webnovel

Nina Menjadi Telinga

"Setidaknya aku sudah mencoba berusaha baik padamu dan mengingatkan dirimu agar jangan terlalu suka untuk mempermainkan banyak pria. Karena cepat atau lambat kamu akan menerima akibatnya. Tapi jika kamu tetap pada permainanmu maka kamu akan menerima sendiri akibatnya yang sekarang sudah mulai kamu rasakan," gumam Nina dalam lubuk hatinya sembari berjalan keluar dari kantin.

Ketika dirinya keluar dari kantin dan hendak menuju ke kelas untuk mengambil tasnya dan hendak pulang. Tiba-tiba dirinya berpapasan dengan Dewi di lorong. Dirinya lantas menegur Dewi dan menanyakan beberapa hal padanya. Sekedar basa-basi agar terlihat akrab sebagai teman.

"Eh, Dewi! Kamu mau ke mana? Mau ke kantin?" tegur Nina ketika berpapasan dengan Dewi.

"Iya, nih. Aku mau ke kantin. Sebelum pulang aku mau beli air dulu haus. Kamu mau ke mana? Ke kelas? Di kantin ada siapa aja? Apa masih ramai sama anak-anak yang nongkrong?" sahut Dewi sembari menanyai balik tentang kondisi kantin pada Nina.

"Tidak terlalu ramai. Cuma ada Sinta dan sisanya anak kelas satu dan tiga."

"Oalah, aku kira ramai. Duh, ada Sinta, ya. Ya sudahlah nanti saja aku ke kantinnya kalau begitu. Males aku kalau ada Sinta yang ada nanti dia marah-marah sama aku lagi," kata Dewi yang mengurungkan niatnya untuk pergi ke kantin membeli minum. Dia lebih memilih menahan dahaganya ketimbang harus bertemu dan berurusan dengan Sinta.

Nina yang penasaran kenapa Dewi mendadak menolak pergi hanya karena ada Sinta. Tentu saja dirinya menanyakan hal tersebut secara langsung kepada Dewi. Meski di dalam hatinya tidak terlalu peduli dengan urusan mereka. Tapi mendengar dirinya memiliki urusan dengan Sinta membuat rasa penasaran dari Nina timbul. Lumayan untuk hiburan di siang hari sebelum pulang baginya.

"Lho, kenapa memangnya kalau ada Sinta? Kok, tiba-tiba kamu jadi gamau ke kantin. Memangnya kamu sedang ada masalah dengannya sampai tiba-tiba nggak jadi ke kantin begitu. Ngomong-ngomong memangnya ada masalah apa kamu? Aku boleh tau, nggak?" Nina mencoba mengulik informasi dari Dewi. Sebagai bahan pengetahuannya saja bukan berkeinginan untuk mencampuri urusan mereka.

"Eitss! Sebelum cerita. Lebih baik kita sambil jalan ke koperasi saja. Daripada cerita di sini takutnya bertemu juga sama Sinta lebih baik kita ceritanya di koperasi. Toh, kamu juga kelihatannya haus banget. Nanti kamu dehidrasi kalau dahaganya ditahan," kata Nina menyela omongan Dewi yang baru hendak bercerita.

"Ya, kamu benar. Lebih baik kita ke koperasi saja. Aku juga haus sekali sudah tidak tahan. Kalau nggak beli minum yang ada nanti dehidrasi," ucap Dewi sepakat dengan yang dianjurkan oleh Nina.

Mereka pun berjalan menuju ke koperasi sekolah yang letaknya tak jauh dari ruang kelasnya Nina. Dengan begitu Nina bisa sekalian ada yang menemani saat dirinya ke kelas untuk mengambil tasnya. Memang ide yang cerdas dari Nina untuk mengajak Dewi menemaninya tanpa ia sadari.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi antara kamu sama Sinta? Kelihatannya kamu kesal sekali sama dia. Coba kamu cerita apa yang terjadi antara kamu dengan dia?"

