tapi ... setelah dia pikir-pikir justru ini jalan untuknya lepas dan mereguk bahagia. ... Apakah keduanya akan menemukan bahagia yang mereka damba?

etdauncokelat · Urban
Not enough ratings
124 Chs

Di Restoran, Siang Itu

Suasana restoran begitu ramai ketika Regina baru saja menginjakkan kakinya di sana. Hiruk-pikuk orang-orang mengobrol di tengah mereka makan, pelayan yang ke sana kemari, pelanggan yang datang dan pergi, tangisan anak kecil yang entah minta apa, semua itu bercampur menjadi satu membuat suasana kian riuh.

Menatap ke samping, Regina mengangkat alis melihat Dimas justru terlihat sangat antusias.

"Kamu yakin kita akan makan di sini, Dimas?" tanya wanita itu pada sekretarisnya.

"Kenapa tidak?"

"Ini terlalu … ruwet, bising, dan … apa kita tidak sebaiknya cari restoran lain saja?" Menatap memelas pada bawahannya itu, Regina ingin sekali melarikan diri dari sana.

"Kita tidak punya waktu lagi untuk mencari restoran lain, Bu Gina. Lagipula ini tidak terlalu buruk, kok."

"Tidak buruk katanya?" tanya wanita itu lebih kepada diri sendiri. Tapi sayangnya Regina menyuarakannya terlalu keras sampai-sampai Dimas bisa mendengarnya dan tergelak karena gerutuan wanita itu.

"Mari saya tunjukkan kalau tempat ini tidak seburuk perkiraan ibu."

Dimas menarik pergelangan wanita itu. Berjalan lebih dulu, memimpin di depan, Dimas membuka jalan melewati padatnya orang-orang. Mereka sampai di meja pemesanan.

"Ada berbagai macam soto di sini. Ibu mau pesan yang mana?" tanya pria itu membuat Regina mendongak. Sayangnya wanita itu lupa membawa kacamatanya. Dan kareanya wanita itu jelas kesulitan untuk melihat list menu di depan sana.

"Dim." Wanita itu menepuk pelan lengan pria itu.

"Ya, Bu?"

"Saya tidak bisa melihat tulisannya dengan jelas. Tulisannya terlihat kabur." Dimas menatap bosnya itu dan menyadari kalau wanita itu tidak mengenakan sepasang lensa yang biasa membingkai wajahnya dan membantunya memperjelas penglihatannya.

"Mau saya bantu bacakan, Bu?"

"Kamu tidak keberatan?" tanya Regina yang dibalas dengan gelengan kepala. Wanita itu pun mengangguk, setuju agar dibantu oleh Dimas untuk membaca menu yang ada.

"Ada soto Betawi, soto Lamongan, soto Sokaraja—"

"Dim!"

Pria itu menoleh lagi menatap bossnya yang entah apalagi yang mengganggunya.

"Suaranya yang kencang! Di sini terlalu berisik!" Dimas merendahkan kepalanya, mendekat pada telinga wanita itu agar suaranya bisa lebih terdengar.

Bruk!!

Tanpa di duga, dari arah belakang Dimas, ada seseorang yang tidak mengaja menubruknya sehingga pria yang tengah menunduk di dekat telinga wanita di sebelahnya dan terjadilah. Dimas menubruk Regina sehingga hidung pria itu justru tenggelam pada leher Regina.

"Maaf, Bu. Saya tidak sengaja." Regina yang cukup syok itu hanya mengangguk kaku dengan tatapan masih melotot. Keduanya langsung dilandak kecanggungan luar biasa.

"Sekali lagi saya minta maaf, Bu Gina. Saya tidak bermaksud untuk—"

"Saya mengerti," potong Regina. "Itu tadi kecelakaan. Kamu tidak sengaja." Regina berusaha mengulas senyum untuk menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja dan agar Dimas juga merasa tidak terlalu merasa bersalah.

Pria di sudut ruangan mendecih melihat itu. Tatapannya jelas menunjukkan ketidak sukaan yang teramat sangat.

"Mas Adhi? Mas? Kamu mendengarku?"

Ya, pria itu Adhinatha, Prabu Adhinatha yang tengah makan siang bersama teman lelakinya, Damar.

"Eh, iya? Gimana, Mar?" Dia menggeleng, berusaha menghalau pikirannya yang keruh hanya karena seorang wanita.

Di depannya, Damar ikut menoleh pada arah yang dilihat Adhi –berusaha mencari tahu apa yang membuat pria di depannya ini kesal.

"Lihat apa, sih?"

Mengibaskan tangannya menyuruh Damar untuk tidak perlu mencari tahu, Adhi kembali mengajak pria itu bicara.

"Jadi sudah ada perkembangan?" tanya pria itu akhirnya.

