webnovel

Ramalan Takdir

Apa yang akan kau lakukan jika kau bisa mengetahui masa depan? Apakah kau akan melakukan hal demi hal sebaik mungkin agar tak ada penyesalan di masa depan? Ataukah kau akan mengambil jalan yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya saat tahu masa depanmu hancur? Yang pasti, jika kau memiliki penyesalan, kau takkan membiarkannya sampai terjadi bukan? Tapi apa benar masa depan bisa diubah? Apakah bahkan jika kau mengetahuinya, berarti kau bisa merubahnya semudah itu? Bercerita tentang Riana, gadis pembaca masa depan. Ia memang tak bisa melihat masa depannya sendiri, tapi ia bisa melihat masa depan orang lain. Namun kekuatannya menghancurkan hidupnya, menghancurkan hatinya dan menghancurkan semua yang dia miliki. Tak akan ada yang diperoleh saat kau memiliki kekuatan itu, itu mungkin kutukan yang didapatkan Riana. Ayahnya mengabaikannya, Ibunya membencinya. Tak ada satupun dari keluarganya yang menyanyanginya, tentu saja kecuali saudari tirinya. Mana, saudara tirinya. Gadis baik nan pintar itu menyayanginya. Dari Mana lah Riana belajar tentang menyayangi seorang, dari dirinyalah Riana dapat bertahan dari semua takdir buruk yang harus dilihatnya. Tapi bahkan kasih sayang itu ada batasnya. Bisakah Riana hidup tanpa kasih sayang ayahnya? Bisakah dirinya merasa cukup hanya dengan kasih sayang Mana, saudara tirinya. Dan apa sebenarnya kekuatan Riana? Apakah itu kutukan ataukah berkah? ~•~•~•~•~ NB : Novel ini bercerita tentang perjalanan Riana menghadapi takdir buruk yang harus ia lihat. Riana bukannya gadis lemah nan labil, ia hanya belum punya kekuatan aja. Semakin lama, semakin banyak penderitaan yang ia terima akan semakin menumbuhkan karakternya. Berpusat pada hubungan Riana-Ayahnya, teman teman dan orang orang yang disekitarnya. Riana akan tumbuh menjadi karakter kuat bersama yang lain. Semakin lama maka kebenaran kekuatan Riana akan semakin jelas.

jalonis446 · Fantasy
Not enough ratings
34 Chs

Masa Penyembuhan

Sudah hampir sebulan aku berada dirumah sakit ini, aku menjalani penyembuhan luka di punggung dan penyembuhan luka dimata yang masih terbuka.

Awalnya dokter bingung, dia bertanya kenapa sampai bisa mataku hilang sebelah seperti itu. Tapi tentu saja aku tak menjawab, aku hanya diam dan berwajah muram. Melihat diriku yang muram, dokter langsung merasa bersalah. Ia akhirnya diam dan melupakan pertanyaannya.

Bagaimanapun itu adalah privasi pasien. Bahkan dokter sekalipun tak bisa mengorek masa lalu pasien yang ia tangani dengan sesuka hati.

Pernah Liana menawariku agar dia saja yang menjadi dokterku. Dia menatapku dengan tatapan kasihan. Aku tahu, dia pasti juga merasa lara saat melihat luka lukaku yang saking dalamnya hingga mungkin menimbulkan bekas.

Hari ini juga sama, aku menghela napas untuk kesekian kalinya sambil menatap jendela. Rumah sakit ternyata semembosankan ini. Tak ada satupun yang datang mengunjungiku. Tidak, malahan Papa sudah memblokir akses Ayah untuk masuk kedalam rumah sakit ini.

Papa menyembunyikanku. Papa pasti khawatir kalau Ayah akan datang kemari untuk membalaskan dendamnya kan? Ya, Ayah sepertinya sangat sangat marah hingga dia terlihat ingin membunuhku. Tapi tetap saja...

Ah.... Sepinya. Sepertinya tak ada tamu yang datang hari ini untukku. Aku hanya menghabiskan waktu untuk memandang jendela.