"Iya, jadi aku tuh tadi sedang duduk ngobrol sama Andre. Tiba-tiba si Sinta entah dari mana asalnya dateng langsung memotong obrolan aku sama Andre. Benar-benar menyebalkan banget. Kayak dia cemburu gitu kalau Andre aku ajak ngobrol. Padahal aku ngobrolin masalah organisasi lho sama Andre. Nggak ada obrolan pribadi yang berbau perasaan sama dia. Tapi dia seolah salah paham begitu dan dengan seenaknya mengajak Andre pergi dari hadapanku dan dia ajak ngobrol berdua begitu saja. Gimana aku nggak jengkel dibuatnya. Orang mah tanya dulu ada apa, ini nggak! Langsung salah paham saja. Berasa kayak Andre miliknya saja! Padahal mah bukan! Dia cuma dianggap sama Andre sebagai teman. Tapi tingkah lakunya seolah-olah kalau Andre itu miliknya," kata Dewi menjelaskan kronologi awalnya. Kenapa dirinya bisa tiba-tiba menjadi sangat kesal dan jengkel pada Sinta yang bersifat ceroboh dan terlalu cemburu pada dirinya.

"Ternyata benar dugaanku. Pantas saja Sinta terlihat berdebat hebat tadi dengan Andre. Rupanya itu penyababnya. Dia cemburu ketika melihat Dewi sedang berbincang sama Andre. Dia yang dianggap teman saja cemburu bagaimana dengan aku yang sudah lama menaruh perasaan pada Andre tapi dirinya tak kunjung menyadari hal tersebut. Tapi setidaknya aku beruntung belum mengungkapkannya pada Andre. Kalau tidak mungkin aku akan bernasib sama seperti Sinta, hanya dianggap sebagai teman saja. Pasti menyakitkan jika dikatakan seperti itu oleh Andre," gumam Nina ketika mendengar ceritanya Dewi. Dia merasa beruntung belum mengutarakan isi hatinya pada Andre. Jika itu terjadi mungkin nasibnya akan sama seperti Dewi.

"Aku tahu Andre itu idola di sekolah kita. Dia ketua OSIS dan banyak siswi-siswi di sekolah ini yang menyukainya. Tapi kalau nggak punya status apapun ngapain juga dia cemburu begitu seolah-olah dia sudah memiliki Andre atau memiliki status dengannya. Memang benar, ya, kata orang. Terkadang cantik saja tidak cukup jika tidks dibarengi dengan akal sehat yang bisa berpikir jernih," sambung Dewi bercerita tentang kekesalannya pada Sinta.

"Ya sudah, sekarang kamu sudah tahu, kan, sikapnya Sinta kayak gitu. Memang sejak lama dia punya sikap dan sifat kayak gitu. Pengen semua cowok yang ada di sekolah kalau dia bisa mau dia pacarin. Kamu nggak perlu merasa heran dengan sikapnya. Mungkin ke depannya kamu jadi harus lebih berhati-hati kalau mau berbicara sama Andre. Lebih bisa melihat situasi dan membaca kondisi agar jangan sampai hal kayak gini terulang lagi. Lagian nggak lucu juga kan berantem sama orang hanya karena cowok saja. Kayak cowok cuma dia saja. Aku aja nggak terlalu suka baik sama Andre maupun sama Sinta. Mereka berdua sama saja. Suka memainkan perasaan orang," ujar Nina mencoba menanggapi kekesalan Dewi.

Saking asiknya bercerita sampai membuat mereka tidak menyadari kalau langkah kaki keduanya sudah tiba di koperasi. Mereka kemudian masuk ke dalam koperasi. Dewi kemudian mengambil botol air mineral dari dalam lemari pendingin kemudian meminumnya. Dia membayar air terus kemudian duduk sejenak di bangku kosong yang tersedia di koperasi. Berusaha untuk mendinginkan suasan hatinya yang jengkel.

"Sudah sekarang kamu minum saja dulu. Tenangkan dirimu. Sekarang kamu sudah bisa merasakan air membasahi tenggorokanmu. Kamu bisa berpikir jernih sekarang. Anggap saja itu hanya angin lalu. Nanti juga semuanya akan baik-baik saja."

"Iya, aku juga nggak mau terlalu membawa masalah ini berlarut-larut. Aku lebih baik mengalah saja ketimbang cari urusan sama orang seperti Sinta. Makasih banyak, ya, Nin. Kamu sudah mau mendengarkan kekesalanku. Oh, ya, kamu mau ke kelasmu, kan? Mau ambil tas? Ayok sekalian aku temani. Kamu mau pesan apa? Ambil saja aku traktir. Anggap saja upah untuk mau mendengarkan tiap keluh kesahku."

"Tidak perlu, terima kasih banyak. Aku hanya ingin kamu temani ke kelas untuk mengambil tas. Itu sudah lebih dari cukup."

"Ya sudah. Ayo kita ke kelasmu ambil tas."