"Lumayan, Mas. Akar masalahnya sudah ditemukan dan kini tinggal mengumpulkan bukti-buktinya."

"Baguslah kalau begitu. Memang susah kalau mengelola bisnis keluarga. Terkadang kita kesulitan untuk memecat orang-orang yang tidak kompeten hanya karena kasihan dan masih ada hubungan darah. Tapi mau bagaimana? Perusahaan tidak akan maju kalau terus memaklumi hal-hal semacam itu, bukan? Apalagi bencana yang secara tidak langsung dipicu oleh proyek itu. Regas harus tegas kalau tidak mau PT. Jati Energy tinggal nama." Damar mengangguk mendengar kalimat Adhi yang cukup panjang itu.

"Oh iya, dia … apa kabar, Mar?"

Raut pria itu tiba-tiba berubah sendu begitu Adhi kembali menyinggungnya. "Dia masih suka melukis di halaman belakang."

"Dan masih belum bisa diajak ke tempat ramai?" Damar menggeleng dengan senyum pahit.

"Aku akan mengunjunginya nanti malam."

"Tidak perlu, Mas." Damar melarang dengan kalimat yang terdengar begitu lelah. "Bertemu setiap hari, dia akan terus menerus menanyakan keberadaanmu saat kamu tidak ada."

"Aku tidak masalah, Mar. Sungguh."

"Aku yang bermasalah, Mas. Bagaimanapun kalian sudah selesai. Kamu harus menjalani hidupmu sendiri. Kamu harus berkeluarga dan focus dengan kehidupanmu. Kalau kamu begini terus, dia … kami …. tidak akan bisa lepas dari ketergantungan akan keberadaanmu."

"Aku tidak keberatan akan hal itu, Damar. Bukankah aku sudah berjanji akan selalu ada di sisinya sebisa mungkin?"

"Kamu akan menikah, 'kan, Mas? Orangtuamu akan menjodohkanmu, 'kan?"

Tatapan Adhi membeliak mendengar itu. Ditatapnya Damar dengan raut tidak percaya. "Dengar darimana kamu, Mar?"

"Apa itu penting?" tanya pria itu balik.

Adhi menghela napas. Disentuhnya lengan Damar dan ditatapnya pria itu dengan sungguh-sungguh. "Dengar, Mar. Meskipun aku menikah, aku akan tetap rajin datang. Aku akan mengusahakan untuk tetap rajin berkunjung dan melihat keadaannya."

"Istrimu nanti pasti akan keberatan."

"Aku bisa mengatur hal itu. Kamu tidak perlu khawatir." Tatapan keduanya bertemu dan Damar akhirnya mengangguk setelah sempat terlihat ragu.

"Tapi bagaimana kalau nanti dia terluka?"

"Siapa?"

"Wanita yang menjadi istrimu," jawab Damar membuat Adhi tersenyum.

"Aku sudah membuat kesepatan yang bisa membuatnya untuk tidak akan mencintaiku."

Pria dengan kemeja bergaris itu tertawa sumbang. "Kamu pikir perasaan manusia bisa diatur, heh? Tidak, Mas Adhi. Pun saat kamu mewanti-wanti seseorang untuk tidak mencintaimu, kalau dia sudah berkehendak begitu, kamu bisa apa?"

Dan kalimat itu sukses buat Adhi membeku selama sepersekian detik.

"Yang jelas itu bukan urusanku, Mar."

"Bu Gina? Sepertinya di sana kosong, mau duduk di sana?" Regina yang tengah memicing menatap dua orang pria yang tengah duduk berhadapan –mengobrol dengan begitu serius, seketika buyar saat Dimas mengajaknya bicara dan menunjuk ke arah lain.

Sebelum mengikuti langkah Dimas, Regina masih menyempatkan diri untuk menoleh pada pria itu juga pada lawan bicaranya yang tidak asing.

Dalam langkahnya mengikuti langkah Dimas, dia akhirnya teringat. Pria tadi itu .., pria yang sama dengan yang waktu itu Darwin kirim padanya. Pria yang membuat Darwin berpikir kalau Adhinatha itu seorang penyuka sesame jenis.

"Dimas," panggil wanita itu membuat pria tinggi di depannya itu menoleh dengan alis terangkat.

"Iya, Bu?"

"Dua pria bertemu dan makan siang berdua –hanya berdua, menurutmu … wajar?"

"Wajar saja, Bu. Kenapa memangnya?"

"Dimas, bagaimana cara mengetahui pria itu straight atau tidak?" Dan pertanyaan itu sukses membuat Dimas yang baru saja menenggak air putih langsung terbatuk-batuk dengan begitu menyakitkan.

"Ibu serius menanyakan itu?"

"Tidak. Lupakan apa yang tadi saya katakan."