Tentang sebuah keluarga yang tanpa sengaja menabrakku, mereka pernah berkunjung satu kali kekamarku.

Pertama kali tentu saja aku tak mengenal mereka, mereka merasa sangat bersalah saat mengetahui kondisi tubuhku.

Bahkan mereka berniat memberikan kompensasi atas kecelakaanku. Aku awalnya ingin menerimanya karna biaya rumah sakit ini pasti mahal. Uang dari mereka mungkin akan sangat membantu. Tapi Papa berkata kalau ia sendiri yang akan membiayai pengobatanku jadi aku tak perlu cemas dan hanya perlu istirahat yang cukup. Tapi tetap saja aku menerima uang kompensasinya. Mereka merasa sangat bersalah, jadi aku juga ingin mengurangi rasa bersalah mereka.

Saat aku melamun sendiri, tiba tiba pintu rumah sakit dibuka begitu saja tanpa ada salam. Aku tahu siapa ini. Dia selalu melakukan ini.

"Hallo, kabarmu sehat?" tanya seorang wanita berambut pirang. Orang orang disekitar rumah sakit pasti akan amat kagum saat melihat ada orang bule dirumah sakit ini.

"Ya, semakin hari aku semakin sehat. Makanya cepat keluarkan aku dari rumah sakit ini," kataku kesal saat melihatnya menyelonong masuk begitu saja. Dia membawa kantung plastik, aku yakin dia membawa buah lagi kali ini.

"Riana, kau ini sebenarnya anak yang kurang ajar, yah..." ia menatapku dengan tatapan kesal pula. Ia membalas apa yang baru saja kulakukan padanya. "Padahal setiap hari aku harus bolak balik melewati portal untuk sampai disini, tapi kau selalu menyambutku dengan cemberut begitu. Tidak bisakah kau menyambutku dengan sedikit senyuman? Kalau itu terlalu berat maka sambut saja aku dengan wajah datar. Itu tak apa, selama bukan raut muka masam," lagi lagi omelannya masuk kedalam gendang telingaku.

Dia berjalan menuju sofa yang ada diruangan lalu melemparkan dirinya begitu saja ke sofa empuk itu. Ia tampak kelelahan.

"Dimana Papa?" tanyaku setelah hening agak lama. Ia datang sendiri, biasanya dia datang bersama Papa.

"Dia sedang mengurus administrasi rumah sakit," kata Liana bosan. Aku mengut mangut mendengar jawabannya.

"Apa Papa benar benar punya uang? Biaya rumah sakit itu besar dan aku juga sudah terlalu lama diam disini," gumamku lirih tanpa sadar.

"Hah? Kau meragukan kekayaannya?" Liana tentu saja langsung menertawakanku. "Kau pikir dia itu pria misterius yang meminta minta dipinggir jalan, hah?"

Mendengar perkataannya tentu saja aku langsung melotot tajam. Dia sedang menertawakan ketidak tahuanku rupanya.

"Tapi tetap saja dia berasal dari dunia lain. Kau pikir ada orang yang batu datang kedunia ini lalu langsung kaya mendadak hah?"

Liana tertawa mendengar perumpamaanku. Ia tertawa keras, sama sekali tak peduli larangan rumah sakit untuk berisik. Padahal dia dokter, tapi dirumah sakitpun dia sama sekali tak menjaga kesopanannya.

"Ah.... Kau ini terlalu lugu, Riana." katanya disela sela tawa. "Dia itu bukan orang biasa. Mengumpulkan banyak uang dalam waktu sempit tentu saja perkara mudah baginya."

Aku diam mendengar itu. Apakah Papa memang orang yang sehebat itu?

Percakapan tidak berlanjut. Aku hanya menghela napas lelah sambil melihat Liana yang menertawakanku sambil mengusap air mata.

"Oh, ya. Ngomong ngomong, Liana." kataku teringat sesuatu yang penting. Tapi perkataanku langsung diputus oleh Liana. "Panggil aku Lia."

Aku mengangguk mengerti saat mendengar perkataannya, dia tersenyum puas.

"Ngomong ngomong, Lia. Bagaimana dengan rumah sakitmu? Bukankah kau meninggalkannya sendiri? Siapa yang akan mengelolanya saat kau tinggal disini?" tanyaku pada Lia. Lia bangkit dari sofa yang didudukinya dan berjalan menuju meja tempat ia meletakkan bungkusan plastik yang tadi dia bawa.

"Aku menyerahkannya pada para muridku," ungkap Lia sambil mengeluarkan benda benda dalam plastik.

"Para? Kau punya banyak murid?" tanyaku tak percaya.

"Tentu saja aku punya banyak. Seseorang harus mewarisi kemampuanku untuk menjadi dokter. Aku bekerja sekaligus mengajar mereka sekaligus. Jadi mereka jelas punya pengalaman dan tahu apa yang akan dilakukan ketika situasi darurat." terang Lia sambil mengangkat kotak yang isinya pasti makanan.

Ia membuka kotak sambil berjalan kearahku. Aroma manis langsung menyebar begitu ia membuka kotak. Ia menyodorkan kotak itu padaku, menawarkanku isinya.

Isinya sudah pasti, makanan kesukaan Lia saat tinggal didunia ini. Apa lagi jawabannya kalau bukan martabak manis rasa coklat.

Aku mengambilnya sepotong, Lia langsung duduk dikursi didekatku sambil mulai memakan makanan kesukaannya itu.

"Waw, ini benar benar enak. Harusnya aku bawa saja makanan ini dan melintasi portal," gumamnya kagum. Dalam sebulan ini dia sudah mengatakan hal itu berkali kali.

"Lia, apa kau akan tinggal disini?" tanyaku gabut. Lia menghentikan makannya tiba tiba saat mendengar perkataanku itu.

"Apa? Kau merindukanku dan tak mau aku pergi, begitu?" dia berkata menggoda.

"Mungkin," jawabku jujur.

Lia menatapku tak percaya. Tunggu, apa? Kenapa dia sekarang menatapku dengan tatapan tak percaya seperti itu?

"Riana, kau membuatku merinding," gumamnya pelan. Aku tentu saja hampir berteriak marah. Memangnya aku salah apa?! Itulah yang ingin kuteriakkan. Tapi tiba tiba dia bersikap biasa saja, dia bersikap seolah tadi dia tak memandangku dengan tatapan mengerikannya.

"Entahlah... Aku suka disini, tapi aku juga suka diklanku sendiri." gumamnya agak sedih. "Mungkin aku akan kembali begitu sudah puas dengan jalan jalan disini," katanya diam.

Ah... Aku jadi merasa bersalah saat melihat muka sedihnya. Dia pasti ingin tetap disini.

"Bukankah kau bisa bolak balik antardunia dengan portal?" tanyaku sambil mengingat cerita Lia beberapa hari lalu tentang portal hitam.

"Apa kau menyuruhku untuk pulang pergi dan menghabiskan energi hanya untuk menemuimu? Aku jelas tak mau melakukannya." timpal kesal. Aku terdiam lama, benar juga apa katanya.

"Jadi kau mau bagaimana?" sambil menatap martabak coklat, aku bertanya. Dia diam, tak menjawab. Hening menggantung canggung diudara.

Tapi itu tak berlangsung lama karna...

Tok... Tok... Tok...

Sebuah ketukan tiba tiba terdengar, aku menoleh begitu juga dengan Lia.

Tak lama pintu kemudian terbuka. Sosok pria muda yang berpakaian santai masuk dengan langkah percaya diri.

"Sayang, aku punya kabar baik untukmu..." katanya dengan senyuman cerah yang sepertinya bisa menular ke siapa saja.

Ialah Papa. Dia mengangkat diriku sebagai anak angkatnya karna transaksi informasi. Sungguh aku tak tahu kenapa dia begitu mempedulikanku.

Tak lagi dia menggunakan jubah hitam dan masker yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia kini sudah mengungkap identitasnya.